Jangan!! (Ori Fic)

Sumber gambar: pixabay.com/InspiredImages

Sudah sebulan berlalu sejak asma Kou-nii divonis membaik. Ia kini bisa melakukan aktivitas seperti biasa tanpa khawatir tiba-tiba kambuh. Tapi, dirinya tetap harus menghindari kegiatan memaksa untuk mencegah kambuhnya asma itu. Walau begitu, sekarang adalah lebih baik daripada sebulan lalu, di mana ia harus lebih banyak tak beraktivitas.

Aku ingat. Terakhir saat asma Kou-nii kambuh, ia baru pulang dari...

Suatu pagi, sebelum berangkat sekolah. Aku menunggu Kou-nii mengikat tali sepatunya di teras.
"Hari ini Kou lomba lari, ya?" singgungku sambil menatap langit yang cerah.
"Iya, Mi-chan," jawab Kou-nii menepuk-nepuk telapak tangannya, tanda bahwa sudah selesai berurusan dengan tali sepatu. "Doakan supaya menang, ya." pintanya dengan kepala sedikit menunduk, menatap berharap padaku yang lebih pendek darinya.
Aku turut mendongak sedikit. "Oke!" sahutku seceria mungkin sambil mengangkat ibu jari.

Keesokan harinya setelah lomba itu, Kou-nii langsung tumbang. Bagaimana tidak? Baru sebulan pemulihan, sudah langsung melakukan kegiatan keras. Sekalipun ia dapat juara 2 saat itu, tetap saja aku mengkhawatirkannya. Terpaksa, Kou-nii tidak masuk sekolah besoknya agar bisa beristirahat.

Hari selanjutnya, Kou-nii sudah bisa kembali sekolah. Sewaktu aku permisi ke toilet, kusempatkan dengan sengaja lewat dari kelas Kou-nii.
Ah, Kou-nii disuruh maju ke depan. Dari jauh, aku bisa lihat melalui jendela kacanya. Tapi, setelah berada tepat di depan jendela, tinggi badanku tak menjangkau. Terpaksa aku mendekatkan telingaku ke arah pintu diam-diam. Penasaran, ada apa gerangan Kou-nii sampai disuruh ke depan kelas. Tidak mengerjakan tugas?
Aku membungkukkan badan. Terdengar suara Kou-nii dan seorang sensei saling tanya-jawab. Volumenya rendah, namun jelas.
"Kenapa absen?" tanya sang sensei.
Kou-nii menjawab dengan nada santai, "Terlambat beli obat, sensei."
"Bukan karena tidak tahan?" Sensei menginterogasinya lebih dalam.
"Buktinya aku menang," timpal Kou-nii lagi. "Ya, teman-teman?" Ia memastikan pada teman-teman sekelasnya untuk meyakinkan sensei itu.
Setelah itu, aku pergi karena takut dicurigai oleh sensei yang masuk di kelas kami saat ini.

Dua malam berikutnya, Kou-nii ambruk lagi. Ternyata, ia latihan berlari saat istirahat di sekolah. Sial, andai dia latihan di lapangan berlari, aku bisa mencegahnya duluan. Ya, Kou-nii latihan di belakang sekolah. Kenapa tidak terpikir olehku?! Argh!

Keesokan harinya, aku lewat lagi dari kelas Kou-nii. Aku tahu, pasti mereka membicarakan Kou-nii yang tidak hadir lagi hari ini.
"Kenapa dia absen?" tanya Taka-sensei, aku mengenal betul suara guru matematika yang satu ini.
Salah seorang temannya menjawab, "Mungkin terlambat beli obat lagi, sensei."
Tidak seperti tempo hari, aku pergi setelah salah satu teman Kou-nii itu menjawab. Lebih cepat dari yang hari itu.

Dua minggu berikutnya, aku pulang sore karena ada jadwal tugas kelompok. Kou-nii baik-baik saja saat itu. Tidak menunjukkan tanda-tanda asmanya kambuh. Jadi, sebelum ia pulang, aku menjumpainya untuk apalagi kalau bukan menyuruhnya pulang dengan segera dan ISTIRAHAT! Aku berpesan agar tidak macam-macam melakukan kegiatan berat secara diam-diam hanya karena aku pulang lebih sore saat itu.

Di tengah keseriusan mengerjakan tugas, pikiranku melayang pada Kou-nii yang ada di rumah. Untung saja aku masih bisa berkonsentrasi mengerjakan beberapa soal sebelum semuanya juga sudah menyelesaikan seluruh soal. Tiba-tiba saja, HPku bergetar. Ada pesan dari Yumi-sensei, penjaga UKS.

Konbanwa, Miki-chan. Tadi Totsuka-kun latihan berlari dan pingsan di lapangan. Untung kaca UKS menghadap langsung ke belakang sekolah. Jadi, aku bisa membantu membawanya ke ruang UKS untuk beristirahat. Katanya, dia lupa bawa inhaler dan... sebenarnya aku harus merahasiakan ini darimu, Miki-chan. Tapi aku tetap khawatir karena sepertinya Totsuka-kun agak memaksakan diri. Sekarang dia sudah pulang setelah kuberi perawatan sedikit tadi. Kirim salam sama Totsuka-kun, ya! :D

Dadaku sesak saat membacanya. Kou-nii, kenapa keras kepala, sih? Sampai merahasiakan segala. Tidak sadar apa, penyakitmu itu belum hilang sepenuhnya. Hanya memulih dari keadaan parah saja! Aku merasa gagal sebagai adik dari Kou Totsuka... Sedih rasanya.
Kukirim balasan terima kasih pada Yumi-sensei karena telah memberikan pertolongan pada Kou-nii.
Sepulangnya dari menyelesaikan tugas kelompok, tanpa sengaja kulihat sepatu Kou-nii belum ditaruh di rak. Nah, ketahuan kau. Aku mengangkat sepasang sepatu itu untuk membawanya ke hadapan Kou-nii.
Aku mengangkat sepatu itu setinggi telingaku. "Tadi Kou latihan berlari?" tanyaku sedikit kesal karena rasa khawatir masih tertinggal di pikiran.
Kou-nii yang sedang (mungkin) berpura-pura santai menonton televisi menoleh kaget. "Iya, Mi-chan," Ia menunjukkan senyum riangnya, tanpa rasa bersalah. "Hebat, 'kan?" ucapnya memuji diri sendiri.
Aku meletakkan sepatu Kou-nii di lantai. "Hebat apanya sampai ke UKS seperti itu?!" emosiku hampir menangis.
"Haha," Kou-nii menggaruk kepalanya. "Aku lupa bawa inhaler-nya," sahutnya mencari alasan.
"Kenapa tidak bilang padaku?" paksaku lagi dengan nada agak keras.
Kou-nii terkejut mendengarnya. "Lupa..." jawabnya, akhirnya dengan raut muka bersalah.
Aku menghela nafas untuk menahan emosi yang naik-turun. "Dasar." Kuletakkan sepatu Kou-nii di rak dan masuk ke kamar untuk menenangkan diri lebih lama lagi.

Entah ini yang ke berapa kalinya Kou-nii melanggar janji kesehatannya. Aku berharap sekali bisa membantunya. Karena itu, aku sengaja membeli dua inhaler untuk Kou-nii kalau saja dia tiba-tiba kambuh di sekolah dan harus dibawa ke UKS.

Malam ini, aku baru saja selesai makan. Melamun, memikirkan bagaimana agar Kou-nii jera dari sikap keras kepalanya.
"Malam..." sapa Kou-nii yang duduk untuk bersiap makan di depanku, membuatku kaget.
"Besok sekolah?" tanyaku berharap, karena Kou-nii sempat kambuh... lagi... tadi di sekolah.
Setelah menelan suapan pertamanya, Kou-nii berbicara, "Kemungkinan besar, tidak. Inhaler-ku terlambat datang tadi. Jadi, harus istirahat."
Aku beranjak. "Bodoh!!" hentakku ingin marah. "Aku sudah beli dua, Kou! Untukmu..." bisikku sambil menunduk dan menatap kosong meja makan.
Kou-nii terperangah. "Baik sekali..." selanya spontan, namun malah membuatku ingin mengatakan 'aku tidak peduli'. Namun, kurasa aku tidak mampu, sehingga aku malah kabur ke kamarku.
***
Hari ini hari terakhir festival olahraga sekolah. Besok adalah upacara penutup dan pemberian hadiah pada para pemenang. Aku sudah sangat tahu sebelumnya... bahwa Kou-nii mewakili lomba lari dari kelasnya.
Sebelum berangkat sekolah, aku bertanya pada Kou-nii. "Kou... Lomba lagi, ya...?" Berharap sekali kalau sekarang hanyalah mimpi belaka.
Kou-nii tersenyum hangat. "Iya, Mi-chan." Ia mengelus pelan kepalaku.
Aku berusaha melawan, "Kalau dibatalkan, bagaimana?"
"Aku diberi lima inhaler cadangan—"
"Tolong, Kou!!" sambarku cepat, mendongak dan memasang ekspresi berharap pada Kou-nii.
Kou-nii memperlihatkan wajah paniknya. "K-kenapa, Mi-chan...?" Bukan panik akan diri sendiri, melainkan panik seperti akan terjadi sesuatu berbahaya yang menimpaku. Sadar, Kou! Bahaya itu akan menimpamu! Bukan aku! Dirimulah yang harus kaukhawatirkan!
Pikiranku melayang pada kejadian sebulan lebih yang lalu. "Tolong... Aku takut... Yang hari itu terjadi lagi..." Air mata mulai membasahi pipiku. Aku terus menatap Kou-nii seperti ini, dengan harapan ia akan luluh dan membatalkan lombanya.
"A-ah, iya," Kou-nii menjentikkan jarinya. "Aku ingat..." Sepertinya dia terngiang kejadian itu juga.
Aku berusaha mencegah lagi. "Jadi, kenapa—"
"Ini yang terakhir! Aku janji!" potong Kou-nii, untuk pertama kalinya.
Menyerah. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi agar Kou-nii lah yang menyerah. Aku perlu bukti, Kou! Bukan janji! Kalau saja kau bisa melewati ini, aku akan memaafkanmu. Tapi kalau tidak, mungkin aku bersedia menyusulmu... Soal minta maaf pada ayah dan ibu mudah, kok.

***

Seperti yang dikhawatirkan, Kou-nii harus merayakan kemenangannya di rumah sakit... Dasar, bodoh... Sok kuat...
Aku membuka pintu ruangan Kou-nii. "Kou!!" teriakku menghampiri Kou-nii yang sedang terbaring dengan infus di punggung tangan kanannya.
"Haha," Kou-nii tertawa santai melihat kedatanganku. "Aku kuat, 'kan? Aku punya lima, lho," pamernya dengan senyum lemah.
"Bukan itu, bodoh!" sentakku meninju kasur tempat Kou-nii berbaring. "Kou bodoh! Bodoh!" Air mataku mengalir lagi.
"Oke, aku bodoh," Kou-nii menghapus air mataku perlahan. "Tapi kuat. Ya, 'kan?" Ia mencubit pelan pipi kananku sambil masih tersenyum polos.
"Bodoh!" Pundakku naik-turun karena menahan tangis. "Kau hampir hilang, tahu!" omelku, masih ingin menangis melihat Kou-nii yang masih bisa tersenyum di tengah keadaannya yang sekarat.
"Mengerti..." Kou-nii mengubah posisinya menjadi duduk. "Ini yang terakhir," katanya berjanji, semoga saja benar-benar janji. "Tenang saja." Ia merentangkan tangannya dengan tatapan yang seakan mengatakan 'ayo, berpelukan sebagai tanda berdamai'.
Tanpa basa-basi, dan entah kenapa aku bisa percaya pada ucapannya itu, aku memeluknya. "Terima kasih." bisikku pelan, masih dengan perasaan berharap.
Tolong, ya, Kou. Bahkan di saat kau sudah mengalami keadaan ini, aku masih saja berharap.

Comments

POPULAR POSTS

About Me!

Space Journey~