Nee-chan ga Suki! (Ori Fic)

Sumber gambar: pixabay.com/Alexas_Fotos

3.4.15 – 6.4.15

Tahun ajaran baru dimulai. Luna senang bisa sekelas kembali dengan Leon. Sekarang, mereka adalah siswa kelas 2 SMA. Banyak teman baru dari kelas lain. Tak sedikit juga teman lama yang kembali sekelas. Sepertinya seimbang.
Hari pertama perkenalan seperti biasa. Semuanya terasa normal sampai seorang cowok memperkenalkan dirinya dengan angkuh.
“Namaku Train. Cita-cita ingin menjadi ilmuwan,” ucapnya datar, lalu duduk kembali.
Luna memperhatikan sekelilingnya. Banyak anak-anak cewek berbisik. Ah, cowok juga. Hanya saja, para cewek seperti mendadak menjadi penggemar. Sedangkan cowok merasa tersaingi. Berbeda dengan dirinya, Luna malah menjadi seperti cowok. Ia merasa tersaingi.
Nama Train memang terkenal sejak tahun lalu. Begitu juga dengan namanya. Masing-masing adalah bintang kelas dari kelas asal. “Namaku Luna. Cita-cita ingin menjadi pengajar sukarela,” katanya dengan sedikit penekanan. Ia duduk sembari menatap dingin punggung Train.
“Namaku Leon. Cita-cita ingin menjadi arsitek,” sambung Leon dengan nada ceria.
Luna menatapnya hangat, berlawanan sekali dibandingkan pada Train. Ia senang karena Leon bisa menjadi teman sebangkunya saat ini. Dan lagi, Leon satu dari sekian yang tidak mementingkan Train.
“Kau mau jadi arsitek?” tanya Luna. “Kenapa aku baru tahu?”
Leon mengangguk. “Tidak pernah tanya, sih...”
Luna mengacak rambut Leon. “Terserah!”
.
Saat istirahat, para cewek langsung melingkari Train. Mereka menggebu ingin kenal Train lebih dekat. Teriakan mereka yang minta nomor handphone sampai email terdengar oleh Luna. Ia tak peduli dengan itu. Luna lebih memilih konsentrasi pada bekalnya untuk dihabiskan.
Suapan terakhir...
“Maaf, ya. Aku harus ke perpustakaan. Jangan ganggu.”
Luna menutup bekalnya. Dilihatnya Train pergi dengan gaya sok cool-nya, memasukkan tangan ke saku celana. Diikuti sorot kecewa dari cewek-cewek itu. Terdengar juga suara keluhan dan pernyataan saling menyalahkan satu sama lain.
“Bodoh,” Luna melihat mereka. Ia mengalihkan pandangan ke arah pintu, “...dan sombong.”
Luna segera menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Ia terus mengumpat dalam hati. Baru sehari saja, ia sudah menjadi haters dari Train. Jarang sekali ia cepat membenci orang, sesungguhnya.
“Nee-chan! Sudah makan bekal?”
Luna tersentak. “Leon! Kau mengagetkanku!” Ia merapikan susunan buku di meja.
“Maaf,” Leon menggaruk kepalanya.
“Tak apa,” Luna tersenyum. “Sudah. Kau sendiri?” tanyanya balik.
Leon menggeleng. “Aku tidak bawa bekal. Ketinggalan,” jelasnya.
“ASTAGAAA!” Luna cepat-cepat mencari uang di tasnya. Sesudah didapat, ia menyuruh Leon, “Beli di kantin sana! Nanti kau bisa lemas!” Tangannya menyelipkan uang ke tangan Leon.
“Tapi, ongkosmu—”
“Aku bawa uang lebih!”
“Tapi, nee-chan—”
“Cepat beli sana! Nanti keburu lonceng!”
Leon menyerah. “Terima kasih, ya. Maaf, aku merepotkanmu,” katanya, lalu pergi.
Luna geleng-geleng. ‘Dasar, sok kuat...’ batinnya.
.
Hari terus berlanjut. Namun, sikap arogan Train tak terhapus oleh apapun. Persaingan antara dirinya dan Luna juga semakin ketat. Nilai mereka saling kejar. Mereka sama kuat saat ini.
Yang berbeda hanya keadaan di kelas. Train jadi orang penyendiri. Teman sekelasnya menjadi segan padanya dan tak sedikit juga yang takut padanya. Dia dingin sekali, tak mau diajak bicara, bahkan pernah ‘menusuk hati’ seseorang yang mencoba bertanya padanya.
“Luna, tolong ajarkan yang ini,” pinta seorang teman saat Luna mengobrol dengan Leon.
Luna memberi isyarat ‘tunggu sebentar!’ pada Leon. “Baik. Mana yang tidak dimengerti?” tanyanya ramah.
Temannya itu menjelaskan semuanya, begitu juga Luna. Ia memberitahu semua yang ia kuasai, berusaha supaya bisa dipahami.
“Terima kasih, ya!” katanya, memberi Luna sebatang coklat.
Luna tak percaya pada apa yang dilihatnya. “Errr..., Mia, sepertinya tidak perlu semahal ini,” tolaknya halus. Bukannya tak menghargai. Hanya saja tak sebanding dengan apa yang diberikan Luna pada temannya yang bernama Mia itu.
“Tak apa!” Mia meletakkan coklat itu ke saku seragam Luna. “Itu lebih pantas ada padamu daripada si Train!” sergahnya, menatap horor punggung Train yang sedang menulis.
“Ah, iya!” Luna teringat sesuatu. “Kau teman sebangku Train, ‘kan? Kenapa tidak tanya padanya?”
“Seperti yang kubilang barusan,” Mia menggantung kalimatnya.
Luna mengerti. “Jahat sekali dia, ya...” ucapnya spontan.
“Setuju!” timpal Mia tertawa. “Sekali lagi, terima kasih, ya!” katanya, lalu pergi.
Sret.
Luna berbalik badan. Ternyata, Leon sedang sibuk menggambar. Luna mengeluarkan cokelat itu, menatapnya sebentar.
“Leon...” bisiknya.
“Hm?”
“Cokelatnya kita bagi dua, ya.”
“Oke!” seru Leon senang.
Untuk seterusnya, Luna terus dimintai tolong oleh teman-temannya. Terkadang, Luna harus menunda berpikir karena temannya bertanya. Sering telinganya panas karena keluhan mereka tentang Train.
‘Percuma pintar kalau sombong!’ rutuknya sesekali.
Luna menjadi sibuk setiap hari. Ia makin giat belajar agar tidak ‘mati kamus’ saat ada yang bertanya. Lelah? Jika manusia normal, pasti jawabannya YA. Namun, kebaikan mereka saat memberi hadiah terima kasih, membuat Luna semakin semangat.
Luna tidak berharap pada hadiahnya. Terkadang, ia juga menolak sesuatu yang terlalu ‘wah’. Ia hanya senang temannya semangat juga seperti dirinya. Ia juga bersyukur karena dengan ‘kelebihan’ itu, ia bisa menyalurkan perbuatan mulia.
Tanpa sadar, Train melihat itu semua. Ia jadi tahu bahwa hampir sekelas membencinya. Cowok, maupun cewek. Tapi, ia tetap tak peduli. Tak ada untungnya juga jika meladeni mereka, pikirnya.
Seseorang lewat di samping Train saat istirahat. “Haha, Luna memang baik. Tak rugi bagi orang yang memberinya hadiah.”
“Iya,” jawab temannya. “Tapi, heran juga. Luna tidak membencinya,” ia melirik Train pelan.
Train pastinya mendengar itu. Lalu, dua orang itu menjauh dari Train. Train melihat mereka mengobrol biasa dan tertawa. Train menyeringai.
“Sok kuat...” dengusnya.
Setiap hari, tetap saja banyak yang bertanya pada Luna. Saat ia mengobrol santai dengan Leon, ada yang memotongnya. Bahkan, pernah saat Luna dan Leon sedang berjalan ke kantin, seorang teman mengajak masuk kelas kembali. Saat di kantin juga, pernah ada yang sampai membawa buku. Yang paling parah, saat hampir keluar dari gerbang, ada yang bertanya soal tugas.
Lama-lama, Leon merasa tersingkir juga. Ia merasa terganggu dengan teman lainnya. Kesempatan untuk mengobrol dan bersama Luna menjadi berkurang setiap harinya.
Janji Luna yang berisi, “Nanti kau ke rumahku saja, ya! Aku akan menjelaskan lebih intensif! Atau SMS saja jika aku yang harus ke rumahmu.” tidak mempan, sekalipun Luna menepatinya.
Pernah sekali, Luna menolak halus, sebab ingin menjelaskan pada Leon duluan. Mereka malah berkata, “Leon, ‘kan, bisa diajarkan intensif nanti! Kita tidak sedekat kalian berdua.” Jelas, Leon sakit hati setiap mendengar kalimat itu. Oh, iya. Hadiah yang dibagikan Luna dengannya juga tak berpengaruh.
.
“Nee-chan, bisa ke rumahku hari ini?” tanya Leon, berharap penuh. “Ada yang ingin kutanyakan.”
Luna mencubit pipi Leon. “Kapan pun kau mau~” katanya gemas.
Leon tersenyum tipis dan kembali konsentrasi ke jalan.
“Nee-chan—”
“Luna, bisa ke rumahku hari ini?” Seorang teman muncul dari belakang.
Luna berbalik. “Eh, Gill. Maaf, tapi Leon—” Luna berusaha menolak.
“Leon?” Gill memandang Leon yang ada di samping Luna. “Leon, ‘kan—”
“Iya. Aku bisa intensif dengan nee-chan,” potong Leon dengan senyum paksa.
Luna kelabakan. “Tapi, tapi, Leon, kau—”
“Tak apa,” Leon mengalah. “Yang mau kutanyakan tidak harus selesai besok, kok.”
Gill menjentikkan jari. “Nah, Leon-nya sendiri yang bilang begitu!”
Leon mengangguk, berusaha meyakinkan Luna. Ia lalu berpisah dengan Luna dan Gill. Luna memandang kepergian Leon tak rela. Ia juga sadar bahwa belakangan ini ia tak banyak bicara dengan Leon.
“Yuk!” ajak Gill, akhirnya.
Leon berjalan lesu. Ia menendang banyak kerikil sepanjang jalan. Tiba-tiba, bahunya menabrak bahu seseorang.
“Train?” Leon memandang orang yang ditabraknya.
“Maaf,” Train menepuk-nepuk bahunya. “Kau orang yang selalu bersama Luna, ‘kan?” tanyanya.
Leon mengangguk.
“Namamu...”
“Leon.”
“Ah, iya. Leon. Kenapa kau bisa dekat dengan Luna?” tanya Train masih dengan muka datar.
“Nee-chan...”
“Oh, kakak-adik. Aku kira pacar.”
Leon tersentak. “Kau suka dengan nee-chan?”
“Sedikit,” jawab Train, tak disangka-sangka. “Dia sedikit berbeda dari yang lain. Jika dia tidak membenciku, aku mau suka sungguhan padanya,” terangnya blak-blakan.
“Nee-chan tidak pernah membencimu!” sergah Leon cepat. “Bahkan, dia iri padamu; bisa pintar tanpa bersosialisasi atau hanya dengan membaca otodidak!” jelasnya lebih dalam.
“Oh, begitu,” Train mengangguk. “Baguslah. Terima kasih atas informasinya,” ucapnya, lalu pergi.
Malam hari.
Leon menatap kado yang seharusnya ia berikan pada Luna tadi siang. Ia juga terngiang akan pernyataan Train tadi. Sungguh mengejutkan.
Ding dong~ Leon turun dari kamarnya untuk membuka pintu.
“Selamat malam,” sapa orang itu.
“Nee-chan!” pekik Leon. “Ada apa?”
“Tanyakan apa yang mau kau tanya tadi,” pinta Luna. Pinta.
“Astaga. Sampai seperti ini...” cibir Leon.
“Ayolah!” Luna menjewer telinga Leon. “Mumpung aku belum mengantuk dan sudah makan malam!”
Leon mengiyakan dan mengajak Luna masuk. Ia menyuruh Luna menunggu di ruang tamu, sembari mengambil sesuatu dari kamarnya. Kemudian, ia kembali dengan ‘hadiah-yang-gagal-diberikan’ itu.
Leon menghampiri Luna. “Nee-chan, selamat ulang tahun,” Ia menyodorkan sang hadiah. “Nee-chan ga suki desu,” katanya malu-malu. Dih, imutnya... Penulis senyum-senyum sendiri!
“Terima kasih,” Luna menerimanya. “Aku juga suka Leon—”
“Bukan suka yang itu,” potong Leon. “Maksudku yang lebih dari itu,” tekannya lagi.
Luna berdiri. Ia meletakkan hadiah pemberian Leon di meja di hadapannya. “Leon, terima kasih, ya,” ucapnya hendak pergi. “Kau ingat hari ini, padahal aku hampir melupakannya.” Ia berjalan ke arah pintu.
“Tunggu!” cegah Leon. Ia mengambil kotak manis itu. “Tolong, bawa ini pulang,” mohonnya, kembali menyodorkan barang berharga itu.
Luna menerimanya dengan pasrah. Kali ini, Leon yang menatap kepulangan Luna dengan tidak rela. Ditutupnya pintu dengan hati hampa.
Leon kembali ke kamarnya. ‘Aku nekat sekali, ya,’ batinnya memandang kosong langit-langit kamar.
.
Keesokan harinya, pagi-pagi sebelum lonceng, Luna menarik Leon yang sudah datang duluan—ke koridor sekolah. Ia membawa boneka kucing merah muda itu ke hadapan Leon. Di depan ‘adik’-nya itu, ia juga meremukkan kertas berisi ‘Kita pacaran, ya?’ sambil menggeleng. Kucing kapas itu ia masukkan ke dalam tas, sedangkan kertasnya ia taruh di tempat sampah.
Luna mengajak Leon masuk kelas. “Maaf, ya. Aku sudah sayang sama Leon, seperti adik sendiri,” ucapnya. “Jadi, tidak perlu pacaran segala.”
“Tapi, Train menyukai nee-chan,” sambar Leon.
“Aku memang satu-satunya yang tidak membenci anak itu,” Luna menerawang. “Tapi, bukan berarti aku menyukainya, ‘kan?” sanggahnya.
“Jadi, nee-chan tidak punya perasaan apapun pada Train?” Leon masih kurang yakin.
Luna menggeleng. Train yang mengintip dari belokan yang akan dilewati mereka, tersenyum pasrah. Ia pergi ke perpustakaan dengan wajah super datarnya itu.

Comments

POPULAR POSTS

About Me!

Space Journey~