Kini Kutahu (Naruto Fanfiction)
![]() |
pixabay.com/glynn424 |
[prologue version] Cerita santai dari Naruto yang selalu menunggu seorang gadis yang sering lewat di depan rumahnya. Mulai dari penasaran siapa namanya sampai akhirnya dia harus masuk ke rumah Naruto karena Neji./"Nah, Naruto, kau mau nembak Hinata sekarang? Mumpung sister complex-ku belum kambuh."/"Err, mungkin aku berteman dulu saja dengannya, ya?"/ WARN!: NaruHina belum jadian.
Rated:
K+ - Indonesian - Friendship - Naruto U., Hinata H. - Words: 2,052 - id:
11787564
Disclaimer
| Naruto © Masashi Kishimoto
.
Kini
Kutahu
Naruto sedang menyapu ria ruang tamunya ditemani suara musik
kesukaannya yang mengalir dari ponsel di saku celana pendeknya melalui kabel
headset yang kemudian berakhir di kedua telinganya. Pintu utama dibiarkan
terbuka agar angin sore yang sejuk tetap masuk. Ketika sang pemuda Uzumaki berbalik
untuk mengambil serokan di teras, ia melihat seorang gadis berseragam SMA lewat
dari depan rumahnya. Gadis itu masih menyandang ransel dan melangkah agak
cepat—sepertinya memang baru pulang sekolah.
Naruto menyandarkan sapunya pada perabot terdekat. Setelah
memastikan sapu itu tidak jatuh, ia bergegas keluar dan mengikuti arah gadis
itu berjalan—ke kanan.
Malangnya, safir jernih Naruto tak menemukan gadis itu. Dia
lenyap seketika. Entah berbelok ke persimpangan atau apa.
Tapi, apa mungkin itu terjadi? Sekalipun langkahnya tadi
cepat, dia seorang perempuan. Tidak mungkin menghilang secepat itu.
Naruto menghela nafas.
"Padahal lumayan cantik," gumamnya mengangkat
bahu.
Dalam hati, sebenarnya Naruto masih penasaran. Di tengah
perasaan itu, ia kembali masuk dan melanjutkan kegiatan menyapunya.
…
Kecepatan bus melambat, kemudian berhenti di halte komplek
rumah Naruto.
Naruto berjalan perlahan melewati lorong kursi di dalam bus
menuju pintu. Tanpa menoleh ke belakang, ia berjalan terus ke arah rumahnya. Ia
sadar ada seseorang yang turun juga, jadi ia tidak menutup pintu bus itu.
Naruto berjalan seperti biasa sampai ia berbelok ke
rumahnya. Ia menyadari bahwa orang yang turun dari bus setelahnya tadi adalah
gadis yang ia lihat tempo hari saat menyapu. Yang awalnya ingin melepas sepatu,
ia malah berlari ke jalan di depan rumahnya sampai melihat si gadis masuk
rumah.
"Astaga! Dia tinggal di rumah Neji!"
Naruto memekik sambil menepuk dahinya, seperti merasa telah
melewatkan sesuatu yang sangat berharga. Ia mulai bertanya-tanya dalam hati,
kapan anak itu mulai tinggal di rumah Neji. Dan yang terpenting, siapa namanya!
...
Naruto mengambil topi andalannya dari dalam ransel. Ia
memakai topi itu kemudian membungkuk sedikit untuk melepas kedua sepatunya.
Dari saku celananya, ia juga mengambil sekantung plastik kresek hitam yang
cukup untuk menyimpan sepatunya sementara.
"Sial. Kalau saja sepatuku ada dua atau aku seorang
jutawan, mungkin aku sudah menerobos sejak tadi." rutuknya.
Sejak Naruto menaiki bus sampai turun di persimpangan
rumahnya, hujan belum juga berhenti. Ia berteduh—lebih tepatnya menumpang
sementara di depan sebuah warung makan yang halamannya beratap untuk
mempersiapkan diri demi melawan hujaman air hujan dan kumpulan genangan air
keruh atau becek yang akan menembus sepatu sekolah sederhanya.
Srek
Naruto mengikat ujung plastik dan mengarahkannya ke bawah
agar air hujan tidak membasahi sepasang benda berbahan kain di dalamnya.
Naruto menarik nafas panjang, menahannya beberapa detik,
lalu membuangnya perlahan.
Tap tap tap
Kaki Naruto menapaki jalan kecil komplek rumahnya dengan
hati-hati. Kerikil yang terinjak sedapat mungkin tidak membuatnya terhenti
lama. Topinya juga mulai bocor dan membasahi ujung-ujung rambutnya. Bagian
bahunya turut basah, terus sampai semua bagian kedua tangannya.
Jangan lupa ranselnya—Naruto berharap sekali cepat sampai
rumah (minimal terasnya) agar air yang merembes tidak ikut membasahi buku-buku
pelajaran yang cukup berharga.
Naruto melangkah sambil mengangkat sedikit celana yang
sebenarnya sampai menutupi mata kakinya.
"Ayo, ayo. Sedikit lagi..."
Naruto terus fokus memperhatikan langkahnya—memandang ke
bawah—dan memandang lurus bergantian.
Wush!—Pcak pcak pcak
Naruto melihat ke arah orang yang menerobos hujan itu dengan
semangat.
"Wah, anak itu!"
Yang dikatakan Naruto 'anak itu' adalah gadis yang tinggal
di rumah Neji. Ia berjalan sigap sekalipun hujan masih deras. Naruto bisa
melihat bahwa sang gadis tak memakai pelindung hujan apapun, sehingga seragam
dan tasnya basah kuyup—begitu juga dirinya.
Sambil berjalan, Naruto tetap memperhatikan gadis berponi
rata itu sampai masuk rumah Neji—Atau mungkin rumahnya juga?
Sebelum memasuki teras, Naruto tersenyum tipis lalu
mengangkat bahu sejenak.
'Hmm, aku lupa menanyakan namamu pada Neji.'
Naruto meletakkan sepatunya yang (untungnya) masih kering di
rak, ranselnya di salah satu sofa ruang tamu, dan merebahkan diri sebentar
sebelum mengeringkan seluruh tubuhnya di kamarnya sendiri.
…
Beberapa minggu setelah Naruto mendapatkan nama gadis itu …
"Hei, mana dirimu? Kok tidak datang juga?"
Naruto merapikan sofa ruang tamunya yang penuh dengan
buku-buku tugasnya. Ia berjaga-jaga sambil melihat ke arah pintu rumahnya yang
menunjukkan jalan kecil komplek rumahnya.
Beberapa menit lalu, Naruto sedang duduk bersila di beranda
rumahnya sembari membaca buku. Tiba-tiba saja, langit berubah gelap karena
ditutupi awan kelabu. Padahal, sebelumnya sinar matahari masih menyapu kulit
tan dari tangan kiri pemuda bersurai kuning seperti durian ini—karena ada atap
yang menghalangi sisa sinar yang terpancar. Naruto bahkan sesekali menggeser
posisi duduknya jika sinar itu sampai menyilaukan matanya.
Saat mendung itu, lewatlah seorang gadis berkulit putih dari
depan rumah Naruto. Setiap orang maupun kendaraan yang lewat akan membuat
Naruto mengangkat wajah untuk melihatnya, lalu segera membaca lagi jika tidak
dikenalnya atau ada urusan dengannya.
Tapi tidak ketika gadis yang satu ini lewat.
Naruto tak mengalihkan pandangannya selagi anak yang sering
berjalan dengan menundukkan kepalanya itu benar-benar hilang dari pandangannya.
Meski agak tertunduk, mata safir Naruto bisa menangkap bahwa wajah gadis itu
agak kusut—seperti baru bangun tidur.
"Wah, kusut sekali wajahnya! Haha."
Naruto senyum-senyum di balik buku yang menutupi wajahnya
setelah gadis bersurai indigo itu menghilang di belokan. Ia cekikikan sendiri
karena baru saja melihat gadis 'incaran'nya berekspresi tidak seperti biasanya.
Zrash!
Jarum-jarum air berjatuhan tak lama sesudah sang gadis
berbelok.
Naruto cukup kaget akan hal itu karena beberapa saat lalu
memang bisa dibilang cukup cerah.
Namun, Naruto tetap pada posisinya karena hujan itu masih
tergolong gerimis, belum sampai membasahi beranda rumahnya.
"Hm, bagaimana Hinata pulang, ya? Bisa-bisa dia basah
kuyup."
Pikiran Naruto teralih pada gadis bernama Hinata yang lewat
dari depan rumahnya tadi. Dia tak lagi fokus membaca bukunya—hanya
membalik-balik lembarnya secara acak dan berulang tanpa membacanya.
Hujan semakin deras. Beberapa tetes mulai membasahi lantai
keramik teras. Naruto bersiap masuk sambil menunggu Hinata beberapa detik.
Karena Hinata tak kunjung datang, ia masuk dan merapikan sisa bukunya di sofa
ruang tamu.
Naruto sempat merutuk Hinata adalah pemberi harapan palsu
karena dia tak juga kembali sementara hujan semakin deras. Dia pun berpura-pura
membuka-buka bukunya lagi di dekat pintu agar bisa melihat Hinata yang kembali.
Naruto sempat berpikir akan memanggil Hinata dan mengajaknya
berteduh di rumahnya. Ah, khayalan tingkat tinggi, mumpung ayah dan ibu sedang
tidak di rumah. Begitu imajinasinya.
.
Tap tap tap tap
Naruto menangkap suara langkah berlari seseorang di tengah
hujan deras itu dan sontak berdiri menengok ke luar. Dan ternyata itu memang
Hinata, ia bisa melihat siluetnya berlari dari kaca jendela—Naruto terlewat
sedikit.
Naruto cepat berjalan keluar dan mengintip rumah ke tiga di
arah kanan seberang—rumah Hinata. Ternyata memang benar itu dia.
Hinata segera menggeser pagar besi putih rumahnya dengan
sigap, menutupnya kembali, dan masuk ke rumahnya.
Naruto tidak melihat Hinata sampai masuk ke rumahnya karena
memang terhalang oleh beberapa pohon. Yang pasti, dia telah memastikan bahwa
itu memang Hinata.
"Ahaha, kamu sudah berjuang, ya."
Naruto bergumam lalu duduk kembali untuk membaca bukunya di
lantai ruang tamu persis di samping pintu utama. Dia kembali senyum-senyum
sendiri, membayangkan bagaimana jika mereka, Naruto dan Hinata, bisa akrab
suatu hari nanti. Sebab sampai saat ini, belum ada percakapan yang tercipta di
antara mereka. Semua berlalu hanya dengan berpapasan secara tatapan saja,
padahal keduanya sudah mengetahui nama masing-masing.
…
Naruto dan Neji sedang berbincang di rumah Naruto. Ibu
Naruto, Kushina, juga berbaik hati menyiapkan sepiring bolu kukus dan dua gelas
jus jeruk untuk mereka. Keduanya juga menyalakan televisi untuk menonton acara
humor ringan. Kebetulan besok tidak ada tugas yang harus dikumpulkan. Dari tiga
mata pelajaran, hanya satu yang diperkirakan akan berjalan normal. Yang satu
akan diadakan pengerjaan untuk presentasi—jadi mereka menyiapkan bahannya nanti
malam, dan satunya akan diadakan remedial. Beruntungnya mereka berdua tidak
kena—Naruto pas-pasan, sedangkan Neji sempurna. Ehem, pintar.
Usut punya usut, ternyata Neji berkunjung tanpa tujuan yang
terlalu penting. Ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan mengobrol random
dengan Naruto. Katanya, sih, bosan berkutat dengan laptop terus di rumah.
Sekalipun itu game keren, tetap saja beda suasana dengan dunia nyata, 'kan?
"Oh, iya," Naruto mencomot sepotong bolu dan
menggigitnya. "Hinata itu... cewek yang ada di rumahmu, 'kan?"
tanyanya sambil mengunyah. "Ada hubungan apa dia denganmu?"
Neji menyeruput jusnya. "Dia sepupuku," jawabnya
kemudian meletakkan gelas bertangkai panjang itu kembali ke meja yang ada di
hadapannya. "Ayah kami kembar. Hinata juga punya adik, namanya
Hanabi."
Naruto mengangguk-angguk. Berarti, tidak masalah jika
bertanya-tanya lebih dalam lagi soal gadis yang diam-diam sering
diperhatikannya itu.
Memang benar. Belakangan ini, Naruto jadi sering
beraktivitas di terasnya demi melihat Hinata yang lewat. Setiap sepupu Neji itu
muncul, Naruto selalu pura-pura mendongak layaknya penasaran 'siapa sih yang
lewat itu?', kemudian kembali melanjutkan aktivitas sebelumnya. Kalau orang
lain, ia akan benar-benar kembali pada aktivitas sebelumnya, tapi kalau Hinata
... ia akan menutup mulut bahkan wajahnya dan tersenyum tak jelas seperti baru
menerima hadiah undian mobil, atau terkikik pelan, atau tertawa-tawa
misterius—khusus jika membaca suatu buku.
"Umur Hinata berapa?"
"Sekolahnya di mana? Kenapa tidak dengan kita saja?
Padahal seumuran."
"Setiap hari, dia pulang jam berapa? Ekskulnya setiap
hari apa?"
"Kalau pagi, bangun jam berapa? Diantar, berangkat
denganmu, atau naik bus? Aku pernah sebus dengannya dua kali sepulang sekolah
saja, sih."
Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Naruto
demi rasa penasarannya. Tetapi, Neji malah mengakhirinya dengan,
"Kenapa? Kau tertarik sama Hinata? Pertanyaanmu seperti
ingin nge-stalk dia."
Baru saja Naruto membuka mulutnya hendak menjawab, kepala
dan bola matanya bergerak ke arah pintu.
Di sana ada Hinata yang berjalan mondar-mandir dan kemudian
berhenti tepat di depan gerbang, setelah menyadari bahwa dirinya telah dilihat
Naruto. Ia menatap Naruto dengan ekspresi segan.
"Ehm, Neji, itu Hinata!" seru Naruto lalu berdiri.
"Aku suruh masuk saja, ya?" Ia berjalan ke arah pintu, tapi masih
menunggu jawaban Neji.
Neji yang duduknya berlawanan pintu menoleh juga ke arah
luar. Ia tersenyum, lalu mengangguk.
Hinata duduk di samping Neji. Ia menumpuk kedua tangannya di
atas paha yang dirapatkan. Kepalanya pun sedikit tertunduk dan terlihat tak
berani menatap Naruto. Jus jeruk yang disiapkan untuknya pun bahkan tak niat
disentuhnya.
"Hinata, kenapa ke sini? Ayah memanggilku?"
Hinata menggeleng. Neji memiringkan kepalanya.
"Eh? Lalu, apa—Oh, tugas Hanabi, ya? Hinata kehabisan
akal menjawabnya?"
Hinata mengangguk cepat. Neji dan Naruto tertawa, membuat
kepalanya semakin tertunduk dan wajahnya memerah.
Neji menghela nafas, lalu bangkit berdiri.
"Eh, minum dulu jus jeruknya. Tak sopan kalau sudah
dihidangkan tapi tak disantap."
Hinata kaget mendengar kalimat kakak sepupunya barusan.
Enggan sekali rasanya jika baru pertama kali masuk ke rumah seseorang.
"Iya, lho," sahut Naruto. "Sayang juga kalau
harus dibuang."
Hinata semakin drop dibuat Naruto. Terpaksa, dengan
tangan bergetar, ia menggenggam gelas dengan kedua tangannya hingga badan gelas
itu terselimuti.
Sambil menunduk, Hinata berjuang keras meneguk jus itu
dengan memejamkan mata sampai habis setengahnya.
Hinata meletakkan gelas itu dan menunjukkan ekspresi agak
sedih dan menyesal. "S-sudah kenyang," ucapnya mendongak. "M-mau
pulang sekarang."
Naruto melihat kepolosan Hinata itu sambil berteriak-teriak fanboying
dalam hati. Wajahnya hanya menampakkan senyum tipis seperti Neji.
"Ya, sudah. Ayo kita pulang."
Hinata cepat bangkit dan tersenyum lebar di hadapan kakak
yang lebih jangkung sedikit darinya itu. Ia mengangguk cepat seperti tadi, tapi
dengan ekspresi berbunga-bunga.
Neji beralih pada Naruto, "Nah, Naruto, kau mau nembak
Hinata sekarang? Mumpung sister complex-ku belum kambuh."
Deg!
Baik Naruto maupun Hinata sama-sama terkejut batin
mendengarnya. Wajah keduanya juga memerah. Bedanya, Hinata tertunduk sambil
memainkan jari, sedangkan Naruto menggaruk-garuk lehernya salah tingkah.
'T-ternyata, Neji-niisan sister complex?'
—batin Hinata.
'... Kenapa punya sindrom sister-complex dibilang-bilang?'
—batin Naruto.
"Err, mungkin aku berteman dulu saja dengannya, ya?
Karena sampai saat ini, kami belum pernah saling bicara walau sudah beberapa
kali saling bertatapan."
Dalam hati, Hinata ingin sekali mengangguk. Diam-diam, ia
sebenarnya tertarik juga dengan Naruto. Diam-diam, ia sebenarnya selalu ingin
melihat Naruto setiap lewat dari depan rumah si kepala duren itu.
"Tentu saja boleh."
Naruto bersorak dalam hati, yang keluar hanyalah ucapan
terima kasih yang kalem dan senyuman. Hinata juga bersorak dalam hati, diikuti
senyum tipis dan rona merah di pipi yang semakin bertambah karena senang.
Tanpa sadar, Naruto dan Hinata saling tatap dan melempar
senyum tipis sejenak.
Naruto menyusun piring dan gelas dengan riang. Hinata
tersenyum dengan perasaan hangat sekali dalam perjalanan singkatnya.
Selesai
Halooo.
Lagi-lagi bikin versi-versi, nih xD Yang ini memang versi prolog. Yang mau
bikin sekuelnya sampai NaruHina jadian, silahkan. Tapi jangan lupa lapor saya
dulu, ya. Supaya kita bisa saling info dan saya juga sempatin baca, review,
atau mungkin nge-fav? :D
Terakhir.
Apa kalian sekepo Naruto waktu tau gebetan kalian tinggal dekat dengan rumah
kalian? Atau, ternyata ada tetangga yang jadi gebetan kalian dan jadi sering
nungguin dia kayak Naruto?
Btw,
Happy Valentine’s Day!
Comments
Post a Comment