Bayangan dan Raga (Mr.KING Fanfiction)
SUMMARY Bagaimana,
sih, rasanya menjadi Ren? Sebelum itu, bagaimana rasanya menjadi bayangan yang
bisa mendahului raga? Sedih? Senang? Bangga? Kecewa? Kaito merasakan itu
semua./"Mana teman-temanmu? Biasanya bareng, 'kan?"/Ren yang dulu terus
ia kejar… Kini, semacam ada di belakangnya./"Kau, ‘kan, temanku
juga."/
CAST: Kaito
Takahashi, Ren Nagase. Figuran: Sho
Hirano.
Rated: K+
Genre: Drama/Friendship
Disclaimer RKS
belongs to King&Prince and Johnny-san!
. . .
Bayangan dan Raga
Bagaimana,
sih, rasanya menjadi Ren?
Sebelum
itu, bagaimana rasanya menjadi bayangan yang bisa mendahului raga? Awalnya,
hanya mengikuti, tanpa mampu menyamakan diri. Kemudian menjadi hidup, ada,
nyata, dan melampaui ‘sesuatu’ yang dulunya bahkan tak bisa disentuh. Sedih?
Senang? Bangga? Kecewa?
Kaito
merasakan itu semua. Bercampur aduk menjadi satu. Ren yang dulu ia kira akan
terus berada di depannya, yang dulu terus ia kejar, yang dulu terus ia inginkan
setidaknya berada di posisi yang sama… Kini, semacam ada di belakangnya.
.
. .
Bagi
Kaito, Ren adalah raga yang menjadi tujuannya. Ia harus berubah dari bayangan
menjadi sesuatu yang nyata untuk setidaknya bisa sama dengan Ren. Motivasinya
adalah Ren. Segala bentuk ambisinya di kelas semata-mata untuk menggapai si
Nagase itu.
Di
kelas, Kaito merupakan siswa yang termasuk rajin. Di mata teman-temannya, ia
adalah laki-laki paling rajin yang pernah mereka temui. Ia aktif bertanya
mengenai tugas yang kurang dipahaminya. Juga selalu gerak cepat untuk segera menyelesaikannya.
Memang tidak selalu siap dalam sehari, tapi ia tekun dan sabar melanjutkan di
hari-hari berikutnya. Demi menghindari teman perempuan yang cerewet dan pelit,
anak laki-laki pun tak jarang dan tak segan bertanya padanya.
Kaito
adalah salah satu ‘pusat’ di kelas—sasaran berguru teman laki-laki dan
perempuan. Ia tak segan membantu di saat miliknya sendiri masih setengah jalan
atau bahkan baru mulai. Sering menerima maaf dari teman yang merasa
merepotkannya, tapi ia balas dengan senyum cerahnya. Seringkali ia kewalahan
sendiri meladeni mereka, apalagi kalau tiba-tiba lupa dengan apa yang akan
dikerjakan sebelumnya.
Di
saat kewalahan seperti itu, Ren muncul dalam benak Kaito. Sembari berpikir,
matanya tertuju pada Ren yang duduk tepat di depannya—atau jika ia sedang
pindah, sejenak Kaito menoleh untuk memandangnya. ‘Kenapa tidak bertanya pada Ren saja?’ Memang, salah satu master Matematika di kelas adalah
Ren—satunya lagi, Sho. Jadi, kenapa harus berebut pada dirinya, saat ada yang
lebih mahir?
Terkadang,
sikap manusia serumit itu. Hanya karena si anu lebih baik, dipilih. Hanya
karena si anu pelit kalimat dalam menjelaskan, berpaling. Ah, itu satu hal yang
ditangkap oleh Kaito. Ren memang paling susah mengatur kalimat saat menjelaskan
penyelesaian suatu soal. Belum lagi jika soal itu mudah baginya, ia hanya
menuliskan cara cepat tanpa penjelasan rinci.
“Yang
ini nanti langsung dimasukkan ke sini saja, terus dibuat seperti ini. Dapat,
deh, jawabannya.”
Kaito
ingat sekali saat ia diajarkan mengenai trigonometri oleh Ren langsung. Rasanya
senang. Apalagi, ia cepat menangkap penjelasan darinya. Hal itu bisa membuat
Kaito memanfaatkan kebingungan palsunya untuk bertanya pada Ren. Komunikasi
berjalan lebih lama, dan ia mempelajari jalan pikiran Ren. Mungkin saja itu
bisa menambah ‘kekuatan’nya untuk meraih pemegang posisi lima di kelas itu.
Namun,
Kaito tetap merasa jauh lebih lemah daripada Ren. Ia merasa hanya modal rajin
saja sehingga bisa meraih posisi satu. Semua nilainya tidak benar-benar sebagus
dan setinggi yang tertera di rapor—sekalipun lulus dari standar. Bahasa
Inggris, hanya itu yang murni, dan memang kelebihannya. Oleh karena itu, Kaito
lebih tenang jika ditanya soal bahasa Inggris daripada eksakta.
Dan
kekuatan Ren adalah eksakta. Kuat sekali. Menjadi bahan renungan Kaito setiap
harinya.
Cemburu,
tapi kagum. ‘Aku tidak pantas meraih
posisi ini.’ batin Kaito suatu hari pada kelas Fisika. Di saat kehadirannya
penuh, ia tetap menunduk ketika sang guru bertanya satu soal. Kebalikannya,
Ren—yang sering bolos kelas—dengan percaya dirinya mengangkat tangan, bersedia
menjawab. Dan, benar. Ada sesuatu yang retak dalam diri Kaito, dan di saat
bersamaan bukan jadi membenci si Nagase itu.
Terpuruk?
Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Kaito? Seringkali mencoba bertanya pada
Ren, dan tetap saja, cemburu tapi kagum. Suatu kali, ia sadar terlalu sering
bertanya, akhirnya memutuskan untuk berlari pada Sho yang dirasanya keren, tapi
tak menimbulkan rasa cemburu. Karena itu pula, Kaito berharap Ren bertanya mengenai
bahasa Inggris padanya sejak lama.
Namun,
hanya angin berlalu.
Ren
hanya sering minta tolong menerjemahkan tugas dan, yah, membantu menjawab tanpa
menjelaskan… ‘Hahaha, sebatas ini saja,
ya…’ Senyum Kaito kecut setiap mengingatnya.
Semuanya
berlalu dengan perasaan yang terpendam juga. Kaito yang selalu memperhatikan
Ren, tapi Ren hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Segala hal kecil dari
Ren dirasa berarti. Mulai dari pertanyaannya, kalimat menyemangatinya, bahkan
saat ia meminjam sesuatu. Kaito bertekad menahan rasa itu sampai waktu yang
tepat.
Hal
ini membuatnya semakin renggang dengan Ren. Jarak yang dekat, hati yang jauh.
Kaito ramai ditanya teman-teman, Ren sibuk fokus sendiri pada buku kumpulan
soalnya. Penat. Apalagi saat ia tidak mengetahui maksud soal dan minta maaf,
nama Ren selalu terucap—jelas, langsung ditanggapi tidak enak oleh mereka.
Ujung-ujungnya, Sho adalah alternatif. ‘Ren,
lama-lama aku juga segan padamu. Jarak kita semakin jauh saja, ya.’
Pada
suatu waktu, Kaito memutuskan untuk pulang sendirian. Teman-teman dekatnya
sudah duluan, dan ia masih menunggu di ruang kelas. Duduk di dekat pintu dan
merasakan angin dari hujan lebat. Rasanya ingin tidur. ‘Tapi, kalau keadaan begini, Ren pasti membahas soal-soal dari buku
tebalnya itu, ya…’ Ia menghela napas berat, menenggelamkan kepalanya pada
lipatan tangan di atas meja. ‘Kira-kira,
tembakan universitas Ren nanti apa, ya? Hmm, pasti institut terkenal di Kota X
itu!’ Dalam gelapnya pejaman mata, ia membayangkan Ren mengenakan almamater
universitas yang dimaksud. ‘Hmm,
tembakanku juga yang di Kota X, sih. Haha~ Setidaknya, bisa satu kota
dengannya, walaupun lokasinya berjauhan…’
Karena
masih tergolong deras, banyak siswa berlalu-lalang melewati depan kelas Kaito.
Ada yang sudah basah kuyup entah kenapa, ada yang membuka payung untuk bersiap
pulang, bahkan ada yang berfoto-foto tidak jelas pada dengan objek halaman
sekolah—mungkin untuk diunggah ke media sosial dengan caption galau-galauan.
“Haha~
Kalau Ren pasti tidak terpikir untuk melakukan itu,” Kaito bergumam sambil
memandang siswa perempuan tak dikenal itu dari belakang. “Hm, mungkin juga dia
sedang di tempat bimbingan saat ini…” Yah, karena sudah di tingkat akhir,
persiapan siswa untuk ujian masuk perguruan tinggi tidak cukup hanya dari
sekolah saja. Dan sesungguhnya, hari ini bukanlah jadwal bimbingan. Kaito hanya
percaya bahwa Ren dengan kekuatannya menyempatkan diri ke tempat bimbingan.
Sepuluh
menit berlalu, hujan deras berubah menjadi gerimis. Kaito mengeluarkan rompi
OSISnya sebagai penutup kepala. Ia beranjak menuju halte. Melangkah dengan
hati-hati agar celananya tidak terciprat air—besok masih dikenakan juga—dan
berkonsentrasi pada ranjau kubangan air.
Pcak,
pcak, pcak
“Huaah~”
“Oi,
Kai!”
‘Eh? Suara ini…’ Kaito
menoleh ke belakang. Orang ‘itu’. Ya, orang ‘itu’ yang disangkanya hari ini
pergi ke tempat bimbingan. Saat ini, sedang di hadapannya sejauh tiga meter.
Antara terkejut dan senang, ia hanya membalas “Halo, Ren!” seraya melambai
dengan senyum tulus di bibirnya.
Sepanjang
Ren berlari kecil, Kaito memandanginya dari ujung sepatu sampai ujung rambut.
“Tumben sendirian, Kai?” tanya Ren sambil merapikan rambutnya. Agak basah.
Berarti ia juga menembus hujan. “Mana teman-temanmu? Biasanya bareng, ‘kan?”
“Kau,
‘kan, temanku juga.” jawab Kaito polos, terus menatap Ren lekat-lekat dengan
senyuman. Ia tertawa renyah kemudian agar tidak dicap aneh. “Hari ini ingin
sendiri dulu.”
“Gayamu,
Kai.” Ren ikut tertawa. Ia duduk di bangku besi halte yang dingin, disusul oleh
Kaito. “Jadi ambil HI di kampus idamanmu itu?” singgungnya, dengan nada santai.
Kaito,
dengan semangatnya ditanya seperti itu, senyumnya merekah seperti bunga
matahari yang cerah di tengah gerimis. “Hm, iya!” sahutnya mengangguk. “Kau
juga, ‘kan? Pertambangan di Institut blablabla~” Ia menghela napas sekali lagi.
“Ah, bahkan menyebut namanya saja aku tak sanggup.”
“Jangan
begitu, dong. Kau, ‘kan, pintar!”
“Kau
lebih pintar, sialan,” Kaito hanya menekankan, bukan bermaksud kasar. “Aku
hanya bagian kecil dari atom pembentuk tubuhmu.”
“Astaga,
Kai,” Ren menepuk kepala Kaito sekali. “Bisa-bisanya ngomong begitu, ya.”
Bruuum…
Keduanya
spontan mengangkat kaki karena sepeda motor barusan melaju kencang, melewati
kubangan penuh air. Huh, tiga detik yang berharga. Mereka berpandangan sejenak,
terpaku, lalu bernapas lega. Celana mereka terselamatkan.
“Memang
benar, kok. Cuma bahasa Inggris. Sedangkan kau: matematika, fisika, kimia.”
“Orang
fokus mengalahkan orang pintar, lho.”
Oke.
Kaito tertegun sebentar. Satu kalimat itu memberinya cahaya semangat. Sekalipun
tatapannya kembali sendu pada jalanan sepi itu, setidaknya Ren mengatakan itu
secara langsung padanya, di hadapannya.
“Kenapa
nggak langsung tembak ke luar negeri, Kai?”
Kaito
menceplos cepat. “KAU KIRA TOEFL ITU MUDAH?” Wajahnya dibuat semenderita
mungkin walau hanya bercanda. “Kemampuanku ini hanya menyaingi teman-teman di
sekolah kita. Tidak tahu kalau di sekolah lain yang standar internasional.
Apalagi pelajar di Kota X yang metropolitan itu, Ren!” Tangannya terkepal tanpa
sadar. Kembali minder pada Ren yang dengan entengnya mempercayakan hal itu
padanya.
Ren
menyerah, takut menurunkan semangat Kaito. “HI, ya?”
“Sastra
Inggris.”
“Lah,
kok?”
“Iya,
iya. HI di pilihan pertama.”
“Semoga
lulus, ya!”
“Kau
juga—Ah, sudah pasti lulus, lah!”
“Hahaha!
Bisa aja, deh. Lulus bareng lebih bagus!”
Asal
kau tahu, Ren, ini pertama kalinya dirimu kembali dekat bersama Kaito sejak
setahun lalu. Dan tahun lalu juga hanya saat ‘itu’ kau sedekat saat ini
dengannya. Selain kedua itu, kalian berdua hanyalah teman sekelas yang sekadar
saling berpapasan dan menyapa, berkomunikasi pun seadanya.
Kaito
merindukan saat ‘itu’, di mana Ren meneriaki namanya untuk mengajak belajar di
perpustakaan—persiapan olimpiade. Mata pelajaran memang berbeda, dan bukan
hanya mereka berdua yang belajar persiapan saat itu. Namun, Kaito cukup senang
bisa sedikit dekat dengan destinasinya.
Ren
berdiri. Ia mengambil sesuatu dari ranselnya: Jaket dengan tulisan “Mr.KING”
dan ikon mahkota di bawahnya. Dilemparnya pelan kain tebal berwarna marun itu
pada Kaito dan berhasil ditangkap. “Pakai itu, ya, untuk menutupi kepalamu,” Ia
sudah menduga Kaito akan bertanya tentang dirinya sendiri berlindung dengan
apa. “Aku pakai ini!” serunya bersemangat sembari menampakkan sebuah topi
berwarna dasar hitam dengan logo merk di
bagian depannya. “Ingat ini?”
Kaito
berbinar-binar. Jelas saja. Itu hadiah ulang tahun darinya saat tahun pertama
menjadi siswa SMA. Mereka dulu cukup akrab—dan dirinya kembali galau mengingat
itu—yah, walaupun tidak sedekat dengan teman-teman gengnya saat ini. “Terima
kasih masih menyimpannya, ya,” Tiba-tiba, suasana menjadi hangat. “Aku kaget,
ternyata masih muat di kepalamu, haha.”
Satu
lagi. Rumah Kaito dan kediaman Ren tidaklah terlalu jauh. Hanya berjarak dua
kompleks. Selamat, Kai. Sore ini bisa berjalan pulang bersama Ren. Bunga
matahari sedang mekar di tengah gerimis.
“Oh,
ya, Kai. Aku sudah lima kali bolos bimbingan, lho, dalam bulan ini.”
“ASTAGA,
REN! Tega! Biaya di sana mahal, lho! Sayang uang!”
Apapun
yang terjadi, Kaito tetap berpikir dan yakin benar anak itu akan terus jauh
melampauinya sekalipun sering bolos bimbingan. Bagaimana pula dengan dirinya
yang memang selalu hadir, tapi juga sering bermalas-malasan membahas soal?
Sekali lagi, Kaito merasa tertinggal jauh di belakang Ren. Terus-terusan hanya
mampu menatap punggungnya yang sebentar lagi akan sirna.
.
. .
Hari
pengumuman telah berlalu seminggu. Kaito masih tidak percaya pada kenyataan
yang diterimanya. Bahagia dan lega, tapi juga kecewa. Oke, dia lulus di pilihan
pertamanya; HI di Kota X. Dia pikir, dengan cara belajar Ren yang selama ini
jauh lebih banyak porsinya, mereka bisa lulus bersama di Kota X sekalipun beda
universitas. Kenapa, ya? Padahal, Kaito juga sering bermalasan dan beberapa kali
tidur lebih awal.
Tapi,
kenapa…
Kenapa
Ren... malah membuat ketiga pilihannya di universitas lokal?
.
. .
“Gimana,
Kai? Dapet, dong, di X!”
“Iya,
Ren. Aku senang. Kau juga, ‘kan?”
“Nggak.
Aku lulus di kota kelahiran kita.”
“Eh?
Tapi… Kenapa…”
“Tetap
pertambangan, kok!”
“…”
“Kai?”
“…
Mau jalan-jalan sebelum aku berangkat?”
.
. .
Obrolan
singkat di telepon kemarin disetujui oleh Ren. Mereka membuat janji untuk
bertemu di minimarket dekat sekolah. Masing-masing dari mereka mengendarai
sepeda kesayangan. Ren mengusulkan terlebih dahulu untuk berkeliling kota.
Kaito membiarkan Ren lebih sering berada di depannya, mendahuluinya, seperti
halnya status dirinya sebelum pengumuman kelulusan ini—setidaknya menurut sudut
pandang Kaito sendiri.
Memang,
bukankah selama ini itu adalah kehendak dari Kaito sendiri; bisa menyentuh
‘raga’nya, bisa ada di posisi yang sama dengan’nya’, yaitu Ren sendiri? Yah,
iya. Benar. Tapi, dengan cara Ren itu, Kaito bukannya ingin jadi mendahului si
raga sendiri. Ia tetap ingin mereka berdua berjalan pada posisi yang sama.
Berbarengan. Sama. Bukannya saling mendahului atau membelakangi.
Angin
yang menerpa wajah mereka dengan kecepatan mengayuh, membuat pikiran Kaito
terhenti pada satu tujuan. Bertanya, mengapa. Ia memacu kayuhannya agak cepat
untuk menyusul Ren. “Ayo, kita ke pesisir. Daerah rumah Sho.” ajaknya.
“Wah,
pantai itu, yaaa,” sahut Ren, mengingat-ingat akan indahnya pemandangan di
sana. Sepi, dan jarang dibuka untuk umum, karena memang bukan tempat wisata
untuk khalayak ramai. “Ayo, ayo!” Ia jadi antusias. “Aku juga mau melihat
langsung. Selama ini hanya dari foto-foto Sho saja.”
Mereka
berdua tertawa ringan.
Sambil
mengayuh, Kaito terus mengulang-ulang kalimat yang akan diajukannya nanti. ‘Kenapa, Ren? Kenapa?’ Sedikit egois, memang.
Tapi setidaknya, ia ingin tahu alasannya. Kaito mau alasan yang benar-benar
bisa diterimanya, walau akan tetap terasa sedih dan gundah. Bayangkan, jika kau
berharap besar mengenai sesuatu pada seseorang, dan yakin itu akan terlaksana
dengan lancar… Lalu, tiba-tiba saja batal. Sakit.
Seerr…
Seeerrr…
Pasir
pantai mulai terlihat. Pemukiman warga khas pesisir pun sudah tampak di depan
mata. Mereka mengurangi kecepatan kayuhan, lalu turun dari sepeda untuk
menuntun saja sampai di tepi pantai.
“Hmm,
kira-kira, rumah Sho yang mana, ya?” tanya Ren, menyisir pandangannya ke
beberapa rumah.
Kaito,
yang berada di sampingnya, mengangkat bahu. “Dia hanya bilang rumahnya di
daerah sini.” ujarnya penasaran juga, melihat-lihat aktivitas beberapa pria
yang diduganya adalah seorang nelayan.
Berjalan…
Terus menuntun sepeda sampai menemukan titik ternyaman untuk menikmati
keindahan pantai berdua. Mereka menjauhi pemukiman, agar benar-benar bisa
sekalian menikmati matahari tenggelam petang nanti. Ren lebih banyak mengoceh
soal laut, juga sedikit mengenai kilang minyak, dibumbui dengan
impian-impiannya dalam memberikan kontribusi untuk negara. Kaito tersenyum
pahit mendengarnya. Andai saja ia bisa ikut merasakan perjuangan Ren dalam
meraih impian-impian itu.
Belajar
di kota yang sama. Itu saja. Hal kecil itu saja, bisa membuatnya semangat
belajar. Hal kecil itu saja, bisa membuatnya merasa Ren berada di ruang kelas
yang sama dengannya. Seandainya.
Ren
berhenti melangkah dan menggeletakkan sepedanya. Ia berdiri menghadap luasnya
lautan dan merentangkan tangan. Menarik napas panjang dan menghembuskannya.
“Damai sekali~” ucapnya, kemudian berkacak pinggang, masih memandang ujung
lautan yang tak tampak itu. “Beda sekali dengan suasana di kota, ya.”
Kaito
mengangguk, tanpa dilihat oleh Ren. Ia ikut menggeletakkan sepedanya di dekat
milik Ren. Memilih berdiri di belakang Ren dulu, sejenak Kaito menyegarkan mata
dengan birunya air laut yang luas itu. Benar-benar hanya ada langit cerah yang
mulai jingga, juga deburan pelan ombak kecil, ditambah beberapa suara cicit
burung-burung. Ia sedikit terkejut saat Ren mengeluarkan ponselnya untuk
memotret pemandangan indah tersebut.
“Ren.”
Yang
dipanggil berbalik. “Ya, Kai?” Ia memasukkan kembali ponsel ke saku celana.
“Ada apa?”
Si
calon mahasiswa baru jurusan Hubungan Internasional tersebut melangkah maju
lagi, mendekati garis pantai, hampir menyentuh air. Sedikit lebih maju dari
posisi Ren saat ini. “Kenapa…”
“Hn?”
Ren membuat posisi serong, untuk menatap tubuh Kaito dari sudut kiri belakangnya.
“Kenapa
kau tidak jadi membuat pilihan di Kota X?” tanya Kaito, akhirnya. Ia harap,
segala alasan apapun itu bisa diterimanya sepenuh hati.
‘Anak ini, masih saja memikirkannya.
Padahal, aku kagum karena percaya dia bisa lulus di pilihan pertama…’ batin
Ren, geleng-geleng. Ia masih belum menangkap bentuk rasa apa yang diberikan
Kaito padanya, sampai mau menanyakan hal seperti itu harus mengajak ke tempat
indah seperti ini. “Oh, itu,” Masih belum peka juga, tapi ia membalas dengan
jawaban yang paling jujur. “Masih belum rela meninggalkan kakak dan adikku di
panti…” jawabnya, dengan senyum surgawi. “Masih ingin bertemu mereka setiap
hari. Berbagi rasa dengan mereka. Curhat ke kakak. Mengajari adik. Makan
bersama…” Memori indah terputar di benaknya. Dalam hati, ia bersyukur bisa
memiliki saudara tiri sebaik ‘kakak’ dan ‘adik’ yang diceritakannya. “Walau
tanpa orang tua, ibu panti baik sekali pada kami. Bantuan-bantuan juga terus
mengalir, dan aku tidak mau melewatkan momen-momen seperti itu. Ikut merasakan
kebahagiaan bersama mereka. Bukan hanya menerima kabar dari pesan singkat dan
blablabla.”
Bagaimana, Kai?
Tertegun.
Kaito merasa bersalah, ia menyadari sepenuhnya ego dalam dirinya, memaksakan
kehendak seseorang. Ia baru tahu—tidak, ia sudah tahu bahwa Ren yatim-piatu,
namun tak menyadari kalau rasa sayangnya pada saudara-saudari tirinya begitu
besar sampai tidak ingin meninggalkannya; Saat dirinya yang seorang anak
tunggal serta memiliki orang tua lengkap, malah (merasa) tidak bersyukur bisa
direlakan pergi kuliah ke luar kota. ‘Maaf,’
Tangannya spontan terkepal, kesal pada diri sendiri. ‘MAAF, REN! MAAF! MAAF, MAAF, MAAF!!’
Ingin
rasanya berteriak—
“AKU
SAYANG REEEEEEN!! AYO KULIAH KE KOTA YANG SAMAAAAAA!!”
Kedua
tangan Kaito masih terkepal. Ia putuskan kalimat itu menjadi harapan
terakhirnya untuk Ren. Setelah ia tahu semua alasannya, barulah ia berani
mengungkapkan ‘ajakan’ itu pada Ren. Ehm, selama ini, yang ia tunjukkan pada
Ren memang hanya saling mendukung… dan mengakuinya sebagai sebuah kebetulan
ingin menembak di Kota X, bukan pengakuan Kaito sendiri yang ingin berkuliah di
kota yang sama dengan Ren.
Dan,
akhirnya, Ren mendengarnya. Ia tertawa singkat. ‘Ternyata, itu alasannya sampai mengajak ke tempat ini…’ Jelas saja
ia tak menyangka sebegitu besarnya harapan Kaito ingin berkuliah di kota yang
sama dengannya. Hanya dari satu kalimat dan teriakan itu saja, ya. Haha.
“AKU
BENCI KAITOOOOOO!! MEMILIH KOTA X HANYA KARENA AKUUUUUU!!”
Hm.
Akhirnya, Ren membalas juga apa yang Kaito pendam selama ini. “Aku memang ingin
ke situ, kok,” elak Kaito. “Kebetulan saja kotanya sama, jadi aku lebih
senang.” ungkapnya, tidak sepenuhnya jujur dan tidak sepenuhnya bohong. Dasar,
Kai.
“Tidak
masalah, ‘kan? Kau bisa cari gadis jelita di sana,” canda Ren, memilih untuk
duduk di pasir. Menatap sang mentari yang mulai mendekati garis horizon pantai. “Kalau di sini, wajah
gadisnya biasa-biasa saja.”
Karena
suasana sudah sedikit mencair, Kaito pun tak ingin terlarut lagi dalam
keegoisannya. “Hm? Si ‘itu’ juga biasa saja?” sindirnya, ikut duduk bersila di
samping Ren, menunggu sampai bola gas panas itu menyentuh setengah garis horizon, supaya indah saat dipotret.
“Iya.
Memang. Serius.” jawab Ren sekenanya, tanpa berpikir dahulu. ‘Haha, kenapa bawa-bawa ‘dia’, sih, Kai?’ katanya
dalam hati. “Sudah, lah. Kenapa malah membahas mantan?”
Keduanya
tertawa.
Berdua,
menunggu sampai momen indah si mentari datang. Memotret, dengan memperhitungkan
sudut-sudut yang pas agar hasilnya bagus—Yak, bisa juga ambil UKM fotografi,
ya, kalian. Oh, iya. Tak lupa juga keduanya memotret ala-ala. Yang siluet, lah.
Yang seperti memegang bola, lah. Bahkan, sempat juga mengambil selfie berdua. Walau hanya satu foto,
karena dirasa tak perlu banyak-banyak—Oke, memang kalian masih berjiwa
laki-laki, ya.
Setelah
langit mulai gelap, Kaito dan Ren beranjak.
Putra
Takahashi itu membiarkan Ren kembali mendahuluinya, berjalan dan mengendarai
sepeda di depannya, membiarkan netranya tetap menatap punggung sang Nagase. Ia
baru ingat, satu hal lagi yang belum diungkapkannya pada Ren. Dan mungkin, tak
akan pernah disampaikan, sampai kapanpun. Sambil mengayuh, batinnya berucap, ‘Kukira, aku akan selamanya jadi bayanganmu.
Eh, sekarang malah menjadi raga, yang bahkan mendahuluimu,’ Ingin sekali
rasanya Kaito memukul kepala Ren dengan buku soalnya yang setebal lima
sentimeter itu. Ia menghela napas berat. ‘Ren
bodoh—Ah, kalau bodoh, aku tidak mungkin mengejar-ngejarnya selama ini, ya?
Hahaha.’ Senyumnya tulus kali ini, sekaligus melemparkan harapan besar agar
keduanya bisa sukses di bidang masing-masing.
—Sebelum
akhirnya saling mengucapkan salam perpisahan di kemudian hari.
SELESAI
AAAAAAKKKK
AKHIRNYAAAAA RENKAI SAYA JADIIII XD *seneng banget dia* Pembuatannya hampir
sebulan: Naskah pertama dibuat sehari, kemudian disibukkan dengan tugas dan
blablabla, lalu naskah ke dua sampai selesai di tanggal 24 Mei itu sendiri
WOOOAHHH TERNIAT XD
AH
IYA, H+7 debut single, nih, ye~ Saya masih sayang sama King, nih, ye~ Masih
belum rela Kape—hiks :’( Yang t’lah King buat sungguhlah indah, buat diriku
susah lupaaa~ ;;A;;
Yosh,
terima kasih sudah membaca. MAAP TIDAK NGE-FEELS :’)
wah bagus sekali tulisan ini, angie manis sangat bangga padamu^^
ReplyDelete