Lonceng (Ori Fic)

Koyuki Uzumaki © 21 Mei 2014

Sumber gambar: pixabay.com/qimono

Luna memandang dari jendela kaca kamarnya. "Saljunya tebal sekali! Kalau begini, kapan aku bisa latihan? Huaaah..." Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur. "Tak adakah kegiatan lain selain menghangatkan diri di rumah?" tanyanya seakan di situ ada banyak orang.


Hening sejenak.

Kemudian, mata Luna memicing dan ia tersenyum tiba-tiba. Ia bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar kamar, menemui Train.

"TRAIIIN! BELIKAN LONCENG UNTUK SEPEDAKUUU!" teriak Luna berlari dan mendobrak pintu kamar Train.

"Yang benar saja." Train menggeleng. "Permintaanmu belakangan ini selalu aneh dan mengejutkan. Ada apa denganmu?" tanyanya memegang dahi Luna.

Luna mengusap-usap dahinya. "Tidak tahu," ia mengangkat bahu. "Mungkin akan ada sesuatu yang di luar perkiraan akan terjadi?" tebaknya.

Train tertegun. "Maksudmu? Menyenangkan atau menyedihkan?"

"Menyedihkan—lebih tepatnya mengharukan. Entahlah."

Deg!

Train seperti mengingat sesuatu. Tapi tidak terlalu jelas di otaknya. Samar-samar, sehingga dipaksa untuk mengetahui apa sesuatu yang diingatnya itu. Hal ini membuat jantungnya berdebar dan kepalanya sakit. Wajahnya pucat dan badannya gemetaran.

Luna terkejut melihat Train. "K-kau kenapa?" tanyanya panik. "Kau kedinginan? Mau air hangat? Selimut? Ja—"

"Tidak." jawab Train cepat. "Iya, kita akan beli loncengnya." Dari meja belajar, Train berjalan hati-hati menuju tempat tidur dan duduk di atasnya. "Tapi, setelah hujan saljunya reda, ya."

Luna mengangguk sedih. Bukan karena loncengnya tidak langsung dibeli, ia masih takut melihat Train yang tiba-tiba terlihat sakit karena sebab yang tidak diketahuinya.

"Kalau kau sakit, tidak jadi beli, tidak apa-apa, kok." Luna mengutarakan niatnya.

Train menggeleng. "Aku baik-baik saja. Nanti, kita akan beli. Aku janji. Aku, 'kan, kakak yang hebat, kuat, baik hati, dan luar biasa," candanya melelehkan suasana.

"Hei, kau menambahnya," sahut Luna sedikit tertawa. "Hebat dan kuat itu sama."

"Dan keduanya ada padaku," sanggah Train. "Sudah. Tinggalkan aku sebentar, ya. Aku mau mengingat sesuatu dulu. Mungkin, tugas sekolah." usir Train.

"Baiklah. Dah." Luna meninggalkan Train. Ia menutup pintu. Di luar, ia bersandar di pintu, mengeluarkan ekspresi sedih. 'Kau seperti menyingkirkanku, Train.' Luna bergegas pergi dari situ dan menyiapkan pakaian tebalnya.

Kamar Train. Menahan denyutan di kepalanya, Train mencoba mengatur nafas. Sesuatu yang di luar perkiraan, menyedihkan, dan mengharukan.

Satu detik.

Lima detik.

Sebelas detik.

DEG!

Lima belas detik.

Train memejamkan matanya pada detik ke-lima belas untuk menahan rasa sakit yang memuncak. Ia memegangi kepalanya, meremas rambutnya, rasanya mau pecah. Ingin rasanya berteriak. Di otaknya terdengar suara-suara yang tak jelas maksudnya karena bertabrakan satu sama lain.

"Kau bisa bersenang-senang dengannya sekarang... Tapi, tidak saat menuju angka lima belas itu...," kata suara itu yang akhirnya terdengar jelas. "Sekarang, bangunlah, Train. Bangun. Train..."

"...ain! Train! Bangun!"

Train membuka matanya. Seketika, semua sakit itu sudah lenyap. Tubuhnya kembali segar. Ia merasakan punggungnya basah; keringat. Karena itu, ia langsung bangkit dari posisi tidur menjadi duduk.

"Luna...?" Train menyeka keringat di dahinya.

"Train... Kau serius baik-baik saja? Kenapa kau berkeringat?" Luna memandangi Train. "Aku sudah menyiapkan makan siang dan susu hangat. Makan saja dulu." sarannya. "Atau, kau mau coklat panas? Biar kubuatkan," katanya hendak melangkah pergi.

"Luna!" tahan Train, Luna menahan langkahnya. "Tidak usah. Ini cukup, terima kasih."

Luna membalikkan badan. Ia duduk di kursi meja belajar. "Kalau begitu, kau harus makan."

"Tapi, kita mau membeli lonceng, 'kan?" Train mengingatkan.

"Yaaa, kalau kau nggak makan, tidak usah jadi beli loncengnya."

"Baik, baik. Aku makan," Train menyambar piring dari meja belajar dan menyuap ke mulutnya dengan lahap.

"Ngomong-ngomong, kau mimpi apa sampai berkeringat begitu?" Luna penasaran. "Padahal, ini musim salju. Walau sekarang sudah berhenti, sih, hujannya."

Train menghentikan kunyahannya sebentar karena pertanyaan Luna barusan. "Itu..." Train berbicara dengan mulut penuh makanan. Ia mengunyah lagi, meneguk susunya, lalu menelan makanannya. "Mimpinya adalah aku dikejar-kejar guru karena menunda tugas sampai lima kali!" bohongnya.

"Ckckck. Siswa macam apa itu? Hahaha, kasihan, Train." Luna tersenyum, "Semoga jadi acuan, ya, supaya tidak jadi sombong. Kulihat, kau tidak pernah menunda tugas."

Train memasukkan suapan terakhirnya. Kunyah. Telan. "Ya. Semoga," doanya.

Luna merapikan semuanya. "Kau bersiap saja. Aku yang akan menyelesaikan piring dan gelasmu," katanya melompat dari kursi dan pergi ke dapur.

***

Luna mengangkat sepasang lonceng berwarna emas dan berhias pita merah-hijau di pegangannya setinggi yang ia bisa. Sepanjang perjalanan pulang, ia seperti mengagungkan keindahan lonceng sederhana itu. Di permukaan lonceng terdapat motif bintang yang timbul, menyebabkannya seperti relief dalam skala kecil.

Luna menggoyangkan kedua lonceng sekaligus. "Ini bagus sekali, Train! Terima kasih banyaaak!" ucapnya beriringan dengan bunyi lonceng yang digoyangnya.

"My pleasure," jawab Train singkat.

-Di halaman depan-

"Tunggu! Aku ambil kamera dulu!" Train bergegas ke dalam rumah.

"Ide bagus!" Luna menyetujui.

Sementara Train masuk ke dalam, Luna sibuk menentukan dimana sepasang lonceng itu akan ditaruh di bagian mana di sepedanya. Setelah beberapa menit berpikir, ia memutuskan untuk menempatkan di keranjang depan sepedanya. Diikatnya kedua pita pada lubang-lubang di keranjangnya. Dia hanya menaruh satu. Ia berniat untuk memberikan yang satunya untuk Train buat di sepedanya juga, atau dimana saja di tempat yang bisa diingat.

"Hohoho... Bagus, bagus..." Luna bertepuk tangan pelan memandang lonceng itu.

Kemudian, Train datang dengan kamera di tangannya, bersiap untuk mengabadikan gambar-gambar cantik yang bisa ditangkap. Ia melihat Luna masih memegang satu lonceng dan menggoyangnya dengan seulas senyum.

"Kenapa yang satunya nggak dipasang juga?" tanya Train.

Luna menjawab, "Yang ini untukmu saja." Ia menyerahkan lonceng yang satunya pada Train. "Simpan atau taruh di mana saja yang mudah diingat olehmu."

Train menerimanya, "Serius?"

Luna mengangguk. "Mari berfotooo!" Ia meloncat girang.

Begitulah. Mereka berdua memulai photoshoot versi kakak-adik. Banyak posisi dan gaya yang mereka ciptakan, di antaranya: Luna bergaya biasa di atas sepeda dengan lonceng barunya; Luna di atas sepeda membuat kedua lonceng di kedua daun telinganya; Train membonceng Luna dan Luna membuat kedua lonceng di kedua daun telinga Train; Train dan Luna duduk di kursi kayu dengan memegang lonceng masing-masing; Train dan Luna merapatkan kedua lonceng mereka, tangan kiri Luna membentuk peace sedangkan tangan kanan Train bertugas mengatur kamera; dan masih banyak lagi.

Beberapa foto telah diabadikan. Keduanya kehabisan gaya. Di tengah keadaan itu, Luna mendapat ide.

"Train! Aku punya usul gaya keren untukmu!" serunya.

Train disuruh duduk di kursi kayu dengan posisi sedikit bungkuk dan mengatupkan tangannya untuk menahan dagu serta menggunakan pahanya untuk menopang kedua sikunya. Matanya memandang semi-ke bawah, seperti menunggu sesuatu dalam hening. Lonceng miliknya ditaruh di samping kanannya.

Klik!

Luna menunjukkan hasil jepretannya pada Train dengan bangga. "Train seperti di kisah-kisah cinta, menunggu orang yang telah mencuri hatimu dengan ingatan terhadap lonceng! Hahaha!"

Train memandangi dirinya di kamera itu, terbesit juga sedikit perasaan bangga di hatinya, ‘Bisa juga aku bergaya seperti model...’ Namun, dahinya mengkerut mendadak. "Hei, kau pernah nonton atau baca begituan, ya?" selidiknya baru menyadari kalimat pujian Luna yang terlalu dewasa.

Luna menutup mulutnya seakan mengatakan 'ups!'. Ia kebingungan mencari alasan, sementara tatapan tajam Train semakin mendalam. "Ee... I-itu..." Dirasakannya wajahnya memanas. "S-sebenarnya..."

"Sebenarnya apa?" paksa Train.

"S-sebenarnyaaa..." Luna terus memutar otaknya. "Ah! Sebenarnya, aku berharap bisa nonton atau baca yang begituan. Tapi, ternyata aku cuma bisa membayangkan dan mencoba merangkai kata-katanya saja!" elaknya habis-habisan. 'Memang belum pernah, Train... Ide itu tiba-tiba saja muncul, sumpah...'

Train menyudahi deathglare-nya. "Oh, kau mau jadi novelis cinta, ya? Semoga terwujud, ya."

"Ehm..., y-ya, begitulah. Amin..." sahut Luna asal.

Train berdiri. "Kalau begitu, aku juga punya gaya keren untukmu."

Luna disuruh menekuk kaki kirinya ke bawah—lututnya menyentuh tanah—dan kaki kanannya ditekuk ke atas—lututnya menghadap ke depan—, tangannya berlagak mengambil lonceng yang jatuh, serta kepala mendongak ke atas dengan ekspresi wajah seperti menahan seseorang untuk pergi.

Klik!

Train menunjukkan hasilnya pada Luna. Luna menerimanya dengan antusias.

Train menjelaskan maksudnya menyuruh Luna bergaya seperti itu. "Ceritanya, kau menemukan lonceng yang dijatuhkan seorang gadis cantik. Kau mengambilnya dan berusaha mengejar gadis itu. Setelah mendapatkannya, gadis itu berterima kasih padamu dan memberi imbalan, yaitu mengabulkan apa saja yang kau inginkan. Intinya, gadis itu adalah peri. Sekian."

Luna bertepuk tangan. "Kau jago mendongeng, Train. Kau mau jadi penulis dongeng tidur anak-anak?" tanyanya bercanda.

"Kau menghinaku?"

"Menurutmu?"

Dan mereka kejar-kejaran sejenak karena perlawanan dari mulut Luna. Mereka duduk kembali setelah lelah berlari-lari.

"Nanti aku cetak dua rangkap untuk kita berdua, ya," kata Train.

"Terserah apa katamu, Bos!" Luna bergaya hormat. 'Kau dan lonceng-lonceng itu, Train... Semoga jadi memori yang indah dalam otakku, dalam hidupku...'

Hanya sebuah prolog dari suatu kisah fiksi yang belum bisa saya kembangkan TwT

Ganbatte, atashi~ lllorz

Comments

POPULAR POSTS

About Me!

Space Journey~