My Face (oleh: Andi Munthe)
MY FACE
(c) Andi Munthe, ditulis pada 26 Maret 2015
Apa kabar para pembaca yang setia? Kita akan kembali membaca sebuah
cerita yang lumayan menarik dari penulis kita, Andi Munthe. Kali ini, kita akan
membaca kisah hancurnya wajah sang penulis. Mendengarkan saja ngeri, ya. Apalagi membacanya.
Bagaimana bisa wajah penulis kita hancur? Itulah yang saudara
tanya-tanyakan dari tadi. Bukan begitu? Mungkin para pembaca yang setia tidak
sabar lagi membaca cerita penulis kita ini, langsung saja, ya, kita baca
sama-sama.
Tanggal 17 April 2014, Andi dan temannya yang biasa dipanggil
‘Nuek’, pergi ke warnet sehabis pulang dari sekolah. Pada waktu itu ada tugas
biologi yang akan dikerjakan dan dikumpulkan oleh setiap siswa/i kelas 9 karena
dalam dua minggu ke depan akan di laksanakan Ujian Nasional (UN). Pasti para
pembaca tahu apa itu UN. UN adalah akhir dari sebuah penderitaan bagi para
pelajar yang sekarang duduk di kelas 9 dan kelas 12. Itu adalah ujian yang
mendatangkan kebahagiaan dan kesedihan menurut penulis. Kenapa sebagai
kebahagian dan kesedihan?
Kebahagiannya, karena kita tak akan berjumpa lagi dengan guru killer, mata pelajaran yang dibenci, dan
yang paling bahagia lagi: tidak akan membaca dan menulis di buku putih.
Kesedihannya, di mana kita tidak berjumpa dengan sahabat, bercanda dan bermain
di kelas, dan paling sedih tak akan bisa tebar-tebar pesona kepada pacar dan
juga gebetan. Dan yang paling sakit lagi sewaktu di’tembak’ di akhir ujian.
Udah ditolak, ditambah nggak akan jumpa lagi sama si doi. Tapi, itulah hidup,
harus dijalani dengan baik tanpa kekurangan suatu apapun(?).
Ups..., ceritanya sedikit lari. Mari kita
lanjutkan lagi ke cerita hancurnya wajah penulis kita.
Dalam perjalan ke warnet, yang membawa kendaraan adalah teman si
Andi, yaitu Nuek. Dalam perjalanan mereka mencari warnet, mereka hampir putus asa
karena tidak ada warnet di Medan yang ada printer-nya,
semuanya rata-rata tempat game online.
Setiap gang sudah mereka jalani, dan akhirnya mereka menemukan
warnet yang ada printer-nya. Mereka
masuk mengambil Com 8 karena pada
saat itu hanya Com 8 yang kosong. Sewaktu
mengerjakan tugas, mereka bingung apa yang akan dicari di warnet itu. Usut
punya usut, Andi mengambil kunci kereta(1) milik Nuek untuk mengambil buku biologi
ke rumahnya, karena warnet itu tidak terlalu jauh dari rumahnya.
“Nuek, mintalah kunci keretamu. Kalau kek gini terus, kapan siapnya
kita?” kata Andi.
“Iya juga, sih. Tapi, bisa kau bawa(2) kereta? Nanti beserak(3)
kau, aku pulak yang disalahkan.” Nuek menjawab.
“Sepele kali kau, bah. Kau pikir nya(4) aku amatir?” kata Andi pula.
“Okelah. Jangan terlalu lama, ya. Nanti mahal kita bayar internet
ini,” jawab Nuek lagi.
“Iyaa, sabar lah kau, cepat pun aku.”
Selama perjalanan Andi menuju rumahnya, semua masih aman; Kendaraan
aman, barang-barang yang dibawanya ke rumah aman, dan yang paling penting,
wajah manisnya masih aman.
Sesampainya di rumah, dia bergegas pergi ke kamar, mengambil semua
perlengkapan untuk mengerjakan tugas biologinya.
“Kau mau ke mana lagi?” tanya orang yang nge-kost di rumahnya, sebut
saja Ayu.
“Ngerjain PR lagi ke warnet. Bentar lagi aku pulang,” balas Andi sambil
pergi meninggalkan Ayu.
Tapi tak jauh dari simpang rumahnya, mendadak Andi menancapkan gas
sampai kecepatan 90 km/jam. Tak terlalu jauh dari gangnya, kejadian yang
mengerikan pun datang menimpa Andi. Hanya karena mengelakkan lubang yang lumayan
besar, dia hilang kendali dan...
BRAAAAK!
Andi jatuh ke arah kiri, mengenai kepalanya dan juga wajah kirinya.
Tak perlu lama untuk dia bangkit. Dia panik, dia angkat kereta Nuek
yang mengalami kerusakan cukup parah. Sontak dia pening(5), hilang konsentrasi,
dan dia hanya berseru kepada seorang abang di tempat kejadian itu, sebut saja
Bang Jason, mantan preman di wilayah itu.
“Ini bukan keretaku, Bang. Ini kereta kawanku,” kata Andi.
“Iya, sabar. Nanti dulu keretamu. Bersihkan dulu lukamu,” jawab
abang itu.
Sontak, dia mengambil selang yang ada di depan Perumahan Koserna,
wilayah di mana tempat Andi saat berserak saat itu.
Andi mencuci mukanya dan lukanya sambil berkata, “Ini bukan keretaku,
Bang. Ini kereta kawanku.”
“Iya, tapi kereta kawanmu ini rusak parah. Gasnya udah blong, tidak
bisa dipakai lagi.” jawab abang itu.
“Terus bagaimana, Bang? Tolong, Bang, ini bukan keretaku.”
“Oke, di mana kawanmu?” tanya Bang Jason.
“Kawanku di warnet, Bang. Lagi ngerjain tugas, Bang.” jawab Andi.
Andi naik ke kereta abang itu sambil menunduk dan bersandar di bahu
Bang Jason.
“Bagaimana? Apa masih sakit?” tanya Bang Jason lagi.
“Iya, Bang. Sakit sekali, rasanya masih sakit dan pengen pecah.”
jawab Andi sambil menangis.
“Kenapa kau berani bawa kereta kalau belum mahir?” tanya abang itu
sambil menancap gas keretanya.
Sesampainya di warnet, Andi banyak dilihatin orang.
“Nuek, ayo ambil keretamu. Aku baru beserak di sana,” kata Andi
sambil mengambil uang di sakunya untuk membayar uang warnetnya.
“Udah kubilang, ‘kan, Andi. Tapi kau sendiri yang bilang kau bukan
amatir,” jawab Nuek.
“Iya, Nuek. Minta maaf aku,” jawab Andi.
Bang Jason semakin menancap gas keretanya karena tidak tahan melihat
darah di wajah Andi yang semakin membanyak. Sesampainya di depan Perumahan
Koserna, Andi tak menyampaikan sepatah katapun kepada Nuek, hanya bisa tunduk
dan mengungkapkan rasa bersalahnya dengan diam karena keretanya rusak parah.
Lagi-lagi, Bang Jason menolong Andi mengantarkan ke rumahnya. Sesampainya
di rumahnya, dia hanya bisa mengatakan terima kasih banyak kepada Bang Jason.
Mungkin kalau Bang Jason tidak ada, nyawa Andi tak ada lagi karena pendarahan
di luar dan di dalam kepalanya sangat parah.
“Dek, tolong antarkan adek ini ke rumah sakit, ya.” kata Bang Jason
kepada Ayu.
“Iya, Bang. Terima kasih banyak, Bang, atas pertolongan abang,” kata
Andi sambil ditopang masuk ke rumah.
Andi langsung membuka HPnya dan menghubungi keluarga dekat Andi,
yaitu tantenya.
Tuuuut... Tuuuut... Tuuuut...
“Halo?”
“Halo, Tan. Aku baru jatuh dari kereta, Tan. Pendarahan di kepalaku,
sakit ‘kali kepalaku, Tan.”
“Hah?! Bagaimana bisa?!”
“Udahlah, Tan, kita langsung aja ke rumah sakit.”
Ayu pun bergegas mengambil tikar tempat Andi untuk menenangkan diri.
Tak lama kemudian mama-tua(6) Andi yang tinggal di samping rumahnya
datang melihat Andi.
“Ngapain kau naik-naik(7) kereta, Andi?” tanya mama-tuanya sambil
menetaskan air mata.
“Ada tugas sekolah, ma-tua.” jawab Andi.
“Kan, ada intenet di rumah, Andi? Beginilah, ‘kan. Mamamu pun tidak
ada lagi, tapi kau bisa pergi naik-naik kereta.” jawab mama-tuanya sambil
menangis.
“Maaf, ma-tua.” kata Andi.
Tak lama kemudian, semua datang. Mulai dari tantenya, kakaknya,
sampai abangnya pulang dari tempat pekerjaannya. Tapi kendala pun datang, semua
sibuk memikirkan si Andi akan dibawa ke Rumah Sakit Adam Malik atau St. Elisabeth.
Mereka meributkan itu, padahal nyawa Andi sudah hampir melayang.
Hampir 30 menit berlalu. Kesepakatan pun menjadikan kalau Andi dibawa
ke Rumah Sakit St. Elisabeth. Taksi dihubungi, dan mereka langsung membereskan
semua perlengkapan Andi yang akan dibawa ke rumah sakit.
Tak lama kemudian taksi pun sudah ada di depan rumah mereka. Tak
perlu berlama-lama, abang Andi yang bernama Suangdi langsung menggendong dan
membawanya masuk ke dalam taksi. Tetapi dalam perjalanan ke rumah sakit, Andi
mengalami mual yang luar biasa sampai mengeluarkan darah dari mulutnya, dan
juga makanan yang dikonsumsinya tadi siang, tepat di baju abangnya.
Karena melihat kejadian itu, abangnya hanya bisa melihat bajunya
berlumuran darah. Sebenarnya, abangnya ingin muntah juga. Tetapi karena Andi
tepat di pangkuannya, nafsu ingin muntahnya pun hilang dalam sekejap. Untunglah
perjalanan menuju rumah sakit aman tanpa kemacetan.
Taksi langsung menuju ruang UGD. Perawat mengambil oksigen dan
meletakkannya ke hidung Andi. Karena pendarahan yang terus-menerus mengalir,
diakibatkan karena pada tubuh Andi terdapat penyakit hemofilia yang dideritanya
sejak lahir, penyakit itulah yang membuat dia tak bisa terbentur dan terluka,
karena akan fatal kalau hal itu terjadi.
Untuk menghentikan pendarahannya, perawat yang sudah mengetahui
penyakitnya memasukkan 5 vial (kotak obat) suntik ke tubuh Andi melalui nadi
tangannya. Obat itu sering dinamakan koate
yang harganya sejuta lebih untuk satu kotak saja. Tetapi mau bagaimanapun, obat
itu harus tetap dimasukkan karena pendarahan di kepalanya akan membawanya
kepada kematian kalau obat itu tidak disuntikkan.
Setelah obat itu masuk, Andi dibawa ke ruang CT-Scan untuk diperiksa
kepalanya. Setelah diperiksa, Andi dikembalikan lagi ke ruang UGD. Selama 30
menit, keluarganya hanya bisa diam dan menangis melihat Andi terkapar di ruang
UGD.
Tak lama kemudian, hasil CT-Scan keluar dan ternyata bagian kepala Andi
patah. Setelah mendengar berita itu, semua keluarga hanya bisa diam. Entah
bagaimana bisa separah itu, dokter pun menyarankan kepada keluarga supaya dioperasi.
Tetapi karena hemofilia yang ada di dalam tubuh Andi membuatnya tak bisa dioperasi.
Semua keluarga setuju kalau Andi tidak akan dioperasi. Keluarga hanya bisa
meminta tolong kepada penderita-penderita hemofilia lainnya.
Keluarga Andi mendatangi semua pasien penderita hemofilia untuk
meminjamkan obat koate yang harganya
lebih dari sejuta itu. Satu demi satu obat koate
Andi bertambah banyak, sampai akhirnya hampir 20 kotak. Jika obat itu dibeli
dari rumah sakit, maka akan membuat biaya rumah sakit menjadi sangat mahal. Dan
mungkin membuat bapak Andi mengalami stroke
yang parah.
Keesokan harinya, Andi dibawa ke ruangan tempat di mana semua korban
kecelakaan. Sesampainya di ruangan itu, Andi mengambil HP dan memotret dirinya
sendiri ditemani kakak sulungnya yang bernama Shenta, yang memandangnya sambil
tertawa-menangis.
Obat koate masuk satu demi
satu ke tubuh Andi setiap jamnya, dan hanya dalam waktu satu minggu, wajahnya
mengalami pembaikan dan pendarahannya mulai stabil.
Hanya butuh satu minggu lagi untuk Andi menghadapi UN. Setiap pagi,
dia berdoa supaya dapat mengikuti UN di sekolahnya. Dalam satu minggu itu pula,
semua keluarga, sahabat, teman, pacar, dan mantan Andi datang menjenguknya, sampai
guru, kepala sekolah, bahkan penjaga kantin (?) datang menjenguknya. Semua
bergiliran, semua menasehati Andi, semua mendoakan Andi, supaya ia dapat
mengikuti Ujian Nasional bersama teman-teman, sahabat, pacar, dan mantannya.
Yang paling terakhir mengunjungi Andi, yaitu Big Boss, siapa lagi kalau bukan bapaknya. Sesampainya di rumah sakit,
ayah Andi hanya bisa tersenyum melihatnya karena masih bisa melihat senyum Andi
yang menawan. Sebenarnya, ayahnya ingin memukul, mencaci, dan memaki Andi yang
sudah membuat kesalahan fatal bagi dirinya dan juga ayahnya.
Bagi dirinya, dia akan mati. Sedangkan bagi ayahnya, dia akan stres
karena akan kehilangan anaknya. Di mana sebelumnya mama Andi yang mengalami
kanker otak, yang membawa mamanya kepada kematian.
Ayahnya tak perlu banyak bicara. Beliau langsung pergi meninggalkan
Andi sambil meninggalkan uang 200 ribu, ditambah lagi dengan senyum manis ayahnya.
Pendarahan di kepala Andi yang semakin membaik, mungkin karena doa mereka yang
datang menjenguk Andi, penolong Andi sewaktu terjadi kecelakaan, sampai obat koate dari penderita yang sama seperti
dia. Andi hanya bisa berterima kasih kepada mereka yang menolongnya. Dan pada
tanggal 5 Mei 2014 lalu, Andi pun dapat mengikuti Ujian Nasional dengan
teman-teman dan juga sahabatnya.
Yang Andi pikirkan adalah: kenapa pendarahan itu cepat sekali
sembuh? Wajahnya yang bengkak sampai menutupi matanya pun bisa kempes begitu
cepat. Andi hanya bisa mengingat bagaimana pertolongan Tuhan kepada dirinya
melalui Bang Jason, obat koate yang
sangat mahal dari para penderita penyakit hemofilia yang memberikan obat secara
gratis kepada Andi, dan yang lainnya.
Sekali lagi, ini adalah pelajaran berharga bagi Andi untuk menjadi
lebih baik, taat aturan, dan membanggakan orang tua dengan baik.
Terima kasih kepada penolong Andi di waktu itu.
Yak, itulah lajur cerita penulis kita, Andi Munthe, yang sangat
mengharukan kita sebagai pembaca. Kita tidak tahu kapan kejadian yang pahit itu
datang. Tetapi, tetaplah tolong-menolong kepada sesama supaya sesama kita pun
dapat menolong kita dengan ikhlas.
Sampai bertemu lagi di lain cerita.
Saya, Andi Munthe. Terima kasih banyak!
Catatan kaki.
- (1) Kereta: sepeda motor
- (2) Bawa: menaiki/mengendarai
- (3) Beserak/berserak: kecelakaan
- (4) –nya: semakna dengan –kah
- (5) Pening: pusing/sakit kepala
- (6) Mama-tua: bibi, kakak perempuan dari ayah/ibu
- (7) Naik-naik: berlagak/sok + kata kerja
P.S: Baru bisa kuedit sekarang, Dek. 18 Juli
2015. Hahaha, maaf, ya!
Comments
Post a Comment