Nee-chan ga Suki! (Ori Fic)
Tahun ajaran
baru dimulai. Luna senang bisa sekelas kembali dengan Leon. Sekarang, mereka
adalah siswa kelas 2 SMA. Banyak teman baru dari kelas lain. Tak sedikit juga
teman lama yang kembali sekelas. Sepertinya seimbang.
Hari pertama
perkenalan seperti biasa. Semuanya terasa normal sampai seorang cowok
memperkenalkan dirinya dengan angkuh.
“Namaku Train.
Cita-cita ingin menjadi ilmuwan,” ucapnya datar, lalu duduk kembali.
Luna
memperhatikan sekelilingnya. Banyak anak-anak cewek berbisik. Ah, cowok juga.
Hanya saja, para cewek seperti mendadak menjadi penggemar. Sedangkan cowok
merasa tersaingi. Berbeda dengan dirinya, Luna malah menjadi seperti cowok. Ia
merasa tersaingi.
Nama Train
memang terkenal sejak tahun lalu. Begitu juga dengan namanya. Masing-masing
adalah bintang kelas dari kelas asal. “Namaku Luna. Cita-cita ingin menjadi
pengajar sukarela,” katanya dengan sedikit penekanan. Ia duduk sembari menatap
dingin punggung Train.
“Namaku Leon.
Cita-cita ingin menjadi arsitek,” sambung Leon dengan nada ceria.
Luna menatapnya
hangat, berlawanan sekali dibandingkan pada Train. Ia senang karena Leon bisa
menjadi teman sebangkunya saat ini. Dan lagi, Leon satu dari sekian yang tidak
mementingkan Train.
“Kau mau jadi arsitek?”
tanya Luna. “Kenapa aku baru tahu?”
Leon mengangguk.
“Tidak pernah tanya, sih...”
Luna mengacak
rambut Leon. “Terserah!”
.
Saat istirahat,
para cewek langsung melingkari Train. Mereka menggebu ingin kenal Train lebih
dekat. Teriakan mereka yang minta nomor handphone
sampai email terdengar oleh Luna. Ia
tak peduli dengan itu. Luna lebih memilih konsentrasi pada bekalnya untuk
dihabiskan.
Suapan
terakhir...
“Maaf, ya. Aku
harus ke perpustakaan. Jangan ganggu.”
Luna menutup
bekalnya. Dilihatnya Train pergi dengan gaya sok cool-nya, memasukkan tangan ke saku celana. Diikuti sorot kecewa
dari cewek-cewek itu. Terdengar juga suara keluhan dan pernyataan saling
menyalahkan satu sama lain.
“Bodoh,” Luna
melihat mereka. Ia mengalihkan pandangan ke arah pintu, “...dan sombong.”
Luna segera
menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Ia terus mengumpat dalam hati.
Baru sehari saja, ia sudah menjadi haters
dari Train. Jarang sekali ia cepat membenci orang, sesungguhnya.
“Nee-chan! Sudah
makan bekal?”
Luna tersentak.
“Leon! Kau mengagetkanku!” Ia merapikan susunan buku di meja.
“Maaf,” Leon
menggaruk kepalanya.
“Tak apa,” Luna
tersenyum. “Sudah. Kau sendiri?” tanyanya balik.
Leon menggeleng.
“Aku tidak bawa bekal. Ketinggalan,” jelasnya.
“ASTAGAAA!” Luna
cepat-cepat mencari uang di tasnya. Sesudah didapat, ia menyuruh Leon, “Beli di
kantin sana! Nanti kau bisa lemas!” Tangannya menyelipkan uang ke tangan Leon.
“Tapi,
ongkosmu—”
“Aku bawa uang
lebih!”
“Tapi,
nee-chan—”
“Cepat beli
sana! Nanti keburu lonceng!”
Leon menyerah.
“Terima kasih, ya. Maaf, aku merepotkanmu,” katanya, lalu pergi.
Luna
geleng-geleng. ‘Dasar, sok kuat...’
batinnya.
.
Hari terus
berlanjut. Namun, sikap arogan Train tak terhapus oleh apapun. Persaingan
antara dirinya dan Luna juga semakin ketat. Nilai mereka saling kejar. Mereka
sama kuat saat ini.
Yang berbeda
hanya keadaan di kelas. Train jadi orang penyendiri. Teman sekelasnya menjadi
segan padanya dan tak sedikit juga yang takut padanya. Dia dingin sekali, tak
mau diajak bicara, bahkan pernah ‘menusuk hati’ seseorang yang mencoba bertanya
padanya.
“Luna, tolong
ajarkan yang ini,” pinta seorang teman saat Luna mengobrol dengan Leon.
Luna memberi
isyarat ‘tunggu sebentar!’ pada Leon. “Baik. Mana yang tidak dimengerti?”
tanyanya ramah.
Temannya itu
menjelaskan semuanya, begitu juga Luna. Ia memberitahu semua yang ia kuasai,
berusaha supaya bisa dipahami.
“Terima kasih,
ya!” katanya, memberi Luna sebatang coklat.
Luna tak percaya
pada apa yang dilihatnya. “Errr..., Mia, sepertinya tidak perlu semahal ini,”
tolaknya halus. Bukannya tak menghargai. Hanya saja tak sebanding dengan apa
yang diberikan Luna pada temannya yang bernama Mia itu.
“Tak apa!” Mia
meletakkan coklat itu ke saku seragam Luna. “Itu lebih pantas ada padamu
daripada si Train!” sergahnya, menatap horor punggung Train yang sedang
menulis.
“Ah, iya!” Luna
teringat sesuatu. “Kau teman sebangku Train, ‘kan? Kenapa tidak tanya padanya?”
“Seperti yang
kubilang barusan,” Mia menggantung kalimatnya.
Luna mengerti.
“Jahat sekali dia, ya...” ucapnya spontan.
“Setuju!” timpal
Mia tertawa. “Sekali lagi, terima kasih, ya!” katanya, lalu pergi.
Sret.
Luna berbalik
badan. Ternyata, Leon sedang sibuk menggambar. Luna mengeluarkan cokelat itu,
menatapnya sebentar.
“Leon...”
bisiknya.
“Hm?”
“Cokelatnya kita
bagi dua, ya.”
“Oke!” seru Leon
senang.
Untuk
seterusnya, Luna terus dimintai tolong oleh teman-temannya. Terkadang, Luna
harus menunda berpikir karena temannya bertanya. Sering telinganya panas karena
keluhan mereka tentang Train.
‘Percuma pintar kalau sombong!’
rutuknya sesekali.
Luna menjadi
sibuk setiap hari. Ia makin giat belajar agar tidak ‘mati kamus’ saat ada yang
bertanya. Lelah? Jika manusia normal, pasti jawabannya YA. Namun, kebaikan
mereka saat memberi hadiah terima kasih, membuat Luna semakin semangat.
Luna tidak
berharap pada hadiahnya. Terkadang, ia juga menolak sesuatu yang terlalu ‘wah’.
Ia hanya senang temannya semangat juga seperti dirinya. Ia juga bersyukur
karena dengan ‘kelebihan’ itu, ia bisa menyalurkan perbuatan mulia.
Tanpa sadar,
Train melihat itu semua. Ia jadi tahu bahwa hampir sekelas membencinya. Cowok,
maupun cewek. Tapi, ia tetap tak peduli. Tak ada untungnya juga jika meladeni
mereka, pikirnya.
Seseorang lewat
di samping Train saat istirahat. “Haha, Luna memang baik. Tak rugi bagi orang
yang memberinya hadiah.”
“Iya,” jawab
temannya. “Tapi, heran juga. Luna tidak membencinya,” ia melirik Train pelan.
Train pastinya
mendengar itu. Lalu, dua orang itu menjauh dari Train. Train melihat mereka
mengobrol biasa dan tertawa. Train menyeringai.
“Sok kuat...”
dengusnya.
Setiap hari,
tetap saja banyak yang bertanya pada Luna. Saat ia mengobrol santai dengan
Leon, ada yang memotongnya. Bahkan, pernah saat Luna dan Leon sedang berjalan
ke kantin, seorang teman mengajak masuk kelas kembali. Saat di kantin juga,
pernah ada yang sampai membawa buku. Yang paling parah, saat hampir keluar dari
gerbang, ada yang bertanya soal tugas.
Lama-lama, Leon
merasa tersingkir juga. Ia merasa terganggu dengan teman lainnya. Kesempatan
untuk mengobrol dan bersama Luna menjadi berkurang setiap harinya.
Janji Luna yang
berisi, “Nanti kau ke rumahku saja, ya!
Aku akan menjelaskan lebih intensif! Atau SMS saja jika aku yang harus ke
rumahmu.” tidak mempan, sekalipun Luna menepatinya.
Pernah sekali,
Luna menolak halus, sebab ingin menjelaskan pada Leon duluan. Mereka malah
berkata, “Leon, ‘kan, bisa diajarkan intensif nanti! Kita tidak sedekat kalian
berdua.” Jelas, Leon sakit hati setiap mendengar kalimat itu. Oh, iya. Hadiah
yang dibagikan Luna dengannya juga tak berpengaruh.
.
“Nee-chan, bisa
ke rumahku hari ini?” tanya Leon, berharap penuh. “Ada yang ingin kutanyakan.”
Luna mencubit
pipi Leon. “Kapan pun kau mau~” katanya gemas.
Leon tersenyum
tipis dan kembali konsentrasi ke jalan.
“Nee-chan—”
“Luna, bisa ke
rumahku hari ini?” Seorang teman muncul dari belakang.
Luna berbalik.
“Eh, Gill. Maaf, tapi Leon—” Luna berusaha menolak.
“Leon?” Gill
memandang Leon yang ada di samping Luna. “Leon, ‘kan—”
“Iya. Aku bisa
intensif dengan nee-chan,” potong Leon dengan senyum paksa.
Luna kelabakan.
“Tapi, tapi, Leon, kau—”
“Tak apa,” Leon
mengalah. “Yang mau kutanyakan tidak harus selesai besok, kok.”
Gill
menjentikkan jari. “Nah, Leon-nya sendiri yang bilang begitu!”
Leon mengangguk,
berusaha meyakinkan Luna. Ia lalu berpisah dengan Luna dan Gill. Luna memandang
kepergian Leon tak rela. Ia juga sadar bahwa belakangan ini ia tak banyak
bicara dengan Leon.
“Yuk!” ajak
Gill, akhirnya.
Leon berjalan
lesu. Ia menendang banyak kerikil sepanjang jalan. Tiba-tiba, bahunya menabrak
bahu seseorang.
“Train?” Leon
memandang orang yang ditabraknya.
“Maaf,” Train
menepuk-nepuk bahunya. “Kau orang yang selalu bersama Luna, ‘kan?” tanyanya.
Leon mengangguk.
“Namamu...”
“Leon.”
“Ah, iya. Leon.
Kenapa kau bisa dekat dengan Luna?” tanya Train masih dengan muka datar.
“Nee-chan...”
“Oh, kakak-adik.
Aku kira pacar.”
Leon tersentak.
“Kau suka dengan nee-chan?”
“Sedikit,” jawab
Train, tak disangka-sangka. “Dia sedikit berbeda dari yang lain. Jika dia tidak
membenciku, aku mau suka sungguhan padanya,” terangnya blak-blakan.
“Nee-chan tidak
pernah membencimu!” sergah Leon cepat. “Bahkan, dia iri padamu; bisa pintar
tanpa bersosialisasi atau hanya dengan membaca otodidak!” jelasnya lebih dalam.
“Oh, begitu,”
Train mengangguk. “Baguslah. Terima kasih atas informasinya,” ucapnya, lalu
pergi.
Malam hari.
Leon menatap
kado yang seharusnya ia berikan pada Luna tadi siang. Ia juga terngiang akan
pernyataan Train tadi. Sungguh mengejutkan.
Ding dong~ Leon
turun dari kamarnya untuk membuka pintu.
“Selamat malam,”
sapa orang itu.
“Nee-chan!”
pekik Leon. “Ada apa?”
“Tanyakan apa
yang mau kau tanya tadi,” pinta Luna. Pinta.
“Astaga. Sampai
seperti ini...” cibir Leon.
“Ayolah!” Luna
menjewer telinga Leon. “Mumpung aku belum mengantuk dan sudah makan malam!”
Leon mengiyakan
dan mengajak Luna masuk. Ia menyuruh Luna menunggu di ruang tamu, sembari
mengambil sesuatu dari kamarnya. Kemudian, ia kembali dengan
‘hadiah-yang-gagal-diberikan’ itu.
Leon menghampiri
Luna. “Nee-chan, selamat ulang tahun,” Ia menyodorkan sang hadiah. “Nee-chan ga
suki desu,” katanya malu-malu. Dih, imutnya... Penulis senyum-senyum sendiri!
“Terima kasih,”
Luna menerimanya. “Aku juga suka Leon—”
“Bukan suka yang
itu,” potong Leon. “Maksudku yang lebih dari itu,” tekannya lagi.
Luna berdiri. Ia
meletakkan hadiah pemberian Leon di meja di hadapannya. “Leon, terima kasih,
ya,” ucapnya hendak pergi. “Kau ingat hari ini, padahal aku hampir
melupakannya.” Ia berjalan ke arah pintu.
“Tunggu!” cegah
Leon. Ia mengambil kotak manis itu. “Tolong, bawa ini pulang,” mohonnya,
kembali menyodorkan barang berharga itu.
Luna menerimanya
dengan pasrah. Kali ini, Leon yang menatap kepulangan Luna dengan tidak rela.
Ditutupnya pintu dengan hati hampa.
Leon kembali ke
kamarnya. ‘Aku nekat sekali, ya,’ batinnya
memandang kosong langit-langit kamar.
.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sebelum lonceng, Luna menarik Leon yang sudah datang
duluan—ke koridor sekolah. Ia membawa boneka kucing merah muda itu ke hadapan
Leon. Di depan ‘adik’-nya itu, ia juga meremukkan kertas berisi ‘Kita pacaran,
ya?’ sambil menggeleng. Kucing kapas itu ia masukkan ke dalam tas, sedangkan
kertasnya ia taruh di tempat sampah.
Luna mengajak
Leon masuk kelas. “Maaf, ya. Aku sudah sayang sama Leon, seperti adik sendiri,”
ucapnya. “Jadi, tidak perlu pacaran segala.”
“Tapi, Train
menyukai nee-chan,” sambar Leon.
“Aku memang
satu-satunya yang tidak membenci anak itu,” Luna menerawang. “Tapi, bukan
berarti aku menyukainya, ‘kan?” sanggahnya.
“Jadi, nee-chan
tidak punya perasaan apapun pada Train?” Leon masih kurang yakin.
Luna menggeleng.
Train yang mengintip dari belokan yang akan dilewati mereka, tersenyum pasrah.
Ia pergi ke perpustakaan dengan wajah super datarnya itu.
Comments
Post a Comment