Akatsuki Van Java (Naruto FanFiction)
Republished. Lakon: Semua Ada Waktunya. Yang lama belum dihapus, silahkan, bisa dilihat perbandingannya (: Warnings! AU, OOC, jokes ala The Dandees, kata-kata tidak baku dan kata-kata asing tidak di-Italic-kan, rating naik karena satu kata yang Author tidak tahu harus menggantinya dengan apa.
Rated: T - Indonesian - Humor - Akatsuki - Words: 3,999 - Status: Complete - id: 9700498
Akatsuki Van Java
Naruto © Masashi Kishimoto
Opera Van Java © Trans Corp.
The Dandees © Prambors Radio (?)
Gomen ne, Summer © JKT48 cover (originally by AKB48 :D)
.
Jreng jreng
jreng
Setelah musik
selesai bermain, muncullah sebuah makhluk tidak jelas di panggung Akatsuki Van
Java. Wujudnya seperti manusia—mana mirip banget lagi!—bertelanjang dada, dan
membawa sabit bermata tiga nggak jelas. Eh, bukan bermaksud bashing, lho. Maaf,
ya, fans-nya Hidan!
”Yooo! What's
up, brooo?” seru makhluk tadi sambil mengayun-ayunkan sabitnya ke segala arah.
”Nama saya Hidan, saya jadi dalang di sini, disuruh sama author-nyaaa. Maaf,
ya, kalau nggak berkenan, silahkan klik tombol 'back' sajaaa~” dendangnya lagi.
”Woooooo~” Suara
riuh teriakan penonton terdengar merdu. Ada yang pakai suara sopran,
mezzosopran, alto satu, alto dua, tenor, dan bass.
”HOKEEEH!” Si
Hidan meletakkan sabitnya itu ke lantai, berat katanya. ”Sebelum kita memulai
ceritanya, marilah kita hening sejenak...” ucapnya ngelantur, lalu menundukkan
kepala.
”Kenalan, dalang!
Bukan hening!” seru Pein yang mengintip dari balik tirai panggung.
”Oooh, iya!”
Hidan menepuk jidatnya yang sempit. ”Maaf, maaf, maaf! Marilah kita berkenalan
dulu dengan para pemainnya, supaya nanti leluasa menikmati ceritanyaaa,” katanya panjang lebar.
Prok prok prok
Sesaat setelah
tepukan ramai dari penonton yang jumlahnya satu—eh, beratus-ratus orang dari
beberapa daerah, satu per satu pemain keluar dari balik tirai dengan gaya
masing-masing disambut dengan jikoushokai-nya, aseeek... Emangnya 48 family?
Duaar! (?)
Jreng! Jreng!
Jreng!
Satu lagi
makhluk aneh berhiaskan bermacam-macam pierchings dari berbagai negara belahan
dunia di wajahnya, keluar dari balik tirai dengan cara berjalannya yang biasa
aja. ”Saya Pein, sebagai BAPAK, istrinya EMAK atau IBU
yang diperankan oleh... Konan...” jelas makhluk—yang ternyata manusia—itu yang
beridentitas sebagai Pein.
Lanjut! Dari
balik tirai, keluarlah cewek anggun nan cantik dan manis—kali ini manusia
beneran—berambut semacam violet pendek dan ada hiasan bunga di kepalanya, bikin
tambah cantik. ”Saya Konan, sebagai IBU, istrinya si Pein.” katanya
singkat, padat, dan sudah sangat jelas.
Kemudian, keluar
lagi tiga manusia imut nan kece dan ganteng dari balik tirai, mereka keluar
bersamaan dan serentak sambil menebarkan pesona terbaik mereka. Alhasil, para
penonton cewek—yang sudah tergabung dalam fans club mereka, maupun yang belum
kenal—langsung pada menggelepar-gelepar kayak ikan gegara ngeliat tuh tiga
manusia. Inilah mereka...
”Saya Itachi
Uchiha. ANAK SULUNG dari pasangan PeinKonan, dan kakak dari kedua orang
yang berperan menjadi adik saya, Sasori dan Deidara, yang di samping
saya ini,” Itachi tunjuk-tunjuk ke arah sebelah kirinya.
”KYAAAA!
ITACHIIIII! ITACHIIIII! KYAAAA!” Itulah reaksi penonton cewek-cewek dari
kalimat yang dikeluarkan Itachi dari mulutnya.
”Saya Sasori. ANAK
TENGAH dari pasangan PeinKonan, adik dari Itachi yang berperan
menjadi kakak saya dan kakak dari Deidara yang berperan jadi adik saya,”
kata Sa(s)ori memperkenalkan diri dengan cool-nya. Kyaaa! Hahahaha.
”UGYAAAAA!
SASOOOOO! SASORIIIII! SASOOOO KAKKOOOII!” Teriakan-teriakan histeris dari
penonton cewek kembali bergemuruh.
”Saya Deidara,
un. ANAK BUNGSU dari pasangan PeinKonan, un, adik-adik dari Itachi dan Sasori
yang BERPERAN menjadi kakak-kakak saya, un!” tegas Deidara yang memfrontalkan
kata 'berperan', tidak seperti kakak-kakaknya yang hanya menekan dengan nada
menyindir.
”Biasa aja,
dong!” labrak Hidan.
”KYAAAAA!
UGYAAAA! DEEEEEI! UUUUUUN! DEEEEI! KYAAAAA! DAISUKIIIII!” Kilatan pita suara
cewek-cewek terdengar sekali lagi, pemirsa. Mengalahkan labrakan dari Hidan.
Mati kutu, deh, si pengikut Jashin tersebut.
”Mampuuuus, dalang,
un!” gertak Dei, lucu. ”Kalah, tuh, sama teriakan fans-fans gue, uuun!” Dei
menunjuk-nunjuk ke arah penonton yang meneriaki dirinya.
”KYAAAA!” Itulah
balasan singkat dari fans-nya Dei. Cukup diketik sekali saja, ya. Reader bayangin aja kalo fans beranggotakan cewek-cewek kece ngeliat idolanya,
Hey! Say! JUMP.
”Ahahaha, lucu,
Dei,” tawa Hidan. ”Un-nya nanggung banget di belakang!”
”Hahahahaha...”
Penonton ketawa bareng. Yang jadi fans Dei juga ikut ketawa.
”Lanjuuut!”
teriak Hidan, memberi aba-aba.
Dan satu lagi
makhluk mengejutkan muncul dari balik tirai... ”Saya Kakuzu, nggak tau
jelasinnya gimana, intinya saya di sini jadi PEMILIK PERUSAHAAN,”
jelasnya singkat, disambut 'krik... krik...' dari jangkrik.
”Ahahaha! Dalang
tau aja bikin peran si Kuzu jadi pemilik perusahaan,” tawa Pein meledak. Nggak
tau, deh, urat-urat mukanya gimana karena pierchings-nya itu. ”Pas banget! Si
Kuzu, 'kan, mata duitan!” celetuknya.
Bahwa
sesungguhnya kalau lucu, tertawalah. Kalau tidak sanggup, jangan lambaikan
tangan, tapi klik tombol 'back' di kiri atas (kalau baca lewat PC atau laptop).
Lah?
”Peeein...”
”Iya,
dalaaang...”
”KUUURAAANG...”
”Makasih,
dalaaang...”
”Jiaaah!” Hidan
sweatdropped. ”Lanjuuut!”
JREEEEEEENG!
Tiga makhluk
SUPER NGGAK JELAS keluar dari balik tirai. Para penonton matanya melongo semua
ngeliat mereka. Mereka semua berekspresi 'muke gile'. Yaah, dalam hati juga
mereka berseru, gileee, apaan, nih?, begitu.
”Saya Zetsu,
berperan jadi—”
”VENUS
FLYTRAAAP!” jerit salah satu penonton, sangat ketakutan dan shcok, kemudian
pingsan di tempat.
”Buseeet, kenapa
tuh orang?” tanya Itachi kaget.
”Ehem,” Makhluk
yang diteriaki 'venus flytrap' dan bernama Zetsu itu berdehem sebentar untuk
melanjutkan jikoushokai-nya. ”Saya Zetsu, berperan jadi PENGGELAP UANG
bersama ketiga teman saya, Kisame dan Tobi.”
”Saya Kisame,
berperan jadi—”
”HIU
JADI-JADIAAAAAN!”
”BISA
BICARAAAA!”
Kali ini, dua
penonton sekaligus muntah-muntah di tempat, dan langsung dibopong ke klinik
terdekat.
”Uwaaah, parah,
nih...” gumam Konan pelan.
”Saya Kisame,
berperan jadi PENGGELAP UANG, temen-temen dari Zetsu dan Tobi,” jelas
Kisame mempersingkat, takut penonton berjatuhan lagi.
”Saya Tobiii~
Tobi anak baiiiik~ Tapi, dalang bikin Tobi jadi anak jahaaat~ Tobi jadi PENGGELAP
UANG nemenin Kisame-senpai sama Zetsu-senpaaai~” jelas Tobi memperkenalkan
diri tanpa memperhatikan situasi penonton.
Sebenernya,
waktu Tobi bilang 'Saya Tobiii~' itu, samar-samar ada yang berteriak ”LOLIPOP
RAKSASAAAA!” dan satu per satu penonton tiba-tiba terkena serangan jantung
massal. Andai aja berhenti sebentar kayak Kisame dan Zetsu tadi, kau nggak
makan banyak korban, Tobi...
”Yaaak! Itulah
tokoh-tokoh yang akan bermain!” seru Hidan akhirnya, setelah menunggu agak
lama. ”Dan peringatan terakhir, kalau lucu ketawa, kalau nggak lucu,
silahkan... tidur.”
”Lah?” Sasori
bingung.
”Kalau nggak
lucu, ya, nggak usah ketawa!” sambung si Hidan.
.
”HOKEEEH! Karena
sang author nulisnya pada malam hari, jadi, malam hari ini, Akatsuki Van Java
akan membawakan sebuah cerita yang berjuduuul...” kata si Hidan persis meniru
Mas Parto, dalang asli OVJ.
JEJEEEENG!
”SEMUA ADA
WAKTUNYAAA!” teriak Hidan menyambung kalimatnya nanti.
”Super sekali
teriakannya, dalaaang~” seru Pein yang muncul tiba-tiba di setting pertama.
”Wkwkwk,” Dalang
Hidan ketawa bebek. ”Bentar, bentar, mau baca narasi dulu,” cegahnya.
”Narasi itu, ya,
tempat nyimpen mobil di rumah,” kata Pein iseng.
”Garasi?” tebak
Hidan.
”Iyaaaa...
Hahahaha...” Pein tertawa garing.
”Haaaa...” Hidan
tertawa nanggung(?). ”Lu kurang melulu, Pein. Udah, ah.” Hidan serius.
”Dikisahkan seorang bapak bernama Pein bekerja di suatu perusahaan terkenal.
Tapi, seterkenal-terkenalnya perusahaan tempat Pein ini bekerja, kehidupan
keluarga mereka tetep sederhana. Tiba-tiba, suatu masalah menimpa mereka.
Penasaran masalahnya apaaa? Mari kita ke TEEEKAAAPEEE!”
Suara musik
homeband bermain.
Setting latar
pertama tempat Pein tadi dimasuki oleh Konan. Konan langsung duduk di samping
Pein dan (pura-puranya) mereka menonton televisi bersama.
”Heh, salah,
salah!” Hidan muncul tiba-tiba. ”Si Pein-nya, ceritanya, baru pulang kerja.
Belum muncul! Malah mesra-mesraan!” protesnya.
”Eeeh—iya, iya, dalang!
Ampuuun!” Pein bungkuk-bungkuk sambil jalan balik ke balik panggung.
Hidan membacakan
narasi. ”Pein dan Konan memiliki tiga orang anak, yaitu Itachi, Sasori, dan Deidara,
un!”
”Lho? Kok ada
'un'-nya, dalang?” tanya Konan kaget.
”Eh? Nggak tahu,
nih. Keucap sendiri,” elak Hidan sambil mengusap-usap mulutnya. ”Mereka
berdua—si Pein dan Konan—mendidik anaknya untuk selalu mandiri, sederhana,
hemat, dan bersahaja.”
”Lah? Malah Dasa
Darma Pramuka?” potong Konan lagi.
”Udah, diem, lu!
Suka-suka gue, dong, mau narasi apaan!” Kali ini, Hidan yang protes.
Konan hanya
mencibir.
”Konan adalah
ibu yang rajin dan perhatian pada keluarganya, preeet.”
”A—”
”Pada suatu
hari, Pein pulang lebih cepat dari jadwal biasanya. Ada apakah gerangan?
MarKiLi, mari kita lihat~” Hidan mengakhiri narasinya. ”PEIN! MASUK!” teriaknya
pake toa, ntah didapat dari mana.
Pein masuk.
”Bapak pulang!” serunya dengan raut muka yang gitu, deeeh. Agak galau.
”Jam berapa ini,
Pak?” tanya Konan dengan ekspresi bingung. ”Bapak kok udah pulang? Cuti
mendadak, ya?” tebaknya.
”Nggak, Bu...”
jawab Pein dengan muka yang super duper lesu.
Melihat itu,
kasihanlah istrinya. Kemudian, perlahan, Konan mendekat ke Pein yang sudah
ikutan duduk sama Konan. ASEEEK ASEEEK, HOOOI!
”Bising banget,
tuh, author-nya,” gerutu Konan. ”Jadi, kenapa, Pak? Dari raut muka Bapak,
kayaknya baru gajian gitu,” sahutnya ngawur.
”Kurang...” Pein
sweatdropped menatap Konan.
”Bodo' amaaat,”
Konan mengibaskan tangannya.
”Benang merah~
Benang merah~” sindir Hidan yang muncul tiba-tiba.
”Ah elah, dalang.
Baru juga melenceng dikit...” keluh Pein. ”Ini, Bu... Ee... I... A... U...
O...” Pein tergagap-gagap menjelaskan, sampe nyebutin huruf-huruf vokal.
”Parah lu, Pak!
Masih ngapalin huruf-huruf vokal udah setua ini?” Konan terkejut batin.
”Cipok, nih!”
Pein e(s)mosi.
”NGOMONGNYA,
WOOOI! RATING FIC-NYAAA, DILIAAAT MAAAS!” Hidan memukul-mukul kertas narasinya
ke salah satu properti.
”Ceritanya
grogiii,” geram Pein kembali ke kesabaran semula.
”Serah lu,
daaah,” Konan pasrah.
”Bu...,
Bapak..., di... ... ...” Pein menggantung kata-katanya dramatis.
Jeng jeng jeng
jeng jeeeeng...
”...pecat.”
sambung Pein datar.
JREEEENG! TET
TET TEEET!
”UAPAAAAH? !”
jerit Konan selebay-lebaynya supaya mirip seperti di sinetron.
”Serem banget,
mbak,” Hidan ngakak.
Di antara pesta
ngakak Hidan, Pein malah mengeluh lagi. ”BUDEK DAH GUEEE!” teriaknya sambil
meng-'itu'-kan telinganya, author lupa cara mendeskripsikannya.
”Kenapah Bapak
bisa dipecat?” tanya Konan ingin tahu. ”Memangnya Bapak salah kasih santunan?
Atau membuat kesalahan?”
”Nggaaaak...”
Pein mewek. ”Bapak nggak buat kesalahan apa-apaaa, Bapak dipaksa menandatangani
surat kontrak gitu yang isinya tentang penggelapan uaaaang!” curcolnya panjang
lebar.
”Kenapa Bapak
mau?” tanya Konan lagi.
”Yaaah, Bapak
dipaksa, malah dikasih pilihan menjebak pulaaa,” sambung Pein.
”Berapa
pilihannya?”
”... Satu! Ya,
dua laaah!”
”Apa aja
pilihannya?”
”Bapak disuruh
menandatangani itu atau dipecat... Di situ Bapak udah bingung banget, Bu. Kalau
ditandatangani, Bapak bisa masuk penjara, kalau dipecat, Bapak nggak tahu mau
kerja dimana lagi,” Pein curhat lagi. ”Untuk mengusir kebingungan itu—”
”Pake beginiaaan,”
Tiba-tiba, Hidan muncul dengan gokilnya sambil bergaya iklannya Sule yang
produk helm itu.
”—Bapak pilih
dipecat aja.” sambung Pein tanpa memperdulikan Hidan. ”Kalau dipenjara, ntar,
Bapak bener-bener nggak bisa kerja. Kalau dipecat, 'kan, masih bisa cari kerja
walaupun susahnya minta ampun.”
Konan
menggeleng-gelengkan kepalanya. ”Tapi, gimana biaya sekolah anak-anak nanti,
Pak?” tanyanya dengan raut khawatir.
”Kita serahkan
sajalah pada Tuhan, kalau rajin berdoa, kita pasti dimudahkan oleh-Nya...” ucap
Pein dengan nada berkhotbah.
”MANTAAAAP,”
seru Hidan tiba-tiba LAGI. ”Pein masuk, gih. Segmen ini Konan sama anak-anak,”
perintahnya.
”Siiip,” Pein
masuk ke balik panggung.
”Akhirnya, Pein
sudah menjalani dua bulan masa menganggur karena hampir tidak ada perusahaan
yang menerima lamarannya. Tapi... Pein, 'kan, orangnya gagah, tangguh, pantang
menyerah, jujur, rendah hati, dan suka menabung, nih.”
Sementara si Dalang
Hidan membaca narasi, anak-anak Pein dan Konan—Itachi, Sasori, dan Deidara—pun
masuk ke panggung.
”Keadaan ekonomi
keluarga mereka yang seharusnya diduga menjadi bangkrut dan sangat menyusahkan,
ternyata, menjadi beda, tidak seburuk yang dipikirkan. Pein selalu memberi
semangat pada keluarganya untuk selalu jujur, rendah hati, dan tidak putus
asa.”
”Semangat~
Semangat~ Kita sungguh semangaaat~!” seru Itachi, Sasori, dan Deidara
berbarengan ala yel-yel 'dewasa'-nya The Dandees.
”Sebagai usaha,
Konan mulai membuat kue-kue untuk dijualnya kepada beberapa pembeli.” Hidan
mengakhiri narasinya untuk babak ini. ”Lah? Emang untuk pembeli, pembelinya itu
siapaaa?” protesnya pada penulis naskah. Author-nya, dong?
Konan dan
anak-anak mempraktekan cara membuat kue dengan macam-macam properti panggung
yang diplesetkan. Ala kadarnya, deh.
Konan menjelaskan
cara-caranya. ”Nah, cara membuat kuenya, nih. Adonannya di-mix,
dimasukkan ke oven, ditunggu beberapa menit, dikeluarkan dari oven, terus, di—”
”—buaaang(,
un).” Konan, Itachi, Sasori, dan Deidara serentak mengatakan kata barusan.
”Lah? Mubazir amat!”
Hidan tertawa melihat (atau mendengar?) dialog mereka.
”Bukaaaan!”
Konan menepis pernyataan mereka barusan. ”Setelah jadi, kue-kuenya ini kalian
bawa ke sekolah, terus, di—”
”—bu...” Ini
suara Itachi, Sasori, dan Deidara.
”...aaang(,
un)!” Ini suara Sasori dan Deidara.
”...sukkin!” Ini
suara Itachi.
”Lah? Kok
dibusukkin? Sayang banget!” Hidan tertawa lagi, menghargai lawakan mereka.
Readers juga hargai, ya (walaupun sebenarnya nggak ada lucunya sedikitpun).
Hehehe...
Konan
melanjutkan kata-katanya yang sempat dipotong ketiga anaknya tadi. ”Kue-kue ini
tolong kalian bawa ke sekolah dan dijual sama ibu kantin, ya,” pesannya.
”Pasti kue-kue
yang Ibu buat ini banyak yang beli, un! Soalnya, enak, sih, un!” Deidara excited
menghibur ibunya.
Hidan bernarasi
lagi. ”Konan yang mendengar kalimat dari Deidara barusan langsung terharu, juga
dengan sikap anak-anaknya yang lain, sampai-sampai, ia menitikkan
sebuah...titik.”
”Apaan, Dalang?”
Itachi protes atas kata-kata yang dikumandangkan Hidan barusan.
Hidan meluruskan
kesalahannya. ”Maksudnya, sampai-sampai, ia menitikkan air matanya. Hiks!
Hiks!”
”Kenapa jadi Dalang
yang nangis?” Konan heran.
”Ceritanya ikut
terharu...” kilah Hidan.
”Oooh.” Konan
ber-'oh'-ria. ”Lanjuuut!”
”Pein sebagai
ayah juga nggak mau kalah. Dia membuat kolam untuk memelihara ikan.
Ikan-ikannya ia pelihara dengan baik, ia beri makanan dengan teratur dan rutin,
sampai berkembangbiak dengan baik, terus di—”
”—buaaang!”
Konan melanjutkan kata-kata Hidan yang sudah bisa ditebak itu.
”Nggaaak!” Hidan
mengibaskan tangannya. ”Pokoknya, ia memelihara ikan-ikannya itu dengan penuh
kasih sayang sampai berkembangbiak dengan baik!”
”Si Kisame itu
mungkin salah satunya, ya?” Sasori memasang pose berpikir.
”Tanah kosong
yang ada di samping dan di belakang rumah juga Pein manfaatkan dengan baik.
Tanah itu ditanami berbagai macam sayuran, disiram dan dipupuk dengan baik
sampai tumbuh besar, lebat, dan banyak, terus, di...”
”...bu—” Ini
suaranya Itachi.
”...jadikan
sayur untuk makanan sehari-hari! Mereka melakukan semua itu dengan tulus, tanpa
pamrih, dan saling bekerja sama.” potong Hidan. ”Mampus lu, Itachi!” rutuknya.
Itachi hanya
menjulurkan lidahnya.
Hidan
melanjutkan narasi. ”Pein juga mengerti elektronik. Terkadang, dia dimintai
tolong oleh para tetangganya untuk memperbaiki barang-barang elektronik mereka
yang rusak. Mereka memberi upah seikhlasnya—Ahahahaaa! Yang bener, nih?”
potongnya meremehkan.
”Iya kali, Dalang!”
timpal Itachi. ”Kadang-kadang, kalau ada bagian-bagian materialnya yang udah
diambil atau diganti si Bapak ditaruhnya jadi pierchings di wajahnya itu~”
”Oooh! Jadi,
pierchings-nya itu semua bekas material rusak hasil memperbaiki barang
elektronik?” tanya Hidan terbelalak, tidak percaya.
”Iya!” balas
Itachi singkat.
Hidan
manggut-manggut, lalu bernarasi lagi. ”Pein tidak pernah malu mengerjakan itu
semua demi harga diri dan keluarganya. Seiring berjalannya waktu, mereka
menjadi terbiasa untuk bekerja keras untuk meningkatkan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa—”
”Kok jadi Janji
Siswa, un?” potong Dei.
”Ah, iya!
Salah!” Hidan menepuk jidatnya. ”Mereka menjadi terbiasa untuk bekerja keras
dan mandiri. Atas insiden ini pula, mereka juga terbiasa untuk menghemat dan
menabung. Sang ayah dan sang ibu juga berusaha mengelola hasil sayuran dan ikan
untuk sekolah anak-anak mereka. Tanpa terasa...”
”Saya sudah
lulus SD! Mau lanjut ke SMP! Yosh!” Itachi mengepalkan tangan sambil memegang
rapor yang isinya nilai-nilai terbaik hasil usahanya.
”Kalau saya,
ibaratnya mau naik tangga ke kelas 4 SD!” Sasori juga tak mau kalah.
”Kalau saya satu
tahun di bawah Saso-nii, un. Mau ke kelas 3 SD!” Deidara juga nimbrung.
”Eh? 'Saso-nii'?
Sok imut, deh!” protes Sasori, nggak terima dipanggil begitu.
Deidara langsung
merasa bersalah. ”Maaf, un! Itu dari skenarionya, un!” katanya membela diri.
”Pada suatu
hari...” Hidan memotong pertengkaran mereka dengan kalimat narasi yang terdiri
dari tiga kata. Ah elah, ribet amat, yak?
Tok! Tok! Tok!
(ceritanya, suara pintu rumah keluarga PeinKonan yang diketuk)
”PAAAAK! ADA
TAMUUUU!” teriakan Itachi menggelegar.
Hidan bernarasi
lagi. ”Mendengar teriakan membahana sang anaknya itu, Pein pun segera keluar
dari dapur menghampiri pintu. Ternyata, eh, ternyata~ Sang tamu adalah Kakuzu,
sang pemilik perusahaan tempat Pein bekerja dulu. Simaklah dialog dari mereka
berdua.”
”Eeeh... Pak
Kuzu! Sila(h)kan masuk, Pak!” sambut Pein dari depan pintu.
”Makasih, lho,
Pak Pierchings, saya di luar saja,” tolak Kakuzu dengan sopan.
”Jangan, dong!”
Pein ngotot. ”Kalau Bapak di luar, saya di dalam, gimana mau bicaranya? Apa
kata duniaaa?”
”Kurang, ah,”
Kakuzu sweatdropped.
”Saya, 'kan,
usaha, Pak~” Pein membela diri. ”Jadi... Kalo boleh nggak tahu, ada apa Bapak
datang ke sini, ya?” tanyanya ala wayang-wayang OVJ belakangan ini.
”Saya pulang
aja, dah, kalau gitu,” Kakuzu ngambek, ceritanyaaa.
”Jiah,
ngambek... Bapak mau ngapain, sih, datang ke rumah saya?” tanya Pein, akhirnya.
”Hm...” Kakuzu
tiba-tiba masuk ke dalam rumah Pein dan duduk di sofanya, TANPA ABA-ABA, TANPA
ADA PERSILAHAN OLEH TUAN RUMAH. ”Saya datang ke sini untuk meminta maaf pada
Anda atas kekeliruan saya memberhentikan Anda.”
”Sebentar,”
cegah Itachi yang memperhatikan Pein dan Kakuzu mengobrol. ”Maaf-nya, -kan
sammaa, menyilaukan saat tatap wajahmu dari samping, nggak?”
”Maafkan,
sammaa~ Menyilaukan~ Saat tatap wajahmu~ dari sampiiing~” Mereka bertiga
bernyanyi di situ serentak.
”Wah, pada wota,
ya?” tanya Itachi heran.
”Nggak, ah. Cuma
fans biasa aja.” jawab Pein dan Kakuzu bersamaan.
”Eh? Kok bisa
samaan, tuh?” Itachi kaget.
”Ini bicara apa,
sih? Tadi, 'kan, bicarain perusahaan! Ganggu aja lu!” emosi Kakuzu pada Itachi.
”Lanjuuut!”
potong Pein.
”Ya... Jadi,
kami—lebih tepatnya, saya—salah! Saya sudah menemukan orang yang menggelapkan
uang tersebut. Saya ingin Anda kembali bekerja di perusahaan kami dan
menawarkan jabatan sebagai wakil pimpinan.” kata Kakuzu dengan sungguh-sungguh.
”...Pak? Bapak
nggak bercanda, 'kan...?” Hidan cengo. Ceritanya, nggak percaya atas apa yang
baru saja diucapkan Kakuzu barusan.
”Saya serius!”
Kakuzu meyakinkan. ”Mulai saat ini, saya berkomitmen untuk lebih berhati-hati
lagi dengan kasus-kasus seperti ini—”
”Eh, 'men' udah
nggak jaman lagi, sekarang udah 'bro',” sanggah Pein. ”Jadinya, berkomit-bro!”
”Nah, itu kalo
cowok,” sambung Kakuzu. ”Kalo cewek, berkomit-sis!”
”KU—RAAANG~”
ejek Itachi yang masih berdiri di dekat mereka.
”Kurang
jangan ditambahin 'goni' di belakangnya, nanti jadi alat untuk lomba tujuh
belasan,” Kakuzu mencoba membuat jokes lagi.
”Karung
goni?” tanya Hidan.
”Yong-oh!”
celetuk Kakuzu ala Gilang
Gombloh (atau Mr. Lessman? Author kurang bisa ngenalin suara mereka berdua
karena cuma denger siaran radio) kalo jokes-nya bisa
dijawab orang lain.
”Yong-oh
apaan lagi? Ah, elaaah,” Itachi facepalm-ing.
Tiba-tiba, Hidan
datang dari belakang panggung. ”Bro, brooo!”
”Aaah...” Itachi
sweatdrop. ”Apaaa?” tanyanya malas.
”Kurang
itu... Yaaa, penyakit yang luka-luka di wajah di cerita
Lutung Kasarung,” Hidan memberi clue.
”Koreng?” tebak
Itachi, Kakuzu, dan Hidan bersamaan.
”Nah! Iya, itu!”
Hidan menjentikkan jarinya.
”DUAR!”
Ketiganya—yang mengatakan 'koreng?' tadi—ber-orz-ria bareng-bareng.
”Benang merah,
benang merah!” seru Hidan kembali serius.
”Ah, iya!” Pein
sadar. ”Terima kasih, ya, Pak! Saya nggak tahu harus ngapain untuk menunjukkan
rasa terima kasih saya ke Bapak!” katanya bertubi-tubi.
”Caranya, Anda
harus kembali bekerja lagi, tanpa penolakan dalam bentuk apapun!” jawab Kakuzu.
”Oh iya, saya juga membawa orang-orang tersebut. Ada tiga ekor—eh, tiga orang.
Masuklah kalian, para penggelap uang!” serunya agak kuat.
”Yok~ Kisame,
Zetsu, sama Tobi masuk!” suruh Hidan.
Dan jadilah,
Kisame, Zetsu, dan Tobi masuk ke panggung menghadap ke Kakuzu dan Pein.
”Oh, jadi ini
orang, ya?” sindir Itachi. ”Kirain tadi patung pajangan mahal buat kami untuk
dijual...”
”Itachi-senpai
jahaaat!” Tobi mewek dengan alaynya. Heeeh, Tobi-fans jangan marah, ya. Tobi
itu imut, lhooo.
”Alay lu, ah!”
Kisame menyikut Tobi.
”Soriii...” Tobi
pundung.
”Penggelapan
itu brooo...” seru Zetsu mengagetkan seluruh orang yang ada di tempat itu.
”Apaaa?” tanya
semua minus Zetsu.
”Peng-reaksi
kalo ikan di darat tanpa dikasih air...” Zetsu memberi clue.
”Peng...apa,
sih?” Kisame garuk-garuk kepala.
”Peng-geleparan,”
jawab Zetsu sendiri.
”...Haaah?”
Semua bingung.
”Menggelepar-gelepar
gitu, lhooo,” Zetsu membela diri.
”Itu yang
tau...” Itachi menggantung ucapannya. ”Cuma lo... Sama temen-temen bayangan
lo...”
Pein menyambung.
”Sama tetangga-tetangga lo...”
Hidan ikutan.
”Yang suka...”
”... Merhatiin
ikan kalo menggelepar-gelepar di tanah sampe akhir hayatnya...” Kakuzu menutup
semua kalimat sambung-menyambung itu.
”Heh, ini apaan,
sih? Dikit-dikit ngeluarin jokes! Durasi, woi! Durasi!” Hidan mengamuk. ”Yang
baca juga terbuang waktu berharganya hanya gara-gara baca yang beginian!”
”Ampun,
dalaaang~” Tobi sujud-sujud.
”Nah, mereka
inilah yang menggelapkan uang tersebut yang ujung-ujungnya mendesak Anda untuk
menjadi korbannya,” Kakuzu mengarahkan pandangan pada Kisame, Zetsu, dan Tobi.
”Silahkan. Minta apa saja pada mereka sebagai gantinya.”
Hidan bernarasi.
”Mendengar itu, Konan d.a.a datang dari dapur menjumpai mereka. Kenapa d.a.a?
Karena d.k.k sudah mainstream dan d.a.a itu artinya adalah 'dan
anak-anak'.”
”SAYAAA!” Konan
teriak. ”Saya mau origami tiga kardus!” pintanya.
”AKUUU! Aku mau
lotion penghilang keripuuut!” rengek Itachi.
”Aku! Aku!”
Sasori tidak mau kalah. ”Aku mau satu set paket Boneka Barbie, lengkap dengan
baju-baju dan perhiasannya!”
”Barbie
itu brooo...” Zetsu mau mengeluarkan jokes lagi. ”Yang dibilang waktu lagi
ngumpul tiba-tiba ada keperluan...”
”Karena?” tanya
Hidan, Kakuzu, Pein, Kisame, Tobi, Konan, Itachi, Sasori, dan Deidara serentak,
pemirsah!
”Karena, barbie
(be-er-be)
itu be right back!” jawab Zetsu dengan bangganya.
”Gimanaaa?”
”Udah, udah,
anggap aja kentut lewat...” suruh Hidan. ”Lanjut, Dei!”
”Aku, un!” seru
Dei. ”Aku mau Bom C4, un... Sebanyak apa, ya, un? Hmmm... Oh, iya, un!
Sebanyak-banyaknya aja, deh, un!”
Tiba-tiba, Zetsu
melihat ke Konan. ”Eh, ini ibunya, ya? Mirip Aura Kasih!”
”Kampret lu.
Masa' gue disamain sama Aura Kasih?” Konan marah ke... Author!
”Itu pasti nama
tengahnya 'terima', deh!” sambar Itachi.
”Aura Terima
Kasih! Hahaha!” jawab semuanya minus Itachi sambil tertawa bersama.
Konan sweatdrop. “Daripada lo-lo semua,
yang satu Venus Flytrap,” katanya sambil menunjuk ke Zetsu. “Yang ini berdua
cocok jadi makanan; ikan goreng sama lollipop!” lanjutnya menunjuk Kisame dan
Tobi bergantian.
“Hm... Boleh juga, tuh, Bu!” seru Itachi
setelah berpikir sepersekian detik sebelumnya. “Kita bisa meneliti si Venus ini
lebih lanjut, mana tau dia salah satu spesies yang bisa dijadikan obat untuk
keriputku, dan dua lagi untuk cadangan makanan!” jelasnya.
“Silahkan...” sahut Kakuzu. “Sesuka kalian
saja, kalau mereka nggak mau, bilang saja sama saya, ntar saya kasih hukuman!”
“Akhirnya... Semua pun bersyukur pada
Jashin.” Hidan membacakan narasi ending.
“HEMOOOH!” teriak semuanya, tidak terima.
“Lu aja, kami nggak usah!” sambung mereka.
Hidan segera mengklarifikasi kalimatnya
barusan. “Maksudnya... Semua pun bersyukur pada Tuhan. Keluarga Pein juga
berterima kasih padaNya. Mereka sadar—“
“Emangnya pingsan?” potong Konan.
“—insiden itu membuat mereka menjadi lebih
giat, lebih bekerja keras, tidak manja, saling membantu, dan juga saling
menyayangi antar-anggota keluarga. Mereka menyadari pentingnya hidup hemat.
Kecuali Kakuzu!” sambung Hidan langsung panjang.
“Bersyukur
itu, uuun...” Deidara ingin mendapat giliran mengeluarkan jokes. “Suatu keadaan
dimana banyak orang serentak mendapatkan kebahagiaan.”
“Karena?” tanya semua yang ada di situ
minus Dei.
“Karena bersyukur
itu bersama bersyukur!” jawab Dei
polos.
GUBRAAAAK!
“AAAAH! KENAPA ELU BIKIN SINGKATAN DI DALAM
SINGKATAAAAN?!” amuk Itachi.
“Sasori, sikat sekali, dong,” suruh Hidan.
“Tadi dalang bilang ada ‘keluarga’, ‘kan?”
tanya Sasori memastikan.
Hidan melihat kertas naskah. “Hm... Iya,
iya.”
“Nah,” Sasori ingin memberi clue. “Keluarga itu, ketika seseorang bertanya
sama saudara perempuannya tentang posisi gitu, ke, luar, ga?”
“Kak,
luar, nggak?” tebak Itachi.
“Naaah, iya, itu!” Sasori menjentikkan
jarinya. “Itachi pinter, deh!”
“Najeees, najeees!” Itachi muntah-muntah.
“Gue lagi, dooong!” Zetsu lompat-lompat.
“Ah elaah,” Hidan padahal udah mau
menyudahi. “Ya udah, cepetan.”
“Sadar
itu keadaan sesudah kita mandi karena sebelumnya kegerahan,” Zetsu memberi
clue.
“Segar?”
tebak Hidan.
“Iyaaa!” seru Zetsu membenarkan. “Terus,
terus, sadar itu Bahasa Inggrisnya ‘gula’!”
“Sugar?”
tebak Itachi.
“Iyaaa!” Zetsu berseru lagi. “Sadar itu kata kerja memberikan pakai
tangan!”
“Sodor,
un?” tebak Dei.
“Betoool!” seru Zetsu kegirangan.
“HATRIIICK~!” seru semuanya (termasuk
Zetsu) dengan nada lemas, kecuali Zetsu-nya.
“Hah...” Hidan menghela nafas. “Udah?”
tanyanya pada Zetsu.
“Udah, dalang...” jawabnya sambil nyengir.
Akhirnya, Hidan menyampaikan pesan-pesan
terakhirnya pada penonton dan reader. “Nah, sekian dari kami~ Maaf jika
semua-semuanya membuat kalian tertawa terpaksa karena emang dari awal sudah
diingatkan—piiis... Di sana jokes, di sini jokes; di tengah-tengahnya pasti ada
kekurangan; mereka maksa saya pun lebih maksa bahkan; tetaplah jadi readers...
YAAA-EEE!” Cieee, rima a-b-b-a...
-Owari-
DUA
BELAS HALAMAN, BROOO! XO
SENGAJA,
DEH, SAYA EDIT LAGI KARENA YANG PERTAMA ITU SUMPAH-ANCUR-BENJEEEET! -_-
KALIMATNYA SATU HURUF PUN NGGAK ADA YANG LUCU! *readers: emang yang ini ada
yang lucu?*
Ehem...
Udah ijin di disclaimer ya, ngeluarin jokes-nya di sini ala The Dandees... :p
Hayooo, yang di Jakarta, Solo, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan,
sama Makassar pasti rada tahu, deh ;p
Clue
untuk seluruh rakyat Indonesia (yang merasa tidak fanatik sama hal Jejepangan):
acara di Net TV yang nggak bisa bikin kaya, cakep, dan pintar. -nggak penting
banget-
OH,
YAAA! RIPIU DONG FIC SAYA YANG ‘No Goodbye’! Gegara kemarin aplotnya pagi-pagi,
jadi nggak ada yang bacaaa ;w; *derita lu!* Emang di fic-nya nggak ada kalimat
‘otan-ome’, ‘happy birthday’, atau ‘selamat ulang tahun’ untuk Neji dari
Tenten, tapi itu hadiah ultah saya untuk Nejiii! ;;A;; *malah curcol*
Eh,
iya, deh, udahan. Jaaaaa~ XD
Comments
Post a Comment