Aya & Akira (Ori Fic)
Suatu
sore, sepulang dari upacara kelulusan sekolah Sou dan Aya, SMP Hayagaoka,
mereka berdua mengobrol sebentar sebelum masuk ke dalam rumah masing-masing.
Sou dan Aya merupakan dua sejoli yang bertetangga sejak kecil. Keduanya sudah
hidup berdekatan selama kurang lebih 10 tahun.
Sou
bersandar di pagar besi rumahnya sambil melipat tangan di dada. Sedangkan Aya
berdiri dengan posisi normal sejauh 2 meter di depan Sou.
"Kau
mau SMA di luar negeri?" tanya Aya, basa-basi. Ia ingat Sou pernah
mengatakan itu padanya beberapa hari lalu.
"Iya!"
jawab Sou cepat.
"E-eh?"
Aya kaget.
Sou
memiringkan kepalanya. "Um, kenapa?"
"A-ah,
tidak." Aya menggeleng cepat, menyembunyikan rasa sedihnya. "Kenapa
tidak kuliah saja?" tanyanya dengan kode yang bermakna membujuk. 'Sebenarnya, kuliah pun aku nggak rela.'
Ia tidak berani menatap Sou.
"Haha,"
Sou tertawa licik, selicik serigala hutan yang ingin menipu mangsanya.
"Kau takut rindu padaku, yaa?" Cowok setinggi 160 cm itu mendekati
wajah Aya dengan pandangan menakutkan.
"Baka,"
Aya memasang ekspresi kesal. "Siapa juga yang mau merindukanmu?" Ia
mendengus, menjauhkan tubuhnya (dan wajahnya) dari Sou.
Sou
kembali ke posisi semula, lalu tertawa. "Hahaha! Nggak, kok. Aku SMA di
sini." Mata Sou menatap ke langit biru yang diisi sedikit awan tipis.
"Kuliah... Ya, mungkin di luar negeri." jawabnya sambil tersenyum
pahit. Sebenarnya tidak tega juga untuk mengatakan hal itu.
"H-hontou?!"
Aya seperti menerima secercah harapan. Hatinya yang dingin menjadi hangat lagi.
Matanya ikut berbinar-binar.
"Eh,
sampai berbinar begitu," Sou terbelalak. "Dugaanku sepertinya benar,
nih." godanya, bercanda.
"S-siapa
bilang?" tepis Aya gengsi, tak mau ketahuan panik oleh Sou. "Aku
hanya ingin menyiksamu lebih lama, kok. Itu saja. Tidak ada yang lain."
jelasnya mencari alasan.
Sou
mendengus, “Bohong banget."
"BAKAAA!"
pekik Aya kesal, rasanya ingin menjitak Sou saat ini juga. 'Maksudnya, "Baka, tolong ucapkan lagi sampai aku benar-benar
percaya!"...' batinnya di tengah rasa gengsi.
***
Esok
malamnya yang merupakan hari santai bagi banyak pelajar—karena merupakan masa
liburan—, Aya menonton televisi di ruang keluarga. Mungkin sedang menonton
acara komedi. Karena malam ini adalah hari Sabtu, tak ada satupun acara yang
membuat Aya merasa seru.
"Eh,
itu si Sou sama keluarganya mau ke mana, sampai bawa barang banyak?" tanya
Aya yang melihat dari jendela kaca; Sou dan ayahnya sedang bahu-membahu
memasukkan barang ke dalam bagasi sebuah taksi di depan rumah mereka.
Akira,
kakak laki-laki Aya, mendengar suara Aya dari pintu utama. Ia juga melihat Sou
dan ayahnya dari luar. "Mungkin pergi liburan." jawab Akira
menunjukkan senyum liciknya, masih berdiri di area pintu utama.
"Oh,"
balas Aya singkat, kemudian memfokuskan diri kembali pada televisi. "Ya,
sudah."
"Tunggu,
Aya-chan!" Akira berlari mendekat menuju sofa yang diduduki oleh Aya.
"Sebenarnya..." Ia menggantung kalimatnya.
"Hm?"
"Aku
menyukaimu!" seru Akira dengan air muka penuh kemenangan.
"Hahaha!" Ia tertawa dengan polosnya.
"Baka,"
rutuk Aya dengan nada datar namun sangat menusuk hati. "Waktu tiga detikku
terbuang sia-sia, tahu." sesalnya karena telah menanyakan kelanjutan dari
kalimat menggantung Akira tadi.
"Itu
yang kau ingin dengar dari si Ogawa itu, 'kan?"
Aya
tersentak. "Bicara apa, sih?" ujarnya, berusaha tenang dan tidak
menunjukkan ekspresi apapun.
"Sebenarnya..."
Akira menghela nafas. "Ogawa akan ke luar negeri—aku tidak tahu, sih,
tepatnya di mana," Ia memasang raut wajah kecewa. "Katanya, dia akan
SMA di sana."
"Apa?!"
Kali ini, Aya kaget sungguhan. Ia menekan tombol power pada remote untuk
menutup televisi. Ia juga sontak berdiri karena terlalu kaget.
"Eh?
Kok kaget?" Akira bingung. "Kau nggak diberitahu, ya?"
Alis
Aya berkerut, "Bohong, 'kan?" Ia menatap mata Akira lekat-lekat.
"... Sou liburan, 'kan? Dia bilang dia SMA di sini. Kuliah barulah di luar
negeri..." sahutnya dengan kepalan tangan yang sangat keras, dan tentu
saja masih dengan rasa syok.
Akira
mengalihkan pandangannya dari pandangan lekat milik Aya. "Begitu, ya,"
ucapnya ikut merasa kecewa. "Tapi, Ogawa memang bukan libu—"
"Bohong!"
Aya memotong perkataan Akira. Ia terlalu kaget dengan berita ini sehingga cewek
dengan rambut panjang sepinggang itu kabur ke kamarnya.
"T-tunggu!
Aya-chan!" cegah Akira melihat Aya yang berlari. Ia ingin memastikan bahwa
Sou masih mengangkat barang-barang mereka.
Tapi,
kenyataan tak seperti yang diinginkan. Sou sudah pergi, taksi yang mereka
tumpangi sudah pergi jauh. Terlihat dari dua lampu sen belakang mobil sedan itu
sudah seukuran kelereng.
Akira
yang melihat itu dari jendela kaca ruang tamu, berlari cepat menuju pintu.
"Yah, taksinya sudah jauh... Cepat sekali." keluhnya bersedih. Mau
tak mau, ia menutup pintu utama dan berniat menghibur Aya.
Di
dalam kamarnya, Aya memotret taksi Sou—karena pada saat ia masuk ke kamar,
taksi tersebut masih baru saja berangkat. Beruntung, jendela kamar Aya langsung
menghadap ke halaman depan rumah mereka dan mendapat banyak celah juga ke
halaman depan rumah keluarga Sou. Aya lalu mengirim email pada Sou—disertai foto itu.
Terima
kasih. Maaf.
Di
dalam taksi, Sou merasakan HPnya bergetar. Email
dari Aya, tentu saja. Dengan galau, apalagi ditambah dengan potret taksinya,
Sou membalas email Aya tersebut.
Ah,
tidak. Maaf. Aku suka Aya. Terima kasih atas waktunya.
Setelah
menekan tombol kirim dan memastikan bahwa balasannya telah diterima, Sou
menutup HPnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya dengan tidak rela. Ia
berharap sekali Aya tidak bersedih akan kepergiannya itu, sekalipun keduanya
memiliki rasa saling suka. Bagaimana tidak, sudah dekat dan bersama-sama selama
10 tahun?
Aya
berbaring di atas kasurnya sambil menatap langit-langit kamar, meratapi
kepergian Sou yang mendadak tersebut. HPnya yang ada di meja belajar tiba-tiba
bergetar saat ia sedang merenung. Aya bangkit sebentar untuk melihat layar
HPnya; Ada balasan email dari Sou.
Aya
menghela nafas berat, berusaha tak menyentuh alat komunikasi mungil itu.
Alhasil, ia membiarkan HP itu tetap di posisinya, lalu membaringkan diri
kembali.
Pikiran
Aya melayang pada kepergian taksi Sou beberapa menit lalu. "Dasar, Sou
jahat. Kenapa tiba-tiba, sih? Kalau bilang dulu, aku nggak perlu sesedih ini.
Huaaah." gumamnya tak tentu; Kesal atau sedih? 'Aku ingin menangis. Tapi tidak bisa—Ah, kenapa ini?' Aya bergumul
sendiri di dalam hatinya. 'Padahal, aku
suka Sou...'
Tok!
Tok!
"Siapa?"
sahut Aya dari dalam.
Suara
itu menjawab, "Kakakmu yang paling cakep."
"Oh,
aku sedang sibuk," jawab Aya lagi dengan nada datar, dan menolak.
"Lain kali saja, ya."
"Ayolah!"
paksa orang itu—yang ternyata adalah Akira. "Aku tarik kata-kataku
kembali!" rayunya bersikeras.
Aya
menyerah. Ia bangkit dan turun dari kasur. "Sejak kapan cowok bisa menarik
kata-katanya kembali?" sindirnya kesal sembari berjalan menuju pintu.
Pintu
terbuka, dan tampaklah seorang Akira yang berujar, "Itu bukan merupakan
sebuah janji. Jadi, aku boleh menariknya kembali." Yang kemudian disambut
oleh Aya yang menjewer telinga kirinya.
"—Aww!" Akira mengelus telinganya.
"Sakit, tahu!" protesnya kemudian masuk dan menutup pintu.
"Aku
tidak peduli," ucap Aya kemudian berbaring kembali di kasurnya.
Akira
mengikuti Aya lalu duduk di sisi tempat tidur. "Kau tidak tahu, ya?"
selidiknya.
Aya
sewot melihat perilaku kakaknya yang semena-mena. "Heh, apa-apaan seenaknya
singgah di kamar cewek." pekiknya sambil mendorong punggung Akira.
"Aku kakakmu,
lho!" sergah Akira, refleks menahan tangan Aya. "Seharusnya tidak
apa-apa!"
Aya
menyerah lagi. Ia memposisikan tubuh untuk duduk normal. "Mau apa,
sih?"
"Kau
tidak diberitahu oleh si Ogawa itu?" sela Akira yang kemudian tak sengaja
melirik HP Aya yang tergeletak di meja belajarnya.
Aya
menjawab murung, "Tidak."
Akira
meraih HP Aya dan melihat layar utamanya. "Heh, ini ada email dari Ogawa. Kau nggak mau
membukanya?" Ia menekan tombol untuk membuka email masuk tersebut.
"Jangan
sembarangan membuka HP orang lain, sekalipun milik adikmu." ucap Aya
dengan nada super datar dan tatapan super dingin.
"Wah,
seramnya..." Akira bergidik melihat tatapan Aya itu. Kemudian, ia
mengalihkan pembicaraan. "Jalan, yuk." ajaknya sambil diam-diam
menyembunyikan HP Aya di saku celananya.
"Malas."
tolak Aya halus, namun penuh tekanan.
Akira
bersiap melancarkan rayuannya. "Seharusnya Ogawa yang mengajakmu nge-date hari ini sebagai pertemuan
terakhir, 'kan?" Ia beranjak dan menghadap ke arah jendela. "Sebagai
gantinya, nge-date denganku
saja!" usulnya dengan senyum penuh percaya diri dan memamerkan barisan
giginya.
Aya
turun dari tempat tidur, menghadap ke Akira, lalu berjinjit. "Kau bukan
Sou, tahu!" serunya sambil melancarkan jitakan pada kepala Akira.
"Aww,
sopan sedikit sama kakakmu, ya!" pekik Akira sekali lagi. "Nanti aku
tidak jadi cakep lagi..." keluhnya lemah plus cemberut dan mengelus bagian
depan kepalanya.
"Sok
imut..." cibir Aya tak peduli. "Mau secakep apapun, Maki-neechan
nggak akan pernah suka padamu." serang Aya kembali bagaikan ribuan jarum
tajam yang menusuk hati Akira.
"Aya-chan..."
Akira ambruk dengan posisi sujud. "Jahat sekali..." Ia berperilaku
agak berlebihan karena tak sanggup menerima perkataan kejam Aya barusan.
Aya
swt melihat adegan itu. "Sudah,
sudah. Aku mengalah, deh." Ia mengelus kepala Akira dengan tak sepenuh
hati. "Keluar dulu sana. Aku ganti pakaian dulu." sambungnya berjalan
ke arah lemari pakaian.
Akira
bangkit dengan semangat. "Kita jadi nge-date?!" Matanya bersinar-sinar seperti orang yang kelaparan
dan hendak diberi makan saat itu juga.
Aya
mengangguk, dan disambut pelukan tak berperasaan Akira. "Terima
kasiiih!"
"Aku
nggak bisa bernafas, Akira payah," ungkap Aya. "Lepaskan."
Akira
melepaskan pelukannya. "Sip. Aku ganti pakaian juga. Daaah." Ia
berjalan keluar dari kamar Aya dan turut berganti pakaian.
***
Set.
"Akira...
Kakkoii..." puji Aya kagum melihat kakak 'payah'-nya memakai setelan jas
putih dengan pola garis hitam di kerahnya, dasi hitam polos, dan sepatu
kantoran hitam polos.
"Apa?"
Akira tak mendengar kata-kata Aya barusan karena diucapkan pelan.
"M-maksudku,
kau berlebihan. Aku hanya adikmu, lho." Aya meralat kalimatnya, dan
kembali swt. '... Dan kita bukan akan ke pesta dansa atau makan di restoran, baka.'
keluhnya sambil menggeleng-geleng.
"Ah,
iya!" Akira tersadar. "Kenapa aku jadi terlalu bersemangat
begini?" tanyanya memandang dirinya sendiri dari atas sampai bawah dengan
polosnya. "Tapi, baru kali ini kau berbinar kagum melihatku selama
hidupku." ucapnya iseng, lalu berbalik untuk mengganti pakaian lagi.
Gubrak!
'Kenapa aku harus punya kakak senarsis
diaaa?!' Seandainya bisa, Aya sudah menangis darah saat ini. Ia duduk di
sofa ruang keluarga untuk menunggu Akira.
***
"Ta-daaa!"
Akira muncul dengan posisi merentangkan tangan, seakan ingin mengatakan 'ini
diaaa!'. "Masih cakep, 'kan, sekalipun cuma pakai kaus biasa?" Ia
mengedipkan sebelah mata.
Aya
menoleh ke belakang, lalu beranjak. "Jaket kulitmu boleh juga. Baru
pertama kali kulihat kau memakainya." puji Aya diikuti senyuman tulus. 'Sial, tubuhnya nampak tegap sekali kalau
pakai ukuran yang nge-pas...' Aya tak sengaja melihat postur tubuh kakaknya
itu sambil bergidik kagum.
Akira
mengambil sepatunya di rak, lalu duduk di kursi di samping pintu utama.
"Wahaha, akhirnya aku dapat pujian tulus juga." tawanya sambil
memakai sepatu.
Aya
berjalan mendekati Akira. "Aku berbohong, kok."
"Iya.
Kau bohong mengatakan kalau kau bohong," Akira sudah selesai memakai
sepatu. Ia mengeluarkan kunci sepeda motor dari saku jaketnya. "Senyummu
tak bisa menipuku. Haha." sambungnya sambil (sok) tertawa datar.
Aya
kaget plus blushing sejenak.
"Sialan kau, sok tahu." gumamnya tak terima. 'Tapi, Akira benar, kok. Ehehe. Baru kali ini aku lihat kau sungguhan
cakep layaknya omongan sampahmu,' pujinya sekali lagi, namun di dalam hati.
'Selamat, ya. Aku kagum sungguhan.'
Aya kembali tersenyum tipis. Entah kenapa dia baru bisa sekagum ini pada Akira
yang selalu dianggapnya terlalu narsis dan 'payah'.
Aya
menutup dan mengunci pintu utama. Ia memasukkan kunci itu ke dalam saku celana
jinsnya. Mereka berdua lalu berangkat dengan sepeda motor ayah mereka—yang
sudah menjadi milik Akira sekarang.
Bruuum...
Setelah
tiga menit di perjalanan, Aya membuka obrolan. "Kita mau ke mana?"
"Tunggu
saja," sahut Akira enteng. "Tak perlu cepat-cepat tahu."
Aya
menepuk helm Akira dari belakang. Agak kuat, sehingga terdengar bunyi 'puk!'.
Untungnya setiap helm dilapisi busa di bagian dalamnya, ya.
"Sakit,
tahu!" seru Akira, tak tahu apakah kesal atau pura-pura kesal. Karena ini
kali ketiganya ia diserang oleh Aya. "Tenang aja, sebentar lagi sampai,
kok!"
***
Lima
belas menit berlalu, Akira memperlambat laju sepeda motornya, kemudian
berhenti. Di depan sebuah kios makanan tradisional, terlihat ramai sekali orang
berkunjung. Akira meletakkan sepeda motornya di situ. Ia menjamin benda itu
akan aman, karena pemilik kios sudah mengenalnya dengan baik.
Akira
mengajak Aya ke belakang kios tersebut. Ada beberapa anak tangga yang harus
ditanjak untuk sampai ke puncaknya. Ya, seperti bukit. Hanya 30 meter. Namun,
dari dasar kelihatan sangat jauh karena kecuramannya agak tajam. Berdua lalu
beriringan menapaki anak tangga itu satu per satu.
Sesampainya
di atas, pemandangan yang terlihat adalah seperti taman. Wah, taman di atas
bukit. Bagus, yaa. Di sekeliling taman bukit itu dibuat pagar pembatas dari
baja untuk mencegah jatuhnya pengunjung dari atas. Entah kebetulan atau apa,
sekalipun ini malam akhir pekan, tak ada seorang pun di situ. Memang, luasnya
hanya sekitar 200 meter persegi. Tapi, setidaknya ada sepasang kekasih atau
seseorang yang datang.
Namun,
kekosongan itu tak membuat tempat indah itu menjadi suram. Lampu taman
warna-warni di setiap sudut masih menyala dengan terang-benderang. Lampu-lampu
mungil yang melilit sebuah pohon kecil juga turut menyala kerlap-kerlip.
Terang. Kosong, namun terang dan indah.
Akira
duduk di sebuah bangku kayu yang berjarak tujuh langkah dari salah satu sisi
pagar pembatas. "Ini namanya Bukit Bintang. Orang-orang yang menyebutnya
begitu. Mungkin karena dari puncaknya—yaitu di tempat kita saat ini—kita bisa
melihat bintang-bintang dengan jelas seperti di planetarium," jelas Akira
sambil bersandar. "Haha, entahlah."
Aya
mendengar penjelasan itu. "Ah, benar juga," dukungnya, lalu mendekati
pagar pembatas. Rambut panjangnya meliuk-liuk diterbangkan angin malam.
"Dari sini juga bisa lihat keadaan di jalan raya." Ia menopang kedua
lengannya pada permukaan pagar pembatas, lalu menatap jalan raya dengan
perasaan tenang.
Saat
ini hampir pukul sebelas malam. Jalan raya tidak terlalu padat, namun diisi
oleh lalu-lalang kendaraan dengan kecepatan hampir sama. Jadi, terlihat teratur
jika dilihat dari posisi Aya saat ini.
Syuuut!
DOR! DOR! DOR!
"Eh?"
Aya mendongak melihat kembang api yang baru saja diluncurkan itu. "Ada
festival kembang api?"
Akira
juga ikut beranjak dari duduknya. "... Iya—maksudnya aku tidak tahu ini
sebelumnya." katanya jujur.
"Kawaii."
ungkap Aya spontan karena kagum, sepertinya tak terlalu menghiraukan jawaban
Akira tadi.
Akira
mendelik. "Yosh, aku bisa kasih kejutan ke Aya-chan!" timpalnya
bangga sambil mengepalkan kedua tangannya.
Aya
kembali menatap jalan raya. "Nggak usah GR, deh." pesannya pada Akira
agar berhenti narsis.
"Hahaha,"
Akira tertawa ringan, kemudian mendekati Aya dan berdiri di samping kirinya.
"Coba tutup mata sebentar." pintanya, seraya bersiap mengambil HP
Aya.
Aya
menoleh kesal ke arah Akira. "Jangan macam-macam, deh," ancamnya.
"Aku bukan pacarmu."
"Bukan,
bukan," Akira melambaikan tangannya. "Lakukan saja." Setelah Aya
memejamkan matanya, Akira membuka email
dari Sou di HP Aya dan mengarahkannya sejajar dengan posisi mata adiknya itu.
"Sudah." Akira memberi kode.
Aya
membuka mata dan matanya refleks membaca email
itu dengan cepat. Aya syok lagi. Mungkin senang? Atau malah bertambah galau?
Kemudian Aya menangis. Dengan cepat ia berbalik badan dari hadapan Akira.
"Astaga,"
Akira memutar bola matanya dan memasukkan HP Aya kembali ke tempat semula.
"Gengsi banget, sih. Kalau nangis tidak usah disembunyikan begitu."
sindirnya.
"Aku
tidak menangis, kok." sergah Aya sambil menunduk dan menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangan.
Syuuut!
DOR! DOR!
"Aya-chan!"
seru Akira mendadak. "Kembang apinya barusan keren, lho. Kayak aku. Kau
nggak mau lihat?" Akira terus membujuk Aya dengan kalimat narsisnya.
Sebenarnya ia tidak tega melihat 'Aya-chan'-nya menangis begitu, makanya ia
lakukan dengan sengaja, dengan harapan mampu membuat Aya gagal menangis.
Aya
malah semakin sedih. Tangisannya memang tak bersuara, namun air matanya tetap
mengalir deras. Ia juga sesenggukan. Merasa tidak nyaman, Aya terduduk dan
bersandar pada pagar pembatas.
Akira
cepat-cepat jongkok di hadapan Aya, tapi Aya malah menenggelamkan kepalanya
dengan tumpuan lututnya yang ditekuk ke atas.
"Jangan
lihat! Malu, tahu!" cegah Aya dengan gerakan tangan melarang, tapi malah
tak sengaja menepuk wajah Akira. Ia merasakan itu, "Maaf..." katanya
pelan tanpa mengangkat wajah.
Akira
tertawa.
"Itu
nggak lucu," Aya memprotes.
"Ogawa
jahat, ya," sela Akira sembari memandangi Aya, menunggunya untuk
mengangkat wajah.
"Huwaaa,"
teriak Aya mengangkat wajahnya. Akira berhasil! "Jangan diingatkan
lagiii!" Tangisan Aya akhirnya meledak. Ia kembali menutup wajahnya dengan
telapak tangan.
"Hahaha.
Masih 14 tahun sudah tahu cinta," Akira menggeleng-geleng seakan
mengatakan 'astaga'. "Aya-chan masih bocah, belum tahu apa-apa!"
tekannya.
Aya
mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Kau lebih jahat daripada
Sou... Hiks..." isaknya tak terima.
Akira
tersenyum penuh kemenangan. "Menangis saja sepuasnya. Mumpung tidak ada
orang," katanya. "Kurasa mereka sudah tahu kembang api ini dan lebih
memilih nonton di atap rumah."
Akira
mengambil lagi HP Aya dan sengaja membaca ulang email dari Sou itu. "Kalau aku jadi si Ogawa, sih, akan bilang
langsung!" Setelah berkata begitu, ia mengembalikan HP itu.
"Huweee!"
Aya memeluk Akira dan menangis di bahu kirinya. Lutut Akira terbentur ke tanah
dan badannya menjadi agak condong ke depan karena sedikit tertarik oleh Aya.
"Akira bakaaa... Jangan seperti Sou, yaaa! Huweee!" pinta Aya dari
hati yang paling dalam.
Akira
tersenyum hangat. "Tenang saja. Aku tidak sebodoh itu, kok." katanya
sembari mengelus-elus rambut panjang Aya, dari atas kepala sampai di daerah
punggung yang setara dengan pinggangnya.
"Sou
tidak bodoh," Aya membantah sambil terisak. "Kau yang bodoh."
Akira
mendecak. "Masih ngeyel." Ia melepaskan pelukannya, kemudian memegang
lengan atas Aya. Dilihatnya mata Aya merah dan pipinya banjir air mata.
"Aya-chan imut kalau lagi nangis..." Akira tersenyum bak malaikat
sambil menghapus air mata di kedua pipi Aya.
Aya
memanyunkan bibirnya. "Maki-neechan lebih imut," ucapnya tak sengaja.
Akira
blushing. "Aya-chan dan Maki
berbeda." sergahnya tersenyum salah tingkah sambil terus mengusap pipi
Aya.
"Akira
blushing...?" Aya
melihat itu, tentunya. "Baru pertama kali..."
Tampaknya,
pipi Aya sudah kering dari air mata seperti semula. "Salah lihat
pasti." sambar Akira masih salah tingkah, kali ini sambil merapikan rambut
Aya hingga ke poninya.
Aya
mencibir. "Di pelukan Akira nyaman, ya. Badannya tegap, sih. Hehe."
Selesai dirapikan rambutnya, Aya berdiri dan kembali menatap jalan raya,
walaupun matanya agak sembap.
Akira
berdiri di samping Aya, merangkul tangan kanannya di pundak Aya. "Sudah
kubilang, 'kan, kalau aku memang keren."
"Mulai
lagi."
Keduanya
tertawa.
***
Dua
puluh menit berlalu. Dua puluh kembang api juga sudah diluncurkan. Aya
menyerah.
"Aku
sudah ngantuk," Aya menguap. "Pulang, yuk."
Akira
mengangguk. Aya berjalan duluan. Namun...
Hyuung...
Akira
menahan Aya yang hampir terjatuh karena mengantuk. "Mau digendong di depan
atau belakang?" tawarnya.
"Belakang
saja, deh," jawab Aya setengah sadar. Ia berusaha membuka matanya, namun
gagal. "Aku pakai celana soalnya."
Akira
merendahkan tubuhnya, kemudian Aya naik ke punggungnya. Mereka—lebih tepatnya
Akira saja—menuruni anak tangga dan berjalan (dengan total) sejauh 30 meter
untuk mendapatkan sepeda motor Akira. Kios tempatnya meletakkan sepeda motor itu
masih ramai saat ini. Memang buka 24 jam, sih. Karyawannya juga punya jadwal
giliran masing-masing.
Sebelum
naik, Akira melambaikan tangan sebentar pada karyawan yang menjaga saat ini,
sebagai tanda terima kasih telah menjaga. Dari balik kaca pembatas itu, sang
karyawan membalas dengan tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya.
Akira
menyalakan mesin. "Aya-chan, pegangan, ya," pesannya.
"Jangan sampai jatuh."
Aya
ingin menurutinya, tapi ia sudah tak sanggup lagi. "Mataku sudah hampir
tertutup..." ucapnya.
Akira
mulai menjalankan sepeda motornya. "Iya. Aku akan bawa pelan-pelan,"
katanya. "Kalau mau tidur, peluk saja lagi! Ahahaha!" Ia bermaksud
bercanda untuk mencairkan suasana.
"Hontou?"
Aya memastikan.
"Eh?
Tumben..." Akira kaget. "I-iya. Boleh." jawabnya terbata. 'Eh? Kok "boleh"? Haha.' Ia
salah tingkah sendiri.
Lalu,
terjadilah seperti apa yang diinginkan Akira dan (mungkin) Aya sendiri.
***
"Aya-chan,
ayo bangun," panggil Akira. "Kita sudah sampai." Pelan-pelan, ia
melepaskan tangan Aya dari pinggangnya, lalu turun sambil tetap memegang Aya.
"Gendong
aku, dong," pinta Aya lagi dengan kesadaran yang setengah-setengah.
"Tapi di depan."
Akira
mencibir. "Kau mulai manja kayaknya." Peduli tak peduli, ia
mengangkat tubuh Aya dengan kedua tangannya.
"Hari
ini saja, aku boleh seperti itu, 'kan?" Aya berbisik dengan mata yang
sayu. "Janji, ini yang terakhir."
"Astagaaa.
Aku bercanda," sahut Akira cepat. "Kapan saja kau boleh manja, kok.
Hahaha." tawanya sambil mengantar Aya ke kamarnya.
"Laki-laki
tidak boleh menarik kata-katanya," kata Aya sesampainya mereka di kamar.
"Memangnya
kau laki-laki?" tanya Akira sebelum membaringkan Aya di kasurnya.
"Ingin,
sih," Aya menjawab sambil memeluk guling. "Seru. Karena bisa kuat
mengangkat cewek yang disayanginya turun melewati banyak anak tangga,
mengangkat ke kamar, apalagi dipeluk," sambungnya polos.
"Dasar..."
Akira swt, bisa-bisanya bicara
panjang di saat setengah sadar begini. "Oyasumi, Aya-chan..."
pamitnya mengelus rambut panjang Aya sebentar.
"Oyasumi,
Akira baka..."
Comments
Post a Comment