Kimia, Oh... Kimia
Tersebutlah seorang teman saya bernama Michael. Ia anak kimia, dan
mendadak mengajak saya untuk diskusi tugas kimia—yang notabene diberikan hari
itu juga.
Awalnya, hanya kami berdua. Tapi, saya ajak juga Santa. Awalnya Santa
hendak pulang. Namun akhirnya dia juga mau. Diikuti oleh dua teman lain,
Ropatina dan Hot Junita, yang tak sengaja mendengar percakapan kami.
Kami pergi ke markas, di depan kelas 9-1. Kami berbagi tugas.
Masing-masing mengerjakan yang dikuasai. Ujungnya, dari tujuh soal, hanya dapat
dua soal. Michael pulang lebih awal karena kelamaan. Digantikan oleh Rimpun
yang tadinya di belakang sekolah bersama kelompok padus.
Sama saja. Sampai jam empat, kami tak kunjung mendapat lebih dari dua.
Sampai saya meminjam catatan Rimpun yang lebih rapi, tetap tak nalar juga.
"Meceee, ayolah, pulaaang," Rimpun mengemis-ngemis.
"Tunggu, Pun! Sebentar lagi!" cegah saya. "Nomor 116-nya
kusalin dulu," lanjut saya sambil menuliskan jawaban itu di buku Rimpun.
Begitulah. Rimpun sampai 'merengek' minta pulang duluan. Katanya, cucian
menumpuk. Saya ikut memohon ia jangan pulang dulu, supaya tugasnya juga
selesai. Jujur saja, saya tidak yakin ia mau menyelesaikannya. Ahaha.
Jam empat lewat, beberapa teman dari kelompok paduan suara (padus)
datang. Ada Arlinton, Bona dan Jane—mereka anak kimia juga, si kembar
Jessica-Yessica, Gray (bernama asli Demas), Robert dan Tamara.
Langsung saja, kami tanyakan pada Arlinton, Bona, dan Jane. Tapi...
"Aku nggak mengerti apa yang diminta dari soal ini!" keluh
Arlinton
"Aku sedang tidak connect,"
Jane juga mengeluh, begitu pula Bona.
Setengah lima, Rimpun tak tahan ingin pulang. Ia membereskan semua
peralatannya.
"Handphone-mu aktif,
'kan, Pun?" tanyaku.
Jawab Rimpun, "Iya. Nanti kirimkan, ya!"
Saya balas, "Oh, ya, sudah. Hidupmu enak sekali, ya!"
Terjadilah demikian, diikuti Arlinton, sebab arah rumah mereka sama dan
utamanya, mereka SATU ANGKOT!
Seusai kepulangan Rimpun dan Arlinton, tak disangka sang guru mata
pelajaran tercinta, Pak Joxs (baca: Joks), lewat dan
melihat kami.
"Kenapa kalian belum pulang?!" teriaknya.
Kami menjawab serentak, "DISKUSI, PAAAK! KIMIAAA!" Dan ada
yang menunjukkan buku cetak kimia ke beliau.
Pak Joxs cuma mencibir, kemudian berlalu untuk mengajar les sore kelas
12. Tapi kemudian, beliau teriak dari tangga atas memanggil Bona; hendak
diajarkan!
Bona pun mencari teman agar tidak sendiri, dan sayalah orangnya.
Sebenarnya, keinginan saya sendiri agar tidak membuang waktu dan... PENASARAN
DENGAN JALAN CERITA SOAL TERSEBUT!
Dengan santainya, Pak Joxs menerangkan dan selesai dengan singkat. Saya
dan Bona kembali ke markas dan mengoper (mendikte) jawabannya pada teman-teman
lain. Semuanya selesai pukul setengah enam lewat sedikit.
Sesampainya di rumah, saya nonton Naruto sebentar, lalu mandi.
Menganggur sampai jam sembilan karena kelelahan, lalu menyalin jawaban tugas
kimia. Semuanya selesai pukul setengah sepuluh.
Cepat-cepat, saya telepon Rimpun. Pertama, tidak aktif. Berarti, HPnya
memang sedang non-aktif. 'Gimana ini?
Katanya aktif!'. Saya coba dua kali lagi, dan sama saja. Sebab itu, saya
putuskan untuk bangun cepat besok. Kebetulan, ringkasan untuk catatan geografi
belum selesai.
Sekitar pukul setengah enam pagi, saya bangun. Dengan mata masih
mengantuk, saya berusaha menyusun roster—mencari beberapa buku dalam tumpukan
buku. Tetapi, apa yang saya hendak kerjakan tidak ketemu.
Buku cetak geografi saya tidak ada! Antara ingat dan tidak ingat, buku
saya sepertinya dipinjam. Tapi, siapa?! Begitu juga buku catatannya, masih
dipinjam sama teman sekelas saya. Buku cetaknya? Tidak tahu.
Entah mengapa, ingin menangis rasanya. Buku cetak itu sangat berharga,
mahal pula. Mengapa yang meminjam tidak mengembalikan? Mengapa harus menunggu
saya yang memintanya? Kamu, 'kan, meminjam. Seharusnya, kamu harus segera
mengembalikan tanpa diminta oleh saya.
Lima belas menit habis untuk memastikan bahwa buku cetak geografi tidak
ada. Akhirnya, saya putuskan untuk mandi saja. Percuma mencari terus. Saat
masuk ke kamar mandi, ternyata sungguhan menangis—mengingat sudah tiga kali
kejadian seperti itu.
Sekitar pukul 06.05, saya selesai mandi. Langit masih hitam. Kegiatan
selanjutnya selesai hingga pukul 06.15. Saya bersiap berangkat. Mengingat masih
terlalu pagi, Ibu saya heran.
"Jam segini sekolahnya sudah buka?" tanya beliau tak yakin.
Sontak saya jawab, "Sudah."
"Mau ngapain, sih, sepagi ini?" tanyanya lagi.
"Mau mengerjakan PR," kata saya berbohong, karena sebenarnya
mau membagikan jawaban pada Rimpun; saya sudah berjanji dan dia memang sering
datang pagi.
Kami pun berangkat saat langit masih sangat gelap, pukul 06.20. Tak
sesuai perkiraan beliau, sekolah memang sudah terbuka.
Saya turun dari sepeda motor dan melihat Arlinton. Langsung saya stop
dia dari jarak lima meter, supaya masuk kelas bersama.
Daerah tangga gelap sekali. Lorong kelas juga. Arlinton mencari-cari
Rimpun karena mereka berangkat bareng. Kelas belum dibuka, sehingga kami
mencicil di markas, hanya tiga meter dari kelas kami. Kebetulan, saya belum
selesai satu soal, sedangkan ia sudah.
Cepat-cepat saya salin jawaban singkat itu, dan Rimpun datang! Saya
mengomel (bercanda) sedikit padanya karena kemarin malam HPnya tidak aktif.
Padahal, kami tidur di jam yang sama!!
Selesai menyalin, kami masuk ke kelas karena sudah dibuka oleh pegawai.
Mungkin karena melihat saya dan Arlinton mencoba membuka pintu beberapa saat
lalu. Oh, iya, kalkulator Arlinton sempat rusak sejenak, layarnya tergeser
karena terjatuh—ia terburu saat mengangkat tas.
Di kelas, Rimpun dan Arlinton akhirnya leluasa menyalin. Senang, usaha
saya untuk menolong mereka berhasil, terkhusus Rimpun.
Memang agak terganggu sedikit karena Anggi sudah
datang. Mereka bertiga jadi berebut membalik lembar buku. Tapi, masih berapa
lama sebelum lonceng, Rimpun (dan Arlinton) selesai menyalin. Bahkan Rimpun
masih sempat meringkas catatan geografi! Hahaha.
Comments
Post a Comment