Pein no Chikara desu! (Naruto FanFiction)
Hari ini penuh dengan obrolan kedewasaan—Penyalahgunaan kedewasaan yang
meliputi kelas X-1 Konoha SHS, termasuk gurunya. Telah memakan satu
korban tunggal, yakni Konan, dengan tersangkanya tak lain dan tak bukan
adalah Pein. Bagaimana, sih, konsep obrolan kedewasaan di mata
mereka?/AU, Semi-OOC/Dedicated to my first class on senior high school.
Strijdmakker, I love you!
Rated: T - Indonesian - Humor/Friendship - Pain/Pein - Words: 2,897 - Status: Complete - id: 11370586
Pein
no Chikara desu!
Naruto (c)
Masashi Kishimoto
Sabtu pagi yang cerah, namun tidak kelihatan dari dalam
kelas X-1 Konoha SHS. Ruang kelas ini seluruhnya ditutup oleh tirai karena
menggunakan full AC. Jadi, keadaan
langit hanya bisa diintip dari ventilasi—yang terbuat dari kawat dengan
lubang-lubang persegi sangat kecil—di bagian atas jendelanya.
Pelajaran pertama hari ini adalah matematika. Entah
kenapa, mereka merasa sangat tidak beruntung sekali di akhir pekan ini; ‘Kenapa harus ada pelajaran matematika di
akhir pekan? Merusak kesenangan saja.’ pikir mereka. Sembari menunggu sang
guru memasuki ruangan, seisi kelas berbicara-bicara kecil dengan teman yang ada
di dekatnya.
Sepuluh menit setelah lonceng untuk pelajaran pertama
berbunyi, guru—yang sebenarnya tidak dinantikan—membuka pintu kelas dan
memasuki ruangan.
"Ohayou." sapanya datar,
sembari berjalan menuju meja guru di sudut kanan kelas, jika dilihat dari
posisi duduk para siswa.
"Ohayou, sensei!" jawab seisi kelas serentak, namun kurang semangat,
diikuti oleh sang guru matematika yang mengeluarkan buku-bukunya.
Guru dengan masker yang hampir menutupi seluruh wajahnya
itu berjalan ke arah papan tulis. "Kalian punya tugas, 'kan?"
tanyanya.
Seisi kelas paduan suara lagi, "Punya, sensei!"
"Baik,”
Mata sayu sang pemilik rambut perak itu mengedarkan pandangannya ke seluruh
kelas. “Nomor 1 dikerjakan
oleh Shikamaru, nomor 2 dikerjakan oleh Sakura, nomor 3 dikerjakan oleh
Shino." perintahnya, lalu duduk sebentar
di ‘singgasana’-nya.
Yang diperintahkan dengan sigap maju ke depan sambil
membawa buku tugas mereka. Masing-masing menerima spidol dari sang guru, lalu
mengambil posisi menulis di papan tulis. Si rambut nanas pemalas ternyata tidak
membawa buku tugasnya—ia tinggalkan di meja. Hanya membaca soal saja pun, ia
bisa menyelesaikan soal itu dengan kecepatan penuh. Alhasil, Shikamaru selesai
lebih dulu. Sakura dan Shino menyelesaikan soal mereka dengan kecepatan normal,
sekalipun tinggal menyalin dari buku tugasnya. Setelah keduanya selesai, mereka
duduk kembali di bangku masing-masing.
Kakashi bangkit berdiri dan mendekati papan tulis. "Apakah kalian setuju dengan
jawaban mereka?"
"Setuju, sensei!"
Namun, si jenius dari Hyuuga mengangkat tangannya. "Sumimasen,”
katanya sambil melihat ke papan tulis dan buku tugasnya bergantian, seperti
memeriksa sesuatu. “Yang
dikerjakan Sakura sepertinya masih kurang tepat, sensei."
Kakashi melihat ke jawaban Sakura. "Ah, iya,” Ia
mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke papan tulis beberapa kali. “Sebenarnya ini adalah
materi kita selanjutnya. Jadi,
disimpan dulu, ya,” pesannya. “Terima kasih peringatannya, Neji."
"Dou ita, sensei." jawab Neji sopan.
“Selanjutnya,” Kembali mengedarkan pandangan, Kakashi
memerintahkan dua orang lagi untuk menyelesaikan sisa soal. "Nomor 4 dikerjakan oleh Karin. Nomor 5 dikerjakan
oleh..."
Bocah Kyuubi mengangkat tangannya semangat. "Saya, sensei!"
"Yak, Naruto,”
Kakashi mengacungkan spidolnya ke arah Naruto. “Silahkan."
Naruto dan Karin maju. Karin terlihat berbeda hari ini. Ia mengalungkan jaket berwarna
hitam pekat di pinggangnya, sehingga bagian pantatnya tertutupi. Pein dan Deidara yang merupakan teman sebangku, bisik-bisik
memperhatikan Karin. Mereka seperti menduga-duga sesuatu. Kebetulan mereka
duduk di posisi terdepan, jadi harus berbisik agar tidak ketahuan oleh Karin.
"Kau nggak percaya, un?”
ucap Deidara yang menatap Pein dengan penuh keyakinan. “Sebentar kutanya Konan, un,"
katanya lalu menoleh ke belakang, menghadap ke arah
Konan. "Konan-chan,
biasanya, kalau cewek pakai jaket di pinggangnya seperti Karin itu, tandanya lagi m**s, 'kan?"
tanyanya blak-blakan.
Konan melihat Karin. "Hmm, nggak juga.” jawabnya datar sambil menopang dagu.
"Iya, lho,”
bantah Pein menoleh juga secara diagonal. “Biasanya,
mereka berbuat seperti itu karena udah ‘bocor’."
Konan tampak berpikir. "... Nggak juga, kok!” bantahnya lagi. “Aku tidak pernah
seperti itu!"
"Iya, lah,”
Deidara menepuk meja Konan. “Konan-chan, ‘kan, bukan
cewek, un!" timpalnya tak tahu
malu.
"Sialan kau,”
rutuk Konan kemudian menjitak Deidara.
Pein tertawa karenanya. “Dandan
tidak pernah, tersenyum jarang,
selfie tidak pernah," Ia membeberkan beberapa bukti.
Konan sweatdropped
sendiri menghadapi kenyataan yang memang terjadi pada dirinya, sehingga ia
menjitak Pein juga. Seusai kena jitakan, mereka kembali duduk dengan posisi
normal, karena Naruto dan Karin sudah kembali duduk.
"Terima kasih untuk
yang
menjawab ke depan,” puji Kakashi seraya
berjalan mendekati papan tulis. “Kita
bahas jawaban Sakura dulu, ya. Karena pada soal
diminta dengan dua metode sekaligus, yaitu eliminasi dan substitusi." jelasnya singkat
sebagai pendahuluan. Seperti yang readers
kira, mereka sedang mempelajari aljabar, dan sedang berada di materi ‘Eliminasi
dan Substitusi’.
"Hai, sensei!"
Kakashi menulis ulang soal tersebut, lalu langsung mebuat
penyelesaiannya dengan cara eliminasi. Ia menyamakan dan me'mati'kan angka-angka koefisien dari
y, sehingga dihasilkan nilai dari x-nya. "Sampai di sini,” Kakashi berhenti
menulis. “Wakatta?"
"Wakatta, sensei!"
"Nah, setelah dieliminasi dan mendapatkan
nilai x-nya,” Kakashi mengarahkan spidol pada tulisan ‘x = 5’. “Masukkan nilai dari x
tersebut ke salah satu persamaan
agar didapat nilai y-nya."
Seisi kelas memperhatikan dengan
serius, terbukti dari keadaan yang hening. Kecuali, yah, orang-orang
seperti Shikamaru, Neji, dan Sasuke. Shikamaru terlihat bermalas-malasan
memperhatikan Kakashi. Baru saja ia menguap! Sedangkan Neji dan Sasuke terlihat
sibuk membolak-balik buku cetak mereka. Mungkin sedang mencoba-coba soal baru
yang lebih sulit. Dasar, sok rajin...
"Kalian lebih suka memasukkan ke atas," Kakashi mengarahkan spidolnya ke persamaan pertama. "Atau ke bawah?" lanjutnya mengganti arah spidol ke persamaan ke dua.
"Bwahahaha!!”
Tawa seisi kelas meledak seketika. “Anjiirr!!" Ada yang berseru seperti itu juga.
Kakashi bingung sendiri melihat atmosfer kelas yang
berubah drastis itu. "Ada
apa?" tanyanya (pura-pura) bingung
(sebenarnya).
"Nandemonai, Kakashi-sensei,” sahut Pein yang berada tepat di depan Kakashi sejauh dua
meter saja, sambil menahan tawa, tentunya. “Lanjutkan
saja."
Kakashi bertanya sekali lagi, "Atas atau bawah?"
"Atas!"
"Bawah!"
Jawaban dari para siswa bercampur. Mungkin mereka memilih
karena lebih mudah. Atau mungkin juga ada maksud lain dengan mengucapkan ‘atas’
atau ‘bawah’. Semuanya masih menjadi misteri...
"Baiklah, bawah saja,” Kakashi memutuskan, karena merasa suara ‘bawah’ lebih
banyak terdengar. “Memang
lebih enak dari bawah." sambungnya, lalu
mengarahkan spidol ke persamaan ke dua. Kebetulan angkanya memang lebih kecil.
Tiba-tiba, Deidara berseru, "Wah, Pein, udah basah, tuh, un!" celetuknya
sambil menunjuk-nunjuk ke arah celana Pein.
"GYAHAHAHA!!” Tawa
X-1 meledak lagi.
Pein salah tingkah. "Baka!" serunya
meninju lengan atas Deidara.
"Sudah bisa saya lanjutkan?" tanya Kakashi dengan nada datar, namun seluruh kelas
bisa mendengarnya.
"Hahaha... Hah... Sudah, sensei." ungkap seseorang sambil mengusap air matanya karena
terlalu banyak tertawa.
Kakashi lanjut berbicara. "Nilai x yang
didapat tadi dimasukkan
ke persamaan ke dua, lalu dengan operasi dasar, kita mendapatkan nilai y-nya,” ujarnya sembari menuliskan jawaban akhir. “Begitu saja. Mudah, 'kan?"
Seketika terdengar suara-suara keluhan dari siswa. Ada
yang protes, ada yang bersedih, ada yang galau, ada yang meraung-raung, dan
berbagai bentuk keluhan lainnya.
Seseorang berseru, "Mudah, lah! Sensei, ‘kan, gurunya!"
"Bener, tuh." sahut yang lain menyetujui seruan itu.
.
Seseorang mengeluh, "Ampuuun, kalau kimia!" Untungnya ia memakai volume yang kecil.
Kelas X-1 sedang belajar menggunakan Rumus Lewis, yaitu
memberikan dot sebanyak delapan yang mengelilingi setiap unsur [contoh:
hidrogen (H), helium (He), berilium (Be), magnesium (Mg), dan lain-lain] dari
soal senyawa [contoh: CO2, FeCl2, CH3COOH, dan
lain-lain] yang diberikan.
"Biar lebih mudah,
ingat saja, selain hidrogen, dot
yang
kalian buat harus berjumlah delapan di sekelilingnya,”
kata sang guru dari singgasananya. “Namanya
juga oktet. Golongan A juga terdiri dari
delapan, ‘kan?" tegasnya, berusaha membuyarkan konsentrasi siswa.
"Yaaa, bisa diam, tidak?” bisik Tenten, salah
satu yang konsentrasinya pecah. “Sedang konsentrasi, nih." Ia
mengetuk-ngetuk dahinya untuk berpikir.
Hinata menoleh ke arah Tenten. "Yamato-sensei
terlalu memaksa, ya." katanya berniat menghibur Tenten.
Teman sebangku Hinata itu meletakkan pensilnya sejenak. "Kamu lebih suka dipaksa atau memaksa, Hinata-chan?" tanya Tenten iseng.
Hinata bingung, karena makna dari segala sesuatu yang
‘memaksa’ atau ‘dipaksa’ itu negatif, apapun keadaannya. "M-maksudnya?”
Hinata memiringkan kepala. “Wakaranai
yo."
"Ah, lupakan,”
Tenten mengibaskan tangannya. “Hinata-chan
masih
polos." Ia lanjut menulis lagi.
Hinata menghela nafas menyerah. "B-baiklah."
Sang guru berambut coklat dan bermata lebar itu bangkit
dari sarangnya dan berjalan-jalan ke tempat duduk siswa. Ia berniat memeriksa
bagaimana keadaan anak-anaknya dalam mengerjakan soal. Apakah stres, santai,
atau tiba-tiba meledak seperti robot yang terlalu sering dipakai?
"Duh...”
sela Yamato saat berhenti di salah satu bangku. “Jelek
sekali punyamu, banyak coretannya begitu!”
"Err, gomennasai, sensei." sahut orang itu, yang ternyata adalah Sasori. Ia
garuk-garuk kepala salah tingkah setelah meminta maaf.
Yamato menggelengkan kepalanya. "Lebih baik pakai pensil dulu, supaya rapi." pesannya, lalu berjalan lagi ke posisi yang lain.
"Hai, sensei." jawab Sasori yang kemudian mencari-cari (alias meminjam) correction pen atau yang biasa kita
sebut tipe-ex ke teman yang lain.
Sambil berjalan, Yamato berucap lagi. "Kalau cewek,
supaya bagus, saya sarankan pakai tinta warna-warni, ya,” usulnya. “Kalau cowok
pake tinta putih.”
"Eh? Kenapa
tinta putih?” Temari tersontak bingung. “Tulisannya jadi tidak kelihatan,
‘kan?” tanyanya dengan pikiran (masih) polos. Sementara yang lain, terutama
para cowok, telah menciptakan suara-suara cekikikan kecil.
"Ya, 'kan?”
Yamato menambah volume suaranya, agar bisa didengar oleh sekelas. “Semua cowok di sini punya tinta putih, 'kan?" tanyanya sekali lagi.
"GYAHAHAHA!!”
"Supaya keluar, dikocok dulu, 'kan, sensei?"
imbuh Pein di tengah riangnya suara tertawaan.
"Astagaaa!”
Temari tersadar, lalu menepuk dahinya. “Ternyata
'itu'. Yamato-sensei baka." rutuknya
sambil sweatdropped.
"Jangan,”
sahut Yamato dengan nada mencegah. “Kalau
begitu, bisa
tumpah
dan berceceran ke mana-mana."
"Wah, bisa bau, tuh." sela Hidan juga, ingin nimbrung.
Tenten kesal mendengarnya, karena masih ingin
berkonsentrasi. "Yamenasai,
Yamato-sensei!" teriak cewek berambut
cepol itu.
Mendengar kekesalan Tenten, Yamato meredam suasana. "Yang saya maksud itu tipe-ex,” ucapnya, kembali ke tempat duduk asal. “Dasar, kelas kalian ini selalu berpikiran negatif."
"SENSEI YANG MEMANCIIING!!" potong beberapa murid hampir serentak.
Kriiing!
Hore! Lonceng pulang telah berbunyi. Sesaat, rasa stres
kelas X-1 perlahan hilang. Tidak sepenuhnya, karena tetap harus melanjutkan
soal yang tadi di rumah sebagai tugas. Huft. Ganbatte ne!
"Ketua Kelas, tolong hapus papan tulisnya," perintah Yamato sembari merapikan bukunya, kemudian
berjalan menuju pintu.
"Sampai jumpa minggu depan. Jangan lupa belajar. Konnichiwa." pamitnya, lalu menghilang dari balik pintu.
"Konnichiwa, sensei!" sahut seisi kelas. Agak telat memang, tapi sudah menjadi
kebiasaan.
"Yamato baka!!" rutuk Sasori bercanda sambil mengarahkan tinju ke pintu
kelas, mengingat candaannya yang membuat suasana saat pelajaran kimia tidak
menegangkan.
Pein sudah selesai
membersihkan papan tulis dan meletakkan
penghapus papan itu. Tiba-tiba,
Deidara berseru padanya,
"Un! Zipper-mu!"
Pein refleks melihat ke arah yang dimaksud. "Astaga!" serunya, lalu menaikkan zippernya
ke atas. Namun tidak bisa, karena sudah terlepas dari sisi yang lain. Alhasil,
Pein langsung duduk di bangkunya untuk menutup aib itu sementara waktu. "Kuso, zipper-ku
ternyata sudah rusak daritadi." sesalnya, masih mencoba menaikkan zipper itu.
Konan yang sedang merapikan bukunya mendengar ocehan itu.
"Baka." bisiknya.
Pein menoleh ke arah Konan. "Konan!" panggilnya
dengan ekspresi sangat panik.
"Nani?"
tanya Konan dengan ekspresi biasa. Mejanya sudah bersih dari buku-buku.
"Zipper-ku
rusak,” sahut Pein dengan kalimat terbodoh sepanjang abad. “Bagaimana ini?"
"Kkh... Kau kira aku ini
ibumu?!” Konan kesal, sampai muncul urat di kepalanya. “Ekspresimu itu, astagaaa. Aku bukan penyihir,
tahu!" tekannya sekali lagi, karena
seruan Pein memang seperti pengaduan seorang anak pada ibunya.
"Haha." Pein
hanya tertawa ringan sambil menggaruk kepala.
"Beli peniti saja di koperasi, un." suruh Deidara.
Pein menolak. "Ah, mager, nih."
Akhirnya, Pein
mengeluarkan seragamnya—yang awalnya
dimasukkan ke dalam celana—untuk
menutup daerah zipper-nya yang telah rusak. Kemudian, ia maju ke depan kelas untuk memberi pengumuman.
"Minna!”
serunya. “Hari ini ada jadwal renang! Semuanya diharapkan hadir!
Arigatou!"
Yang lain menjawab dengan malas, "Yaa..."
Lalu, Pein duduk kembali.
Melihat Pein yang sudah kembali, Konan berpesan, "Jahit celanamu sepulang sekolah nanti!"
"Kau sajalah,”
timpal Pein mengalihkan kesalahannya. “Tolong
jahitkan, ya."
"Enak saja!”
tolak Pein mentah-mentah. “Aku
nggak mau!"
Pein mendengus. "Sombongnya..."
.
Setelah bersiap-siap, mereka berangkat ke kolam renang
yang ada di arena olahraga sekolah mereka. Bagi yang menyeburkan diri, langsung
mengganti pakaiannya di kamar mandi. Sedangkan yang tidak, menunggu di bangku
bertingkat dari semen—seperti yang biasa kita lihat di kolam renang. Mungkin
mereka juga otomatis menjadi penjaga tas-tas mereka yang ‘nyebur’. Atau bisa
juga jadi penonton. Dan salah satu yang tidak ‘nyebur’ kali ini adalah si
kembaran hiu, Kisame Hoshigaki.
"Kisame-san hari ini tidak berenang?” tanya Konan pada Kisame yang duduk di sebelah kanannya. “Biasanya kau yang paling semangat. Haha."
"Tidak. Aku sedang perawatan kulit, nih,” Kisame menggeleng sambil menatap gelombang air kolam yang biru jernih
dan tertimpa sinar matahari. “Udaranya
juga
panas sekali. Kulitku bisa melepuh."
curhatnya, lalu menutupi dahi dari sorotan cahaya matahari di siang yang terik
itu.
"O-oh,”
Konan terima-tidak terima pada jawaban aneh dari Kisame itu. “Oke."
Sreet. "Halo!” sapa Kankuro yang menggesrekkan (?) diri ke sebelah
kiri Konan. “Kau nggak berenang
lagi,
Konan?" tanyanya basa-basi.
"Aku memang tidak
bisa berenang,” jawab Konan santai. “Origamiku
bisa
hancur nanti."
"Ah, iya,”
Kankuro menepuk dahinya. “Aku
lupa."
Konan balik bertanya. "Kau sendiri?"
"Tidak,” Kankuro menggeleng. “Mau mencoba eksperimen baru dengan
Kakuzu, memasukkan jantungnya ke kugutsu-kugutsuku," katanya antusias
dan mengepalkan tangan kanannya.
"Oh,”
Konan berpikir ‘anak ini juga tak kalah aneh’. “Ganbatte,
ne." Setelah mengucapkan itu, Kankuro berterima kasih dan
pergi mendekat ke Kakuzu yang berada di ‘lantai’ paling atas.
Konan melihat Itachi dan Sasori dan Sasori yang akan naik ke ‘lantai’ tiga, di tempat
Konan dan Kisame duduk. Ternyata, Sasori tidak jadi naik, ia pamit untuk tarun
pada Itachi. Sedangkan Itachi-nya naik sambil menggandeng ransel sekolahnya.
"Itachi!" panggil
Konan sambil melambaikan tangan, lalu memberi kode agar Itachi duduk di sebelah
kirinya. Setelah Itachi tiba,
Konan bertanya, "Kau sungguhan nggak bisa berenang? Padahal kau itu tinggi, lho. Masa’, 1,5 meter saja tidak bisa?"
Itachi menggeleng dengan
pandangan agak suram. "Aku tidak bisa mengapung." katanya mengaku
dengan nada penyesalan.
Konan mengangguk mengerti. "Tapi kalau sekedar berdiri, masih bisa,
'kan?"
"Bisa. Tapi kalau sekalian
melakukan gerakan renangnya tidak bisa."
Konan mengangguk lagi.
Tak lama kemudian, Pein dan Deidara tiba setelah entah
apa yang dilakukan oleh mereka di suatu tempat. Mereka berdua naik ke tempat
Itachi dan Konan. Deidara meletakkan ranselnya di dekat merka berdua. Kemudian,
si perakit bom itu melepaskan seragamnya, dan alhasil tinggallah (hanya) sebuah
boxer yang ada di tubuhnya. Konan
menang banyak!
Sambil memasukkan
seragam yang telah dilepas, Deidara menoleh ke Pein yang ada di sebelah
kanannya, "Un, Pein nggak ganti baju?"
Setelah membungkuk untuk meletakkan tas, Pein berdiri
lagi. "Konan, mau
tarik ke kiri atau kanan?" tanyanya seraya
memaparkan celana yang dikenakannya dengan zipper-nya
yang menganga lebar.
Sontak, Konan memalingkan wajah, "Pein baka!"
Ketiganya tertawa. Dan
ternyata eh ternyata, Kisame sudah tidak ada lagi di situ. Mungkin dia pergi ke
‘lantai’ paling atas untuk berteduh. Mungkin juga dia merasa diasingkan karena
Konan memilih mengobrol bersama Itachi tadi. Yang sabar, ya...
Deidara mengusap rambut Konan. "Untung Pein pakai boxer,
un. Kalau tidak, bisa gawat masa depan Konan-chan." Ia duduk di
samping kanan Konan.
Pein melepas seragamnya—meninggalkan
hanya sebuah boxer seperti Dei di
tubuhnya, lalu melipatnya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam tas.
Deidara bersiap turun. "Tolong jaga tas kami, ya, un." pintanya, kemudian turun bersama Pein.
"Sip." jawab
Itachi santai.
Konan memandang kesal ke arah Pein dan Deidara yang baru
saja turun. "Bagaimana, sih, teman-teman kita ini?” tanyanya, ingin
meminta pendapat dari Itachi. “Apa kelas lain juga segila dan senekat kita,
ya?”
"Tidak tahu,” Itachi
mengangkat bahu. “Yang
pasti, mereka membuatmu senang, 'kan?"
ujarnya melempar senyuman pada Konan.
"Senang sekali,”
pekik Konan, namun dengan nada datar. “Aku
sayang mereka semua,” lanjutnya sambil
memandang ke arah kolam yang sudah dipenuhi oleh teman sekelas mereka.
"Ah, sudah mau masuk ujian akhir,” Itachi ikut memandang ke arah kolam. “Sebentar lagi kita sudah kelas
sebelas. Tidak
terasa, ya."
Pandangan Konan menjadi sedih. "Aku sedih sekali kalau harus
berpisah dari kalian,”
ungkapnya dari hati yang terdalam. “Padahal
baru tahun
pertama, tapi sudah banyak membuat kenangan."
"Hahaha. Semoga tidak
pisah, yaa.” harap Itachi.
"Semoga."
-Owaru!-
Hueee, akhirnya
kesampean juga nulis ini xD Dan, finally,
terpaksa di rate T, hahaha. Based on true story! Hampir tidak ada kalimat dan
situasi yang tidak diubah. Bedanya, kejadian-kejadian ini nyatanya terjadi
di waktu yang berbeda, tapi di tempat yang sama. Kalau di fic ini, kejadiannya
waktu anak-anak semvak (?) itu pada mau ujian akhir kenaikan kelas xDD
Wkwkwk, cekikikan
sendiri nulisnya. Kelas kami, mah, gitu orang-orangnya. Pada ‘gila’ semua -_- *gananya*
Dan nyatanya, yang jadi Pein itu adalah ketua kelas saya, salah satu s***ekers
dari tiga s***ekers yang ada di kelas. Hahah. Dan Konan-nya saya! Kan anjir,
sampe ga dianggep cewek lagi TwT Beneran itu, saya digituin sama si ketua kelas
gatau diri itu. Bedanya, kalo Konan di sini agak cuek, sedangkan saya di dunia
nyata fine-fine aja ngadepin
candaannya, malah ikut ketawa juga—AHAHAHAHA :v
Coba dibaca
epilog-nya sebelum di-review! *emang ada yang mau nge-review?*
-Pein no Chikara
desu!: Epilog-
Konan dan para ‘pengawal’-nya, Pein, Deidara, dan Itachi,
berjalan pulang bersama seperti biasa. Matahari sore dan angin semilir menemani
langkah mereka. Konan dan Pein berjalan beriringan di belakang Deidara dan
Itachi. Aroma air kolam renang masih tercium dari tubuh Pein dan Deidara.
Rambut mereka berdua juga masih sedikit basah. Pein akan melancarkan
serangannya dalam beberapa detik.
“Wah,” Pein meraba-raba rambut di sekitar pipi dekat
telinganya. “Jambangku sudah panjang, nih.”
Deidara menoleh ke belakang sambil tetap menjaga
langkahnya. “Iya, tuh, un,” katanya lalu mengingat-ingat sesuatu. “Senin nanti
razia rambut, lho.”
“Hmm...” Pein mencuil rambut jigraknya—yang menjadi lurus
karena masih basah—dari ubun-ubun. “Rambut atasku juga sudah sejengkal lebih.
Gyah, sepuluh senti lebih, ‘kan?” pekiknya panik.
“Gawat, un,” Deidara geleng-geleng. “Kalau rambut bawahmu,
un?” tanyanya iseng.
Pein dengan semangat menjawab, “Oh, kalau yang itu tak
terhingga!”
“HAHAHA!!” Pein, Itachi, dan Deidara tergelak.
“BAKAAA!!” teriak Konan kesal sambil memukul op*ai Pein
dengan kekuatan penuh.
Pein men-‘aduh’ kesakitan sejenak sambil mengelus bagian
dadanya yang terkena serangan Konan. “Maksudnya bulu kaki, lho, Konaaan!” ralatnya
minta ampun pada Konan seperti ingin menangis darah.
Muncul lagi dua urat di kepala Konan. “APANYA ‘RAMBUT
BAWAH’ ITU BULU KAKI? SETAHUKU TIDAK COCOK DIKATAKAN KALAU BULU KAKI PANJANGNYA
‘TAK TERHINGGA’!”
Pein tidak mau kalah. “Yaa, bisa saja, ‘kan? Kalau tidak
dicukur seumur hidup?”
“Sudahlah. Aku menyerah.” kata Konan akhirnya
“Ah, sayang sekali. Konan menyerah,” Pein menciptakan nada
yang sedih. “Ayo, kita main lagi!” ajaknya bercanda.
“Hahaha!!” Mereka tertawa lagi, minus Konan yang sweatdropped-nya sudah hitungan ke dua
hari ini.
Comments
Post a Comment