Payung (Ori Fic)
![]() |
Sumber gambar: pixabay.com/Pexels |
Langit mulai gelap. Awan berkumpul menciptakan mendung. Tinggal beberapa menit lagi—menurut perkiraan logika—, hujan akan turun. Suara gemuruh pelan mulai bersahut-sahutan.
"Kak,
aku pulang, ya!" Kepala Riku menyembul dari pintu kelas Runa.
Runa
yang awalnya mengamati coretan di papan tulis, menoleh ke arah pintu. Kelasnya
sedang kosong. Teman-teman yang lain sedang ke kantin untuk makan siang.
"Eh?"
"Nggak
apa-apa." Riku menenangkan. "Kakak mau ekskul melukis lagi,
'kan?"
Runa
keluar kelas agar leluasa berbicara dengan adik bungsunya itu.
"Iya,"
jawab Runa sembari menutup pintu kelas. "Ayolah, kuantar sampai simpang.
Kutunggu sampai angkotnya datang." Runa menggandeng tangan Riku.
Riku
mengikut, tapi memprotes, "Aku, 'kan, sudah kelas tujuh, Kak. Nggak perlu
diantar."
"Aku
tahu. Tapi kita jarang begini," elak Runa. "Sekali-kali aku antar
kamu, 'kan, nggak masalah."
Bola
mata Riku berputar. "Okelah."
Butuh
tiga menit untuk menyusuri halaman sekolah agar mereka sampai di tempat
perhentian angkot. Di depan sebuah warung kecil, kakak beradik Runa dan Riku
menunggu. Baru semenit menunggu, gerimis membasahi bumi.
"Ah,
gerimis," ucap Runa spontan sambil menatap langit.
Mereka
bergeser ke dalam warung sedikit karena ada tenda yang melindungi mereka dari
hujan. Saat itu juga, hujan semakin deras
Runa
memikirkan sesuatu. "Riku, tunggu di sini, ya! Jangan naik dulu sebelum
aku datang, sekalipun angkotnya sudah datang!"
"Kakak
mau ke mana?" tanya Riku tak mengerti.
"Aku
mau ambil payung ke kelasku!" balas Runa.
"Bukannya
tiga menit lagi kakak masuk?" Dahi Riku berkerut. "Sedangkan
angkotnya itu langka..."
Runa
menarik nafas. "Tak apa. Daripada kamu sakit, mending aku yang terlambat.
Mengerti?"
Riku
mengangguk dan menatap kakaknya polos.
"Oke,
tunggu di sini!" Runa menunjuk ke lantai, lalu berlari masuk ke lokasi
sekolah.
Untuk
menghindari hujan, ia lewat dari koridor. Tetapi, sebelum memasuki koridor,
Runa tetap harus melewati lapangan dulu. Alhasil, ia menjadi sedikit basah.
Drap!
Runa
membuka pintu kelas. Ia melihat beberapa teman ekskul melukisnya sudah duduk di
posisi masing-masing. Tanpa memedulikan mereka, Runa langsung menyambar tasnya
dan mengambil payung.
"Mau
ke mana, Runa? Sebentar lagi masuk!" seru salah seorang temannya.
Runa
menjawab terburu-buru sambil berlari, "Mau mengantarkan payung ini untuk
Riku! Daah!"
Temannya
itu hanya menggeleng.
Runa
kembali berlari melewati koridor, lalu ke lapangan. Tapi, tetap tak membuka
payungnya. Karena tergesa, ia tak peduli kebasahan atau tidak.
Di
warung kecil, Riku masih menunggu di sana. Ada beberapa orang juga yang
menumpang menunggu, terjebak hujan juga.
"Kak,
tadi angkotnya sudah lewat," lapor Riku. "Mau menunggu berapa lama
lagi? Sedangkan kakak sudah hampir masuk."
"Nggak
apa, lho, Rikuuu!" Runa mengacak rambut adiknya. "Aku, 'kan, bisa
minta maaf nanti."
"Baiklah
kalau begitu." Riku pasrah. "Oh, iya. Kalau masih hujan, kakak pulang
pakai apa?" tanyanya teringat.
"Topi
sekolah! Aku bawa topi sekolah, tenang saja!"
"Haaah?
Air hujannya nggak tembus?"
"Nggak—maksudku,
nggak apa-apa jika tembus atau tidak tembus."
"Dasar..."
Sepuluh
menit berlalu. Runa memasukkan payung itu ke dalam tas Riku. Riku harus memakai
payung karena jarak dari perhentian angkot menuju rumah mereka masih 15 meter
lagi. Runa hanya takut Riku sakit jika kehujanan. Runa juga tak bisa
memperkirakan apakah hujannya akan berhenti atau tidak. Karenanya, ia hanya
bisa mengantisipasi.
Tak
lama, kendaraan yang ditunggu datang. Runa menjulurkan tangannya untuk
memberhentikan kendaraan umum itu.
Riku
berjalan cepat untuk masuk ke angkot. Dari dalam kaca jendela bening angkot
yang basah, Riku melambai. Runa membalas dengan senyuman yang seakan
mengatakan, 'Ya, hati-hati!'.
Sesudah
angkot menghilang dari pandangan, Runa masuk kembali ke lokasi sekolah dengan
perasaan lega. Lega sekali, karena benda sepele menyelamatkan kesehatan
adiknya.
Tok
tok tok
Runa
membuka pintu kelas perlahan. Dilihatnya Miss Ana, pembimbing ekskul melukis
mereka, bersiap membuka materi.
"Ya,
silahkan masuk, Runa." Miss Ana mempersilahkan.
Runa
masuk dan mendatangi Miss Ana di meja guru.
"Maaf,
Miss. Saya terlambat," katanya.
Rambut
dan bagian bahunya yang basah mengundang Miss Ana bertanya,
"Kamu habis mandi hujan, Runa?"
Runa
cepat meraba rambut dan bahunya. "B-bukan, Miss. Tadi saya mengantar
payung untuk Riku di warung kecil itu."
"Riku?"
Miss Ana tampak bingung.
"Riku
itu adiknya, Miss!" sambar Sasa, teman Runa yang saat itu duduk di posisi
paling depan.
"Ooh..."
Miss Ana mengangguk mengerti.
Sasa
menyambung, "Runa baik sekali, 'kan, Miss? Sampai rela kehujanan demi
adiknya."
Miss
Ana menjentikkan jari. "Betul! Kamu nggak perlu minta maaf, Runa. Menolong
bukanlah suatu kesalahan."
Runa
terbelalak. "Serius, Miss?"
"Ya,"
tegas Miss Ana. "Lagipula, saya juga baru masuk, kok." lanjutnya.
"Terima
kasih, Miss!" ucap Runa bahagia. Ia berlari ke tempat duduknya dengan
senang.
Comments
Post a Comment