Mengantar Kak Kana (Ori Fic)
![]() |
Sumber gambar: pixabay.com/MichaelGaida |
“Selamat
pagi, Kak!” sapa Taya, teman cowok Kana yang bertubuh pendek—lebih pendek dari
Kana.
“Juga,
Dik.” balas Kana tersenyum. Mereka saling memakai sapaan itu karena ukuran
tubuh Taya. Haha...
Taya
menghentak meja Kana. “Sepertinya lemas. Ada apa, Kak?” tanyanya.
“Nggak
apa,” Kana mengibaskan tangan. “Hanya ingin bersiap menghadapi hari ini,”
sahutnya.
“Wah,”
Taya menggeleng. “Seperti akan ada badai hebat saja, ya.”
Kana
tertawa renyah.
Kriiing!
“Sudah,
duduk sana,” Kana mendorong punggung Taya. “Nanti dimarahi Pak Hika!”
Taya
menurut. Ia melangkah menuju bangkunya seraya melemparkan gerakan tangan
‘semangat!’ untuk Kana.
Pak
Hika, sang gruu matematika, memasuki kelas. Seluruh siswa sontak menertibkan
diri.
“Selamat
pagi!” sapa Pak Hika ceria.
“Pagi,
Pak!” jawab kelas 7-C serentak.
Pak
Hika segera mengeluarkan buku dan bersiap menulis di papan tulis. “Kita mulai
pelajarannya, ya!”
***
Lima
menit sebelum lonceng pulang berbunyi, kelas sedikit ricuh. Mereka menunggu
waktu pulang karena sebagian besar sudah menyelesaikan tugas yang diberikan
sang guru.
Zrash!
Hujan
lebat turun seketika. Kelas tambah ricuh mengomelkan perasaan masing-masing
siswa. Ada yang mengeluh karena tidak bisa pulang. Ada yang senang karena
tanamannya tidak perlu disiram. Ada yang biasa saja karena dijemput dengan
mobil. Salah satu yang biasa saja itu adalah Kana.
“Cih.
Hujan, ya,” gumam Kana sambil membereskan buku-bukunya.
Sang
guru juga melakukan hal sama. Sebelum pergi, ia mengumumkan sesuatu.
“Kana
dan ketua kelas diharapkan untuk tidak pulang dulu,” kata beliau. “Sesudah ini,
kalian datang ke kantor guru. Itu pesan wali kelas kalian,” tambahnya. “Sekian
dulu. Selamat siang, anak-anak!” sapanya, lalu keluar dari ruangan.
“Selamat
siang, Bu! Terima kasih, Bu!” Kelas 7-C membalas dengan tidak serentak karena
sudah keburu ditinggal.
Semuanya
beres-beres, lalu berhamburan ke luar dengan tertib. Siswa yang piket segera
mengerjakan tugas masing-masing. Sedangkan Kana dan Seto, si ketua kelas,
menunggu teman yang piket. Sebab, Seto bertugas mempertanggungjawabkan
kelasnya; memastikan semuanya beres sebelum pulang, termasuk mengunci kelas.
“Sampai
jumpa besok, Kana dan Seto!” Ana berlalu sambil melambai.
“Ya,
sampai jumpa!” Kana balas melambai.
“Hati-hati
di jalan!” pesan Seto seraya mengunci kelas.
***
Kana
dan Seto memasuki ruang guru dan langsung menuju meja Pak Kota, wali kelas
mereka. Beliau menyambut mereka dengan senyuman.
“Selamat
siang, Pak,” sapa Kana dan Seto bersamaan.
“Ya,
siang,” Pak Kota berdiri. “Kalian mau membantu saya, ‘kan?” tanyanya.
Keduanya
mengangguk. “Mau dibantu apa, Pak?” Seto menawarkan diri.
“Ini,”
Pak Kota mengetik-ngetik laptop-nya
dan tampak mengklik sesuatu. “Tolong periksa seluruh data siswa kelas tujuh,”
Pak Kota keluar dari tempat duduknya, menyuruh Kana masuk. Beliau lalu membuka
laci mejanya dan mengeluarkan setumpuk kertas. “Ini data kotornya.” Beliau
menyerahkan tumpukan itu. “Tolong periksa, ya. Saya mau memeriksa hasil ujian
dulu.”
“Siap,
Pak!” jawab Kana.
Pak
Kota lalu pergi ke sudut kantor guru yang lain agar Kana dan Seto lebih
leluasa.
Dua
jam berlalu. Seto dan Kana sama-sama menyeka keringat, lalu meneguk air minum
mereka. Sang ketua kelas mendatangi Pak Kota dan melaporkan pekerjaan mereka,
kemudian memeriksanya.
Mata
Pak Kota jeli sekali melihat tulisan di layar laptop. Tak lama kemudian, ia meng-close aplikasi tempat Kana dan Seto bekerja.
Pak Kota menutup laptop-nya.
"Kalian pulang dengan siapa?" tanyanya pada Kana dan Seto.
"Saya naik sepeda, Pak," jawab Seto sembari menyandang
ranselnya.
Kana juga ikut menyiapkan diri. "Saya dijemput, Pak,"
jawabnya.
"Oh." Pak Kota mengangguk. "Tapi, di luar masih hujan.
Tunggu sebentar lagi, ya. Nanti kalian sakit." pesannya.
"Siap, Pak! Terima kasih, Pak!" sahut Kana dan Seto serentak,
kemudian meninggalkan kantor guru.
Berdua, mereka menuju lokasi parkir. Kana menunggu di tempat khusus yang
ada bangku semennya. Sedangkan Seto langsung mengambil sepedanya, bersiap untuk
pulang.
"Seto! Masih hujan!" teriak Kana dari jarak dua meter.
Seto menoleh. "Nggak apa, Kana! Aku mau les! Sudah nggak keburu
kalau menunggu hujan!" balasnya dengan berteriak juga.
Kana mengerti, tapi sedikit takut. "Ya sudah, hati-hati, ya!"
"Ya! Terima kasih!" Seto mendayung sepedanya.
Tiba-tiba, Kana melihat tas tambahannya. "SETOOO! TUNGGUUU!!"
teriaknya dengan amat kencang.
Seto menoleh dan mengayuh ke tempat khusus menunggu. Kana mengeluarkan
jaket dari tas tangannya. Ia berlari duluan menerobos hujan
menuju Seto, karena Seto kalah cepat.
"Ini," Kana memberi jaket itu pada Seto. "Pakai untuk
menutup kepalamu." Seto menerimanya.
Langsung saja, Seto membalutkan jaket itu di kepalanya. "Kamu baik
sekali. Terima kasih, ya!" ucapnya, lalu pergi meninggalkan Kana.
Kana berlari kembali ke bangku semen dan merapikan rambutnya yang
sedikit basah. Ia menunggu..., sesungguhnya tidak menunggu siapa-siapa. Ia
menunggu hujan reda.
Sesungguhnya, kedua orang tuanya sekarang bekerja di luar kota. Alhasil,
ia dipesankan untuk naik angkutan umum. Mau-mau saja, dan sudah bawa payung.
Namun, hari ini membawa dua tas.
Akhirnya, ia putuskan untuk menunggu hingga hujan reda—atau setidaknya
sampai gerimis. Agar tidak bosan, Kana mengeluarkan buku panduan Bahasa
Inggris. Sekalian belajar, pikirnya.
Namun nihil. Bukannya semakin konsentrasi, Kana malah mengantuk diterpa
angin hujan. Tiga puluh menit berlalu, menambah kebosanannya. Menyerah, ia
menyimpan buku tersebut.
Pada saat yang sama, Pak Kota berjalan ke arahnya. Tampaknya beliau akan
pulang. Terlihat dari helm yang menempel di kepala, tas ransel di gandengan,
jaket menyelimuti tubuh, serta kunci sepeda motor di tangn kirinya.
Melihat itu, Kana pura-pura menunduk. Sayangnya gagal. Puk! Kepalanya
ditepuk pelan oleh sang wali kelas. Mau tak mau, Kana mendongak.
"Mengapa belum pulang, 'Nak?" tanya Pak Kota.
"Err..." Kana berpikir keras. "Kata Papa, tunggu tiga
puluh menit lagi, Pak!" sangkalnya.
"Ah, ayo, Bapak antar saja kamu!" usul Pak Kota tanpa
basa-basi.
"Tapi, Pak—"
"Sudahlah. Tak apa. Ayo!"
Ogah-ogahan karena segan, Kana berjalan berat mengikuti Pak Kota menuju
sepeda motornya. Tiba-tiba saja, Taya muncul di hadapan mereka. Ia naik sepeda
dengan memakai jas hujan biru.
"Kak Kana!" seru Taya.
"TAYAAA!" Kana berlari ke arah Taya tanpa peduli bajunya basah
kuyup. "Taya, tolong antar aku pulang, ya! Please. Aku tidak mau merepotkan Pak Kota! Ya, ya, ya?" Kana
memohon bertubi-tubi
Taya tercekat dengan pertanyaan Kana. Ia menatap 'kakak'-nya lalu Pak
Kota secara bergantian dengan pandangan bingung. Sesungguhnya, Taya ingin
bicara, tapi bingung bagaimana mengatakannya. Dan saat itu juga, hujan deras
reda menjadi gerimis.
Kana berbalik ke arah Pak Kota yang siap menyalakan sepeda motornya.
"Pak, saya pulang dengan Taya saja, ya. Bapak pulang duluan saja, lagian
sudah gerimis ringan, kok. Saya juga bawa payung," katanya sopan.
Pak Kota ingin menolak, namun dipotong Kana, "Bapak juga tidak
punya jas hujan, 'kan? Tidak mungkin saya pakai jaket Bapak," sambungnya
terus mempengaruhi.
Pak Kota menghela nafas. "Baiklah. Hati-hati di jalan, ya, Kana dan
Taya!" Beliau pamit, lalu pergi dari hadapan mereka.
Kana dan Taya memandang kepergian Pak Kota. Taya lalu mendayung
sepedanya mendekat ke Kana.
"Ayo, Kak. Jadi, 'kan, aku antar?" Taya bertanya untuk
memastikan.
"Eh?!" Kana kaget, sebab itu tadi hanya alasan saja supaya
tidak diantar oleh Pak Kota. "Kamu betulan mau antar? Sampai rumah?"
Kana malah balik bertanya.
Taya mengangguk tulus dan yakin. "Kakak bawa dua tas, 'kan? Tas
tangannya aku pegang saja," katanya mengulurkan tangan.
Kana tersenyum senang, lalu memberikan tas tangannya. Ia naik ke
belakang sepeda Taya. "Tolong, ya. Rumahku dekat, kok," katanya,
diiringi keberangkatan mereka.
***
Kana turun dan meminta tas tangannya.
"Kenapa Taya bisa ke sekolah? Tugasmu sudah selesai?" Kana
penasaran.
"Sudah, Kak," jawabnya polos. "Rumahku juga dekat dari
sini. Tadi hanya mau melihat keadaan sekolah di sore hari," jelasnya.
Mulut Kana berbentuk huruf 'o'. "Kalau begitu, mampir dulu, yuk.
Kita makan siang bersama," ajak Kana senang hati.
"Ah, memangnya boleh, Kak?" Taya ragu. "Aku sudah makan,
kok. Tak apa." sanggahnya.
Kruyuuuk~
"Nah, ayo, masuk!" Kana menarik Taya dan sepedanya pelan masuk
ke halaman rumah. Kenapa lagi kalau bukan karena suara 'kruyuuuk~' barusan.
Comments
Post a Comment