Biskuit untuk Kuma (Ori Fic)
Kruyuuuk...
Di tengah heningnya suasana ujian, perut Kuma berbunyi. Teman sebangku Taro itu menggaruk kepala dan mengelus perutnya. Wajahnya memang tidak menahan malu, sebab mungkin tak sesuai perkiraan.
"Kamu lapar, Kuma?" bisik Taro tak tahan. Ia telah mendengar bunyi perut Kuma berulang kali.
Kuma menoleh cepat. "Nggak tahu, nih!" Ia menggeleng kuat. "Padahal tadi sudah sarapan." jawabnya masih terus mengelus perut.
"Ck ck." Taro hanya menggeleng, kemudian lanjut mengerjakan soal.
Kuma meminum airnya. Siapa tahu bisa kenyang agar perutnya tak berbunyi lagi.
Sepulang sekolah, Kuma pergi ke kantin. Ia mengeluarkan handphone-nya untuk mengirim pesan ke papa dan mamanya.
'Mama, masak apa siang ini?', begitu Kuma kirim pada mamanya. 'Pa, bisa jemput aku sekarang?', tanyanya.
Sepuluh menit berlalu. Tak ada balasan dari keduanya. Harum makanan kantin membuat air liur Kuma hampir menetes. Perutnya yang lapar menjadi semakin lapar. Sejak pagi, tak ada yang masuk ke dalam perutnya, kecuali air minum.
Ya, Kuma berbohong pada Taro. Ia tidak sarapan, sebab mamanya lembur. Kuma diberitahu bahwa mamanya pulang saat Kuma masih di sekolah. Alhasil, melihat orang lalu-lalang membawa makanan, Kuma jadi tambah galau.
Ia menunduk dan memegang kepala. "Aaah, aku lapaaar!" teriaknya dengan nada berbisik. "Dari pagi nggak makan, begini, ya, rasanya. Ugh..." Perutnya seperti tertusuk jarum.
"Wah, kebetulan," Sebuah suara tertangkap oleh telinga kiri Kuma. Segera, ia mendongak ke arah suara itu.
"T-Taro?!" serunya salah tingkah.
Taro, si asal suara, duduk di hadapan Kuma. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Dua bungkus plastik panjang.
"Nih!" Taro meletakkan dua benda itu di atas meja.
Kuma menatap dua kemasan biskuit itu. "A-apa ini? Biskuit?" Kuma heran sendiri.
Taro tersenyum penuh arti. "Aku dengar bisikanmu tadi, lho," celetuknya. "Sudah, jangan mengelak lagi."
"Maksudnya?" Kuma masih heran plus mengira-ngira.
"Ini untukmu!" Taro menggeser biskuit mendekat ke Kuma. "Semua." tegasnya lagi.
"Ini?" Kuma menunjuk-nunjuk biskuitnya. "Semua? Serius?"
"Astagaaa," Taro memutar bola matanya. "Iyaaa! Aku sedang baik, lho. Jangan sampai itu kutarik kembali," ancamnya bercanda.
Kuma tersentak. "A-ah, iya, iya! Terima kasih, Taro! Kau penolongku!" ucapnya sepenuh hati.
"Ya, sama-sama," jawab Kuma senang.
"Ehm," Kuma mengambil satu kemasan. "Kita bagi dua saja, deh," usulnya, kemudian menggeser satu kemasan lain mendekat ke Taro.
"Tidak." Taro malah menggeser lagi biskuit tak bersalah itu. "Untukmu semuanya. Dan harus habis saat ini juga," katanya dengan sungguh.
Kuma terbelalak. Tidak percaya, sekaligus senang setengah mati. Rasanya, Taro adalah malaikat penyelamat baginya siang itu.
"Gimanaaa?" Taro bertanya ulang.
Kuma berpikir sejenak. Ia tidak mau menerima begitu saja bantuan dari Taro. Kuma ingin membalasnya saat itu juga atau dalam waktu dekat.
"Bagaimana caraku membalas kebaikanmu ini?" Kuma bertanya pada Taro.
Taro menjawab enteng, "Dengan memakan semua biskuit itu. Harus habis, saat ini juga." Ia melanjutkan, "Tak peduli bagaimana caranya. Entah aku harus menemanimu mengobrol sampai sore, atau apapun. Pokoknya harus habis."
"Dasar, Taro," Kuma geleng-geleng. "Ya sudah," Ia memutuskan. "Aku tidak mau makan kalau kau tidak ambil satu butir. Setuju?"
Gantian Taro yang berpikir. "Tapi, bukankah sudah kubilang, kalau semuanya untukmu?"
Kuma menjentikkan jari. "Kalau begitu, aku tak mau makan!" Ia bangkit, ingin pergi.
"Jangan!" cegah Taro seketika. "Iya, iya, aku makan satu!" sahutnya mengalah.
Kuma duduk kembali. "Begitu, dong!" Ia merobek panjang salah satu kemasan biskuit.
Kemudian, mereka mengobrol sepanjang Kuma memakan setiap keping biskuit. Tetap seperti perjanjian, Taro benar-benar hanya mengambil satu keping. Karena tak lama kemudian, ia mengeluarkan satu kemasan lagi untuknya sendiri.
Kuma terkejut melihatnya.
Taro segera menyimpulkan, "Aku bawa banyak untuk yang lain. Tapi, mereka cepat pulang. Masing-masing bilang ada tugas."
Indahnya saling membantu :)
Indahnya saling membantu :)
Comments
Post a Comment