Aya & Akira (Ori Fic)

Sumber gambar: pixabay.com/Alexas_Fotos

Suatu sore, sepulang dari upacara kelulusan sekolah Sou dan Aya, SMP Hayagaoka, mereka berdua mengobrol sebentar sebelum masuk ke dalam rumah masing-masing. Sou dan Aya merupakan dua sejoli yang bertetangga sejak kecil. Keduanya sudah hidup berdekatan selama kurang lebih 10 tahun.
Sou bersandar di pagar besi rumahnya sambil melipat tangan di dada. Sedangkan Aya berdiri dengan posisi normal sejauh 2 meter di depan Sou.
"Kau mau SMA di luar negeri?" tanya Aya, basa-basi. Ia ingat Sou pernah mengatakan itu padanya beberapa hari lalu.
"Iya!" jawab Sou cepat.
"E-eh?" Aya kaget.
Sou memiringkan kepalanya. "Um, kenapa?"
"A-ah, tidak." Aya menggeleng cepat, menyembunyikan rasa sedihnya. "Kenapa tidak kuliah saja?" tanyanya dengan kode yang bermakna membujuk. 'Sebenarnya, kuliah pun aku nggak rela.' Ia tidak berani menatap Sou.
"Haha," Sou tertawa licik, selicik serigala hutan yang ingin menipu mangsanya. "Kau takut rindu padaku, yaa?" Cowok setinggi 160 cm itu mendekati wajah Aya dengan pandangan menakutkan.
"Baka," Aya memasang ekspresi kesal. "Siapa juga yang mau merindukanmu?" Ia mendengus, menjauhkan tubuhnya (dan wajahnya) dari Sou.
Sou kembali ke posisi semula, lalu tertawa. "Hahaha! Nggak, kok. Aku SMA di sini." Mata Sou menatap ke langit biru yang diisi sedikit awan tipis. "Kuliah... Ya, mungkin di luar negeri." jawabnya sambil tersenyum pahit. Sebenarnya tidak tega juga untuk mengatakan hal itu.
"H-hontou?!" Aya seperti menerima secercah harapan. Hatinya yang dingin menjadi hangat lagi. Matanya ikut berbinar-binar.
"Eh, sampai berbinar begitu," Sou terbelalak. "Dugaanku sepertinya benar, nih." godanya, bercanda.
"S-siapa bilang?" tepis Aya gengsi, tak mau ketahuan panik oleh Sou. "Aku hanya ingin menyiksamu lebih lama, kok. Itu saja. Tidak ada yang lain." jelasnya mencari alasan.
Sou mendengus, Bohong banget."
"BAKAAA!" pekik Aya kesal, rasanya ingin menjitak Sou saat ini juga. 'Maksudnya, "Baka, tolong ucapkan lagi sampai aku benar-benar percaya!"...' batinnya di tengah rasa gengsi.

***

Esok malamnya yang merupakan hari santai bagi banyak pelajar—karena merupakan masa liburan—, Aya menonton televisi di ruang keluarga. Mungkin sedang menonton acara komedi. Karena malam ini adalah hari Sabtu, tak ada satupun acara yang membuat Aya merasa seru.
"Eh, itu si Sou sama keluarganya mau ke mana, sampai bawa barang banyak?" tanya Aya yang melihat dari jendela kaca; Sou dan ayahnya sedang bahu-membahu memasukkan barang ke dalam bagasi sebuah taksi di depan rumah mereka.
Akira, kakak laki-laki Aya, mendengar suara Aya dari pintu utama. Ia juga melihat Sou dan ayahnya dari luar. "Mungkin pergi liburan." jawab Akira menunjukkan senyum liciknya, masih berdiri di area pintu utama.
"Oh," balas Aya singkat, kemudian memfokuskan diri kembali pada televisi. "Ya, sudah."
"Tunggu, Aya-chan!" Akira berlari mendekat menuju sofa yang diduduki oleh Aya. "Sebenarnya..." Ia menggantung kalimatnya.
"Hm?"
"Aku menyukaimu!" seru Akira dengan air muka penuh kemenangan. "Hahaha!" Ia tertawa dengan polosnya.
"Baka," rutuk Aya dengan nada datar namun sangat menusuk hati. "Waktu tiga detikku terbuang sia-sia, tahu." sesalnya karena telah menanyakan kelanjutan dari kalimat menggantung Akira tadi.
"Itu yang kau ingin dengar dari si Ogawa itu, 'kan?"
Aya tersentak. "Bicara apa, sih?" ujarnya, berusaha tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Sebenarnya..." Akira menghela nafas. "Ogawa akan ke luar negeri—aku tidak tahu, sih, tepatnya di mana," Ia memasang raut wajah kecewa. "Katanya, dia akan SMA di sana."
"Apa?!" Kali ini, Aya kaget sungguhan. Ia menekan tombol power pada remote untuk menutup televisi. Ia juga sontak berdiri karena terlalu kaget.
"Eh? Kok kaget?" Akira bingung. "Kau nggak diberitahu, ya?"
Alis Aya berkerut, "Bohong, 'kan?" Ia menatap mata Akira lekat-lekat. "... Sou liburan, 'kan? Dia bilang dia SMA di sini. Kuliah barulah di luar negeri..." sahutnya dengan kepalan tangan yang sangat keras, dan tentu saja masih dengan rasa syok.
Akira mengalihkan pandangannya dari pandangan lekat milik Aya. "Begitu, ya," ucapnya ikut merasa kecewa. "Tapi, Ogawa memang bukan libu—"
"Bohong!" Aya memotong perkataan Akira. Ia terlalu kaget dengan berita ini sehingga cewek dengan rambut panjang sepinggang itu kabur ke kamarnya.
"T-tunggu! Aya-chan!" cegah Akira melihat Aya yang berlari. Ia ingin memastikan bahwa Sou masih mengangkat barang-barang mereka.
Tapi, kenyataan tak seperti yang diinginkan. Sou sudah pergi, taksi yang mereka tumpangi sudah pergi jauh. Terlihat dari dua lampu sen belakang mobil sedan itu sudah seukuran kelereng.
Akira yang melihat itu dari jendela kaca ruang tamu, berlari cepat menuju pintu. "Yah, taksinya sudah jauh... Cepat sekali." keluhnya bersedih. Mau tak mau, ia menutup pintu utama dan berniat menghibur Aya.
Di dalam kamarnya, Aya memotret taksi Sou—karena pada saat ia masuk ke kamar, taksi tersebut masih baru saja berangkat. Beruntung, jendela kamar Aya langsung menghadap ke halaman depan rumah mereka dan mendapat banyak celah juga ke halaman depan rumah keluarga Sou. Aya lalu mengirim email pada Sou—disertai foto itu.

Terima kasih. Maaf.

Di dalam taksi, Sou merasakan HPnya bergetar. Email dari Aya, tentu saja. Dengan galau, apalagi ditambah dengan potret taksinya, Sou membalas email Aya tersebut.

Ah, tidak. Maaf. Aku suka Aya. Terima kasih atas waktunya.

Setelah menekan tombol kirim dan memastikan bahwa balasannya telah diterima, Sou menutup HPnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya dengan tidak rela. Ia berharap sekali Aya tidak bersedih akan kepergiannya itu, sekalipun keduanya memiliki rasa saling suka. Bagaimana tidak, sudah dekat dan bersama-sama selama 10 tahun?
Aya berbaring di atas kasurnya sambil menatap langit-langit kamar, meratapi kepergian Sou yang mendadak tersebut. HPnya yang ada di meja belajar tiba-tiba bergetar saat ia sedang merenung. Aya bangkit sebentar untuk melihat layar HPnya; Ada balasan email dari Sou.
Aya menghela nafas berat, berusaha tak menyentuh alat komunikasi mungil itu. Alhasil, ia membiarkan HP itu tetap di posisinya, lalu membaringkan diri kembali.
Pikiran Aya melayang pada kepergian taksi Sou beberapa menit lalu. "Dasar, Sou jahat. Kenapa tiba-tiba, sih? Kalau bilang dulu, aku nggak perlu sesedih ini. Huaaah." gumamnya tak tentu; Kesal atau sedih? 'Aku ingin menangis. Tapi tidak bisa—Ah, kenapa ini?' Aya bergumul sendiri di dalam hatinya. 'Padahal, aku suka Sou...'
Tok! Tok!
"Siapa?" sahut Aya dari dalam.
Suara itu menjawab, "Kakakmu yang paling cakep."
"Oh, aku sedang sibuk," jawab Aya lagi dengan nada datar, dan menolak. "Lain kali saja, ya."
"Ayolah!" paksa orang itu—yang ternyata adalah Akira. "Aku tarik kata-kataku kembali!" rayunya bersikeras.
Aya menyerah. Ia bangkit dan turun dari kasur. "Sejak kapan cowok bisa menarik kata-katanya kembali?" sindirnya kesal sembari berjalan menuju pintu.
Pintu terbuka, dan tampaklah seorang Akira yang berujar, "Itu bukan merupakan sebuah janji. Jadi, aku boleh menariknya kembali." Yang kemudian disambut oleh Aya yang menjewer telinga kirinya.
 "—Aww!" Akira mengelus telinganya. "Sakit, tahu!" protesnya kemudian masuk dan menutup pintu.
"Aku tidak peduli," ucap Aya kemudian berbaring kembali di kasurnya.
Akira mengikuti Aya lalu duduk di sisi tempat tidur. "Kau tidak tahu, ya?" selidiknya.
Aya sewot melihat perilaku kakaknya yang semena-mena. "Heh, apa-apaan seenaknya singgah di kamar cewek." pekiknya sambil mendorong punggung Akira.
"Aku kakakmu, lho!" sergah Akira, refleks menahan tangan Aya. "Seharusnya tidak apa-apa!"
Aya menyerah lagi. Ia memposisikan tubuh untuk duduk normal. "Mau apa, sih?"
"Kau tidak diberitahu oleh si Ogawa itu?" sela Akira yang kemudian tak sengaja melirik HP Aya yang tergeletak di meja belajarnya.
Aya menjawab murung, "Tidak."
Akira meraih HP Aya dan melihat layar utamanya. "Heh, ini ada email dari Ogawa. Kau nggak mau membukanya?" Ia menekan tombol untuk membuka email masuk tersebut.
"Jangan sembarangan membuka HP orang lain, sekalipun milik adikmu." ucap Aya dengan nada super datar dan tatapan super dingin.
"Wah, seramnya..." Akira bergidik melihat tatapan Aya itu. Kemudian, ia mengalihkan pembicaraan. "Jalan, yuk." ajaknya sambil diam-diam menyembunyikan HP Aya di saku celananya.
"Malas." tolak Aya halus, namun penuh tekanan.
Akira bersiap melancarkan rayuannya. "Seharusnya Ogawa yang mengajakmu nge-date hari ini sebagai pertemuan terakhir, 'kan?" Ia beranjak dan menghadap ke arah jendela. "Sebagai gantinya, nge-date denganku saja!" usulnya dengan senyum penuh percaya diri dan memamerkan barisan giginya.
Aya turun dari tempat tidur, menghadap ke Akira, lalu berjinjit. "Kau bukan Sou, tahu!" serunya sambil melancarkan jitakan pada kepala Akira.
"Aww, sopan sedikit sama kakakmu, ya!" pekik Akira sekali lagi. "Nanti aku tidak jadi cakep lagi..." keluhnya lemah plus cemberut dan mengelus bagian depan kepalanya.
"Sok imut..." cibir Aya tak peduli. "Mau secakep apapun, Maki-neechan nggak akan pernah suka padamu." serang Aya kembali bagaikan ribuan jarum tajam yang menusuk hati Akira.
"Aya-chan..." Akira ambruk dengan posisi sujud. "Jahat sekali..." Ia berperilaku agak berlebihan karena tak sanggup menerima perkataan kejam Aya barusan.
Aya swt melihat adegan itu. "Sudah, sudah. Aku mengalah, deh." Ia mengelus kepala Akira dengan tak sepenuh hati. "Keluar dulu sana. Aku ganti pakaian dulu." sambungnya berjalan ke arah lemari pakaian.
Akira bangkit dengan semangat. "Kita jadi nge-date?!" Matanya bersinar-sinar seperti orang yang kelaparan dan hendak diberi makan saat itu juga.
Aya mengangguk, dan disambut pelukan tak berperasaan Akira. "Terima kasiiih!"
"Aku nggak bisa bernafas, Akira payah," ungkap Aya. "Lepaskan."
Akira melepaskan pelukannya. "Sip. Aku ganti pakaian juga. Daaah." Ia berjalan keluar dari kamar Aya dan turut berganti pakaian.

***
Set.
"Akira... Kakkoii..." puji Aya kagum melihat kakak 'payah'-nya memakai setelan jas putih dengan pola garis hitam di kerahnya, dasi hitam polos, dan sepatu kantoran hitam polos.
"Apa?" Akira tak mendengar kata-kata Aya barusan karena diucapkan pelan.
"M-maksudku, kau berlebihan. Aku hanya adikmu, lho." Aya meralat kalimatnya, dan kembali swt. '... Dan kita bukan akan ke pesta dansa atau makan di restoran, baka.' keluhnya sambil menggeleng-geleng.
"Ah, iya!" Akira tersadar. "Kenapa aku jadi terlalu bersemangat begini?" tanyanya memandang dirinya sendiri dari atas sampai bawah dengan polosnya. "Tapi, baru kali ini kau berbinar kagum melihatku selama hidupku." ucapnya iseng, lalu berbalik untuk mengganti pakaian lagi.
Gubrak! 'Kenapa aku harus punya kakak senarsis diaaa?!' Seandainya bisa, Aya sudah menangis darah saat ini. Ia duduk di sofa ruang keluarga untuk menunggu Akira.

***
"Ta-daaa!" Akira muncul dengan posisi merentangkan tangan, seakan ingin mengatakan 'ini diaaa!'. "Masih cakep, 'kan, sekalipun cuma pakai kaus biasa?" Ia mengedipkan sebelah mata.
Aya menoleh ke belakang, lalu beranjak. "Jaket kulitmu boleh juga. Baru pertama kali kulihat kau memakainya." puji Aya diikuti senyuman tulus. 'Sial, tubuhnya nampak tegap sekali kalau pakai ukuran yang nge-pas...' Aya tak sengaja melihat postur tubuh kakaknya itu sambil bergidik kagum.
Akira mengambil sepatunya di rak, lalu duduk di kursi di samping pintu utama. "Wahaha, akhirnya aku dapat pujian tulus juga." tawanya sambil memakai sepatu.
Aya berjalan mendekati Akira. "Aku berbohong, kok."
"Iya. Kau bohong mengatakan kalau kau bohong," Akira sudah selesai memakai sepatu. Ia mengeluarkan kunci sepeda motor dari saku jaketnya. "Senyummu tak bisa menipuku. Haha." sambungnya sambil (sok) tertawa datar.
Aya kaget plus blushing sejenak. "Sialan kau, sok tahu." gumamnya tak terima. 'Tapi, Akira benar, kok. Ehehe. Baru kali ini aku lihat kau sungguhan cakep layaknya omongan sampahmu,' pujinya sekali lagi, namun di dalam hati. 'Selamat, ya. Aku kagum sungguhan.' Aya kembali tersenyum tipis. Entah kenapa dia baru bisa sekagum ini pada Akira yang selalu dianggapnya terlalu narsis dan 'payah'.
Aya menutup dan mengunci pintu utama. Ia memasukkan kunci itu ke dalam saku celana jinsnya. Mereka berdua lalu berangkat dengan sepeda motor ayah mereka—yang sudah menjadi milik Akira sekarang.
Bruuum...
Setelah tiga menit di perjalanan, Aya membuka obrolan. "Kita mau ke mana?"
"Tunggu saja," sahut Akira enteng. "Tak perlu cepat-cepat tahu."
Aya menepuk helm Akira dari belakang. Agak kuat, sehingga terdengar bunyi 'puk!'. Untungnya setiap helm dilapisi busa di bagian dalamnya, ya.
"Sakit, tahu!" seru Akira, tak tahu apakah kesal atau pura-pura kesal. Karena ini kali ketiganya ia diserang oleh Aya. "Tenang aja, sebentar lagi sampai, kok!"

***
Lima belas menit berlalu, Akira memperlambat laju sepeda motornya, kemudian berhenti. Di depan sebuah kios makanan tradisional, terlihat ramai sekali orang berkunjung. Akira meletakkan sepeda motornya di situ. Ia menjamin benda itu akan aman, karena pemilik kios sudah mengenalnya dengan baik.
Akira mengajak Aya ke belakang kios tersebut. Ada beberapa anak tangga yang harus ditanjak untuk sampai ke puncaknya. Ya, seperti bukit. Hanya 30 meter. Namun, dari dasar kelihatan sangat jauh karena kecuramannya agak tajam. Berdua lalu beriringan menapaki anak tangga itu satu per satu.
Sesampainya di atas, pemandangan yang terlihat adalah seperti taman. Wah, taman di atas bukit. Bagus, yaa. Di sekeliling taman bukit itu dibuat pagar pembatas dari baja untuk mencegah jatuhnya pengunjung dari atas. Entah kebetulan atau apa, sekalipun ini malam akhir pekan, tak ada seorang pun di situ. Memang, luasnya hanya sekitar 200 meter persegi. Tapi, setidaknya ada sepasang kekasih atau seseorang yang datang.
Namun, kekosongan itu tak membuat tempat indah itu menjadi suram. Lampu taman warna-warni di setiap sudut masih menyala dengan terang-benderang. Lampu-lampu mungil yang melilit sebuah pohon kecil juga turut menyala kerlap-kerlip. Terang. Kosong, namun terang dan indah.
Akira duduk di sebuah bangku kayu yang berjarak tujuh langkah dari salah satu sisi pagar pembatas. "Ini namanya Bukit Bintang. Orang-orang yang menyebutnya begitu. Mungkin karena dari puncaknya—yaitu di tempat kita saat ini—kita bisa melihat bintang-bintang dengan jelas seperti di planetarium," jelas Akira sambil bersandar. "Haha, entahlah."
Aya mendengar penjelasan itu. "Ah, benar juga," dukungnya, lalu mendekati pagar pembatas. Rambut panjangnya meliuk-liuk diterbangkan angin malam. "Dari sini juga bisa lihat keadaan di jalan raya." Ia menopang kedua lengannya pada permukaan pagar pembatas, lalu menatap jalan raya dengan perasaan tenang.
Saat ini hampir pukul sebelas malam. Jalan raya tidak terlalu padat, namun diisi oleh lalu-lalang kendaraan dengan kecepatan hampir sama. Jadi, terlihat teratur jika dilihat dari posisi Aya saat ini.
Syuuut! DOR! DOR! DOR!
"Eh?" Aya mendongak melihat kembang api yang baru saja diluncurkan itu. "Ada festival kembang api?"
Akira juga ikut beranjak dari duduknya. "... Iya—maksudnya aku tidak tahu ini sebelumnya." katanya jujur.
"Kawaii." ungkap Aya spontan karena kagum, sepertinya tak terlalu menghiraukan jawaban Akira tadi.
Akira mendelik. "Yosh, aku bisa kasih kejutan ke Aya-chan!" timpalnya bangga sambil mengepalkan kedua tangannya.
Aya kembali menatap jalan raya. "Nggak usah GR, deh." pesannya pada Akira agar berhenti narsis.
"Hahaha," Akira tertawa ringan, kemudian mendekati Aya dan berdiri di samping kirinya. "Coba tutup mata sebentar." pintanya, seraya bersiap mengambil HP Aya.
Aya menoleh kesal ke arah Akira. "Jangan macam-macam, deh," ancamnya. "Aku bukan pacarmu."
"Bukan, bukan," Akira melambaikan tangannya. "Lakukan saja." Setelah Aya memejamkan matanya, Akira membuka email dari Sou di HP Aya dan mengarahkannya sejajar dengan posisi mata adiknya itu. "Sudah." Akira memberi kode.
Aya membuka mata dan matanya refleks membaca email itu dengan cepat. Aya syok lagi. Mungkin senang? Atau malah bertambah galau? Kemudian Aya menangis. Dengan cepat ia berbalik badan dari hadapan Akira.
"Astaga," Akira memutar bola matanya dan memasukkan HP Aya kembali ke tempat semula. "Gengsi banget, sih. Kalau nangis tidak usah disembunyikan begitu." sindirnya.
"Aku tidak menangis, kok." sergah Aya sambil menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Syuuut! DOR! DOR!
"Aya-chan!" seru Akira mendadak. "Kembang apinya barusan keren, lho. Kayak aku. Kau nggak mau lihat?" Akira terus membujuk Aya dengan kalimat narsisnya. Sebenarnya ia tidak tega melihat 'Aya-chan'-nya menangis begitu, makanya ia lakukan dengan sengaja, dengan harapan mampu membuat Aya gagal menangis.
Aya malah semakin sedih. Tangisannya memang tak bersuara, namun air matanya tetap mengalir deras. Ia juga sesenggukan. Merasa tidak nyaman, Aya terduduk dan bersandar pada pagar pembatas.
Akira cepat-cepat jongkok di hadapan Aya, tapi Aya malah menenggelamkan kepalanya dengan tumpuan lututnya yang ditekuk ke atas.
"Jangan lihat! Malu, tahu!" cegah Aya dengan gerakan tangan melarang, tapi malah tak sengaja menepuk wajah Akira. Ia merasakan itu, "Maaf..." katanya pelan tanpa mengangkat wajah.
Akira tertawa.
"Itu nggak lucu," Aya memprotes.
"Ogawa jahat, ya," sela Akira sembari memandangi Aya, menunggunya untuk mengangkat wajah.
"Huwaaa," teriak Aya mengangkat wajahnya. Akira berhasil! "Jangan diingatkan lagiii!" Tangisan Aya akhirnya meledak. Ia kembali menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Hahaha. Masih 14 tahun sudah tahu cinta," Akira menggeleng-geleng seakan mengatakan 'astaga'. "Aya-chan masih bocah, belum tahu apa-apa!" tekannya.
Aya mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Kau lebih jahat daripada Sou... Hiks..." isaknya tak terima.
Akira tersenyum penuh kemenangan. "Menangis saja sepuasnya. Mumpung tidak ada orang," katanya. "Kurasa mereka sudah tahu kembang api ini dan lebih memilih nonton di atap rumah."
Akira mengambil lagi HP Aya dan sengaja membaca ulang email dari Sou itu. "Kalau aku jadi si Ogawa, sih, akan bilang langsung!" Setelah berkata begitu, ia mengembalikan HP itu.
"Huweee!" Aya memeluk Akira dan menangis di bahu kirinya. Lutut Akira terbentur ke tanah dan badannya menjadi agak condong ke depan karena sedikit tertarik oleh Aya. "Akira bakaaa... Jangan seperti Sou, yaaa! Huweee!" pinta Aya dari hati yang paling dalam.
Akira tersenyum hangat. "Tenang saja. Aku tidak sebodoh itu, kok." katanya sembari mengelus-elus rambut panjang Aya, dari atas kepala sampai di daerah punggung yang setara dengan pinggangnya.
"Sou tidak bodoh," Aya membantah sambil terisak. "Kau yang bodoh."
Akira mendecak. "Masih ngeyel." Ia melepaskan pelukannya, kemudian memegang lengan atas Aya. Dilihatnya mata Aya merah dan pipinya banjir air mata. "Aya-chan imut kalau lagi nangis..." Akira tersenyum bak malaikat sambil menghapus air mata di kedua pipi Aya.
Aya memanyunkan bibirnya. "Maki-neechan lebih imut," ucapnya tak sengaja.
Akira blushing. "Aya-chan dan Maki berbeda." sergahnya tersenyum salah tingkah sambil terus mengusap pipi Aya.
"Akira blushing...?" Aya melihat itu, tentunya. "Baru pertama kali..."
Tampaknya, pipi Aya sudah kering dari air mata seperti semula. "Salah lihat pasti." sambar Akira masih salah tingkah, kali ini sambil merapikan rambut Aya hingga ke poninya.
Aya mencibir. "Di pelukan Akira nyaman, ya. Badannya tegap, sih. Hehe." Selesai dirapikan rambutnya, Aya berdiri dan kembali menatap jalan raya, walaupun matanya agak sembap.
Akira berdiri di samping Aya, merangkul tangan kanannya di pundak Aya. "Sudah kubilang, 'kan, kalau aku memang keren."
"Mulai lagi."
Keduanya tertawa.

***
Dua puluh menit berlalu. Dua puluh kembang api juga sudah diluncurkan. Aya menyerah.
"Aku sudah ngantuk," Aya menguap. "Pulang, yuk."
Akira mengangguk. Aya berjalan duluan. Namun...
Hyuung...
Akira menahan Aya yang hampir terjatuh karena mengantuk. "Mau digendong di depan atau belakang?" tawarnya.
"Belakang saja, deh," jawab Aya setengah sadar. Ia berusaha membuka matanya, namun gagal. "Aku pakai celana soalnya."
Akira merendahkan tubuhnya, kemudian Aya naik ke punggungnya. Mereka—lebih tepatnya Akira saja—menuruni anak tangga dan berjalan (dengan total) sejauh 30 meter untuk mendapatkan sepeda motor Akira. Kios tempatnya meletakkan sepeda motor itu masih ramai saat ini. Memang buka 24 jam, sih. Karyawannya juga punya jadwal giliran masing-masing.
Sebelum naik, Akira melambaikan tangan sebentar pada karyawan yang menjaga saat ini, sebagai tanda terima kasih telah menjaga. Dari balik kaca pembatas itu, sang karyawan membalas dengan tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya.
Akira menyalakan mesin. "Aya-chan, pegangan, ya," pesannya. "Jangan sampai jatuh."
Aya ingin menurutinya, tapi ia sudah tak sanggup lagi. "Mataku sudah hampir tertutup..." ucapnya.
Akira mulai menjalankan sepeda motornya. "Iya. Aku akan bawa pelan-pelan," katanya. "Kalau mau tidur, peluk saja lagi! Ahahaha!" Ia bermaksud bercanda untuk mencairkan suasana.
"Hontou?" Aya memastikan.
"Eh? Tumben..." Akira kaget. "I-iya. Boleh." jawabnya terbata. 'Eh? Kok "boleh"? Haha.' Ia salah tingkah sendiri.
Lalu, terjadilah seperti apa yang diinginkan Akira dan (mungkin) Aya sendiri.

***
"Aya-chan, ayo bangun," panggil Akira. "Kita sudah sampai." Pelan-pelan, ia melepaskan tangan Aya dari pinggangnya, lalu turun sambil tetap memegang Aya.
"Gendong aku, dong," pinta Aya lagi dengan kesadaran yang setengah-setengah. "Tapi di depan."
Akira mencibir. "Kau mulai manja kayaknya." Peduli tak peduli, ia mengangkat tubuh Aya dengan kedua tangannya.
"Hari ini saja, aku boleh seperti itu, 'kan?" Aya berbisik dengan mata yang sayu. "Janji, ini yang terakhir."
"Astagaaa. Aku bercanda," sahut Akira cepat. "Kapan saja kau boleh manja, kok. Hahaha." tawanya sambil mengantar Aya ke kamarnya.
"Laki-laki tidak boleh menarik kata-katanya," kata Aya sesampainya mereka di kamar.
"Memangnya kau laki-laki?" tanya Akira sebelum membaringkan Aya di kasurnya.
"Ingin, sih," Aya menjawab sambil memeluk guling. "Seru. Karena bisa kuat mengangkat cewek yang disayanginya turun melewati banyak anak tangga, mengangkat ke kamar, apalagi dipeluk," sambungnya polos.
"Dasar..." Akira swt, bisa-bisanya bicara panjang di saat setengah sadar begini. "Oyasumi, Aya-chan..." pamitnya mengelus rambut panjang Aya sebentar.
"Oyasumi, Akira baka..."

Comments

POPULAR POSTS

About Me!

Space Journey~