Menunggumu (Naruto Fanfiction)
![]() |
pixabay.com/Free-Photos |
Mulai dari Rookie-Girls sepulang sekolah sampai sepak bola bersama tiga bocah SD. Penantian Hinata sampai petang bersama notes yang menjadi jembatan kecil menuju impiannya, demi pemberian kecil yang berharga di hari istimewa yang terlupakan./VERY LONG-LATE POST for Naruto-nii's birthday/
Rated:
K+ - Friendship - Naruto U., Hinata H. - Words: 3,420 - id: 12201449
Disclaimer
Naruto
© Masashi Kishimoto
Spongebob
Squarepants © Stephen Hilenburg
.
Menunggumu
Hari ke dua di tahun ke dua. SMP Konoha masih belum
melaksanakan proses belajar-mengajar secara normal. Kebanyakan guru masih
menyusun resolusi mereka di tahun ajaran baru ini. Hasilnya, para siswa pun
kebanyakan tak beraktivitas di kelas. Guru yang sudah menyelesaikan resolusinya
pun tak ingin memulai materi duluan, sebelum ada perintah resmi dari kepala
sekolah. Yah, ujung-ujungnya hanya ada cerita seputar liburan antara guru dan
murid.
Pergantian tahun ajaran tak lepas dari pengacakan siswa—kita
tahu itu. Doa Hinata terkabul, di mana ia akan bisa menjalani hari-harinya
bersama Rookie 12 kembali, terkhusus Naruto, Tenten, dan Kiba. Mereka berempat
telah berteman baik sejak kelas 4 SD, dan mereka bertiga lah yang terbaik dari
yang baik bagi Hinata.
Selepas lonceng pulang berbunyi, seluruh penghuni kelas 2-F
berhamburan keluar—begitu juga dengan kelas lain, ya. Rookie 12 masih betah di
kelas. Mereka melepas rindu dengan saling bertukar cerita. Lama-kelamaan,
beberapa dari mereka juga meninggalkan kelas, menyisakan Naruto, Kiba, dan
empat siswi dari Rookie 12.
Naruto merogoh ranselnya. “Hei, cewek-cewek, kalian masih
lama pulang, ‘kan?” tanyanya. “Aku titip tasku, ya. Ketua klub fotografi sudah
melemparkan tugas pada kami untuk seleksi masuk nanti.” jelasnya panjang lebar.
Seraya Naruto dan Kiba menuju pintu kelas, Tenten
berceletuk, “Ada seleksinya juga? Seperti olimpiade nasional saja.” Kemudian
disambut dengan tawa mereka.
Kiba pamit pulang, sedangkan Naruto pergi bersama calon
anggota klub fotografi dari kelas lain, yaitu Idate, Suigetsu, dan Sora.
Semuanya memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Jadi, para gadis 2-F ini
membicarakan keempat cowok itu, bahkan opini mereka boleh dikatakan hampir
sama.
Mereka duduk berempat, ada yang menopang dagu, melipat
tangan di meja, dan posisi lainnya. Pada suasana kelas yang lumayan senyap,
tanggapan dari setiap opini sering menghasilkan seruan “Iya, lho!” atau
jentikan jari yang disambut dengan “Itu benar!”. Hm, dasar, cewek-cewek.
Bosan bergosip, dua dari mereka pergi ke kantin untuk
mengisi perut mereka. Tinggallah gadis Hyuuga dan si centil nan gaul bersurai
pirang panjang, Ino Yamanaka. Si empunya pekerjaan sampingan sebagai penjual
bunga itu membungkuk dan meletakkan dagunya di permukaan meja. Tangannya
memainkan tombol ponsel, di mana layarnya menayangkan situs berita mancanegara.
Sedangkan gadis yang satunya membaca dari sebuah notes kecil yang sederhana.
Hening. Suara langkah kaki seseorang yang baru saja lewat
dari depan kelas mereka menyadarkan Ino. Ia menoleh ke belakang.
“Hinata lagi baca apa, sih?” Ino menurunkan notes Hinata
yang digenggam sejajar hidung si pembaca.
“Aku mau menghafal ini.” jawab Hinata santai sambil tersenyum
lembut seperti biasa.
Ino mengkerutkan dahinya. “Apa, sih, ini?” Rautnya terlihat
bingung. “Modal verb? Infinitive? Been being verb 3? Kamu
mau sekolah di Inggris?” tanyanya bertubi-tubi.
Yang ditanya hanya tertawa ringan, maklum. “Kenapa kalau
belajar Bahasa Inggris, stigmanya langsung ke Britania Raya?” singgungnya,
merasa klise.
“Lho? Jadi apa, dong?”
Hinata menghela nafas. Ia menutup notes lavendernya dan
memasukkannya ke saku seragam. “Aku ingin negara-negara di Eropa, sih,”
jawabnya dengan tatapan penuh harap. “Di Inggris juga nggak masalah.”
Iris Ino berbinar, kagum. “Ka-kamu ingin kuliah di Eropa?
Hebat, dong!” pujinya. “Semoga terwujud, ya! Aku mendukungmu!” Ia menepuk-nepuk
pundak Hinata tiga kali. “Jadi, apa saja yang sudah terhafal?”
Hinata bergumam sejenak. “Hanya 16 tenses, direct-indirect
speech, sama passive voice…”
Kepalan tangan Ino menggebrak meja, membuat Hinata terlonjak
sedetik. “Kamu bilang ‘hanya’? Sumpah, aku hanya tamat simple present, simple
past, dan simple future yang present?” Ia mengingat-ingat
sebentar. “Iya, iya. Pokoknya yang rumusnya hanya I will go to school itu,
deh. Cuma yang itu!”
Hinata menenangkan Ino yang mulai beringas karena rasa
kagumnya. Ia juga mendukung Ino yang berangan-angan menjadi presenter berita
mancanegara. Apalagi fisik dan gaya bicaranya sudah oke. Tinggal pemantapan di
masa SMA sampai kuliah nanti.
“Aku pasti akan merindukan kalian saat berpisah nanti.”
ungkap Ino dengan sendu.
Dengan gaya bercanda, Hinata terisak. “Walaupun masih lama,
pasti tak akan terasakan waktu, ya…” Ia tersenyum lagi, tapi pikirannya mulai
membayangkan kesedihan.
“Berjanjilah, Hinata,” Ino beranjak, memegang kedua pundak
Hinata dan menatapnya lekat. “Bawa kami jalan-jalan setelah kamu sukses di
Eropa sana!”
Degup jantung Hinata dan firasat buruknya akan tingkah Ino
yang berubah lagi, digantikan dengan sweatdropped.
“Ehehe… Tenang saja. Rookie 12 adalah teman-teman pertama
yang akan kuajak!”
Pip … Pip …
Hinata meraih ponsel dari tasnya. Ino duduk di bangku
samping kanan Hinata. Bola mata Hinata bergerak membaca pesan masuk dari
Naruto.
Hinata, masih di sekolah? Sepertinya kami masih setengah jam
lagi mencari objek untuk Idate. Nggak masalah?
“Dari Naruto?”
Sontak sang gadis Hyuuga menoleh ke belakang. “I-iya,
Tenten…” Ia tertawa kecil sambil menerima jajanan titipannya. Kemudian
menekan-nekan tombol ponsel untuk membalas pesan Naruto.
Iya, masih lama, kok. Nggak masalah. Besok juga belum ada
tugas, ‘kan? :)
Formasi lengkap. Mereka menyantap jajanan masing-masing. Ini
masih jam dua siang. Matahari terik melemahkan niat mereka untuk bergerak
pulang. Seperti biasa, lah. Mulut cewek memang tak tahan untuk melontarkan
produksi pita suara, yang merupakan hasil kerja suara hati mereka juga.
Cita-cita di masa depan. Itulah topik yang mereka angkat kali ini. Ino juga
menyinggung impian Hinata tadi. Disambut sangat baik oleh mereka. Keempatnya
sangat ceria menyimak impian masing-masing. Kalian mendewasa dengan cepat, ya!
Tak terasa, dua jam berlalu sejak mereka menyantap ‘makan
siang’ mereka. Terik siang berganti jadi cahaya sore yang lebih bersahabat.
Angin sepoi mulai berhembus dari jendela, menyapu wajah mereka. Masing-masing
dari mereka pamit untuk pulang. Hinata izin belakangan karena ia telah berjanji
pada Naruto untuk menunggu—secara tak sengaja.
Dan di sanalah Hinata duduk seorang diri. Ia memilih posisi
di dekat pintu kelas, agar bisa beranjak segera saat Naruto tiba. Ransel Naruto
juga dipindahkannya ke tempat duduk di samping kirinya. Lalu, kebiasaan barunya
berjalan lagi. Hinata membuka notes spesialnya dan mempelajari materi Bahasa
Inggris seperti tadi.
Tik … Tik …
Suara jarum detik dari jam dinding di atas papan tulis dapat
didengar oleh Hinata. Ia berjalan ke koridor. Kosong. Hanya ada seorang
pramubakti yang menyapu ujung koridor. Kembali masuk ke kelas, kakinya
melangkah ke dekat jendela. Di bawah sana juga hanya ada tiga siswa yang
bermain di lapangan basket. Ada dua kakak kelas, sepertinya, dan …
“Kiba-kun!” seru Hinata, disambut oleh angin sepoi yang
meliukkan surai panjangnya.
Segera Hinata menyandang ranselnya dan turun ke lapangan.
Dari pinggir lapangan, ia meneriakkan nama Kiba dengan suara malaikatnya. Wah…
Kiba datang menghampiri Hinata, meninggalkan permainannya sebentar.
“Kukira Kiba-kun sudah pulang, hah… Hah…”
Oh, iya. Hinata berlari sambil membawa rasa penasaran dan
menyandang ransel dengan bahu kanan saja dari lantai tiga. Pantas saja nafasnya
masih memburu. Belum lagi ransel Naruto yang masih tertinggal di kelas.
Kiba menarik poni dan menyeka peluh di dahinya. “Karena
ternyata si neechan belum pulang,” sahutnya. Ia mengeluarkan baju seragamnya
dari celana, karena sebelumnya sudah menyembul setengah-setengah. “Daripada
harus jalan kaki, lebih baik naik kereta dan dibayar olehnya! Hahaha…”
Hinata ikut tertawa. Ia meletakkan ransel di bangku pinggir
lapangan itu. “Kiba-kun main saja lagi. Aku mau mengambil ransel Naruto dulu di
kelas.”
Sudah akan berlari, Kiba menahan langkah Hinata. “Biar aku
saja yang ambil,” cegahnya. “Dasar, Naruto. Kamu tunggu di sana saja, ya.”
pesannya, lalu menghilang di balik tangga.
Hinata duduk bersandar dengan lega. ‘Kalian memang yang
terbaik.’ batinnya tersenyum, dan lagi-lagi mengeluarkan buku kecil
kesayangannya. Belajar tata bahasa Inggris yang British, huft.
Hanya dua menit, Kiba kembali dengan pola nafas normal. Ia
meletakkan ransel Naruto di samping Hinata. Hinata mendongak, lalu Kiba
menjulurkan lehernya ke notes Hinata.
“Hm… Bahasa Inggris lagi, ya…” Kiba menaruh kedua tangannya
di pinggang. “Sekolah di Inggris saja, Hinata.”
Hinata menggeleng. “SMA di sini. Kuliahnya di Eropa. Tapi di
Inggris juga mau, sih.”
Kiba manggut. “Yang terbaik untukmu, ya, Hinata!” Ia
mengacungkan ibu jari. “Aku main lagi, ya!” pamitnya.
Hinata mengangguk. Ia kembali pada dunianya. Fokus pada
tulisan-tulisan asing di buku kecil itu, dan berusaha memahaminya sendiri.
Mendongak untuk berpikir, terkadang menggerakkan bibir pelan untuk menghafalkan
sesuatu. Sekali ia terhanyut pada suara pantulan bola basket yang diciptakan
oleh Kiba, kakaknya, dan Itachi Uchiha alias kakak dari Sasuke yang juga
anggota Rookie 12. Pupil abu-abunya tersita untuk menyaksikan mereka bertiga
yang memperebutkan bola dan berusaha memasukkannya ke dalam ring.
Dalam hati, Hinata kagum memandang figur kakak Kiba yang
baik, ditambah bentuk tubuh bak model mirip Ino, lihai pula dalam berolahraga. ‘Huh,
kapan aku bisa seperti itu, ya?’ Ia memanyunkan bibir, lalu mengangkat
notes sejajar hidungnya yang mancung.
Bukan pengulangan atau sejenisnya, waktu yang digunakan
untuk menyibukkan diri selalu saja tak terasa. Sudah satu setengah jam mereka
bertiga tertawa-tawa, bermain, minum, dan duduk beristirahat di lapangan,
secara tak langsung menemani Hinata yang menunggu kepulangan Naruto yang lebih
lama dari perkiraan. Menghampiri Hinata, Kiba dan kakaknya pamit pulang. Tak
tega meninggalkan perempuan sendirian, Itachi menemani Hinata. Memang, figur
baik seorang kakak laki-laki juga begitu terpancar dari setiap tindakan Itachi.
Karena termasuk orang yang susah konsentrasi jika melakukan
dua pekerjaan sekaligus, Hinata menutup notesnya dan menggenggamnya. “Sasuke
enak punya kakak seperti Itachi-senpai, ya…” ucapnya ramah.
Itachi menyibak rambut panjangnya yang berkilau,
menggoyangkan bagian depan atas seragamnya untuk menghasilkan angin kecil, agar
mengurangi volume peluh yang bercucuran di bagian lehernya. “Hahaha, kamu bisa
saja,” ujarnya tak kalah ramah. “Kalau Sasuke, bagaimana? Dibandingkan
denganku?”
Hinata mendengus keras. Jiwa antusiasnya muncul. Dengan
suara tingginya yang indah, ia berceloteh, “Aku hampir tidak bisa
membandingkannya, lho!” Ia membelokkan badan dan mengangkat kepala sedikit.
“Kalian berdua sama-sama jenius dan pandai berolahraga! Sasuke-kun sangat
pintar matematika. Hanya saja …”
“Hanya saja … ?” Itachi menoleh kea rah Hinata, penasaran.
Mereka saling berpandangan, menunggu jawaban dari gadis
Hyuuga itu.
“Hanya saja, Sasuke-kun lebih cool—No, no,
Sasuke lebih pendiam dan dingin,” lanjut Hinata. “Kalau Itachi-senpai ramah.
Ta-tapi, it’s okay. Itu bisa menjadi ciri khas kalian.”
Itachi tersenyum tak kalah angel-looks-like dari
Hinata. “Pandanganmu boleh juga, Hinata-san,” pujinya. “Sebagai siswa kelas 2
SMA, aku kagum—”
“Uwaaah…” Mata Hinata berbinar cerah.
“Eh?”
“Barusan aku kagum pada Kiba yang nafasnya tak memburu
setelah membawa ransel Naruto-kun. Lalu, pada Hana-senpai yang bentuk tubuhnya
bagus dan pandai olahraga. Ke tiga, aku kagum pada Itachi-senpai dan Sasuke
yang jenius dan tampan…”
Itachi terdiam. Bisa-bisanya Hinata menyampaikan semuanya
tanpa rasa segan dan gengsi. ‘Berarti, dia menghormati dan mengakui
kelebihan orang lain.’ pikirnya. Baguslah kalau begitu, ‘kan,
Itachi-senpai?
“Ehm, Itachi-senpai dan Hana-senpai berpacaran?”
Yak, saking menghormati dan menghargai, sikap polos itu
masih melekat di saraf-saraf kepribadian Hinata.
Pip … Pip …
Hinata, masih mau menunggu? Kereta ke sekolah masih dua
puluh menit lagi. Nggak apa, kok, kalau kamu pulang.
Kring! Kring! Kring!
Tepat setelah selesai membaca pesan Naruto, ponsel Itachi
ikut berbunyi. Entahlah, karena Hinata tidak melihatnya, ia juga tidak tahu
kalau itu bunyi pesan masuk ke ponsel Itachi atau hanya akal-akalannya saja,
untuk menghindari pertanyaan super lugu dari Hinata tadi.
Dalam hati, tak tega juga meninggalkan siswi SMP sendirian
di sekolah. Mau tak mau, Itachi harus pulang juga karena sang adik tercinta
sudah menunggunya di rumah.
Niisan! Bantu aku mengerjakan soal fisika ini sekarang!
“Hm… Lihat ini.” Itachi menyodorkan layar ponselnya ke depan
wajah Hinata. “Pasti dia membahas soal di bab pertama pelajaran fisika kalian.”
Hinata mengangguk paham. Itachi melipat ponselnya dan
dimasukkan ke dalam saku celana. Sesampainya di gerbang, keduanya saling
melambai dan sang senior pun menghilang. Hinata hampir lupa membalas pesan
Naruto. Ia pun mengetik dengan cepat.
Iya, aku masih menunggu. Kalau aku pulang, tidak ada yang
menjaga ransel Naruto-kun. Itachi-senpai sudah pulang dan tinggal aku sendiri.
Sesudah menekan tombol ‘Kirim’, Hinata menghela nafas
panjang dan bersandar di bangku kayu itu. Angin lembut jam lima sore kembali
menyapa dirinya dan indera perabanya. Ia telah mencapai titik klimaks penatnya
mempelajari materi Bahasa Inggris di notesnya. Diputuskannya untuk bermain
ponsel dan membaca beberapa artikel di internet. Di sudut kanan atas ponselnya
tertera empat angka yang menunjukkan waktu saat itu, 17:10. ‘Belum terlalu
larut untuk jam pulang seorang siswi kelas 2 SMP…’ batinnya menenangkan
diri.
Hinata menatap lurus ke arah gerbang sekolah. Dari lubuk
hatinya, ia berharap Naruto kembali dalam waktu cepat. Kelopak matanya mulai
memberat. Mulutnya menguap tiga kali dalam dua menit. Ia membaca notesnya
dengan rasa kantuk, namun tetap memaksakan diri untuk berkonsentrasi—dan
akhirnya hanya sekedar membaca berulang-ulang tanpa ada yang menempel di otak.
Ia menguap lagi dan …
Pip … Pip …
Kamu pulang saja, ya, Hinata. Bawa saja ranselku. Nanti aku
jemput ke rumahmu.
“What, Naruto-kun? Ranselku berat, tahu. Apalagi jika
harus membawa ranselmu,” gumam Hinata seorang diri. Ia memanyunkan bibir sambil
berpikir. “Tasku … berat,” ucapnya mengikuti irama gerakan jarinya yang
mengetik. “Aku … nggak sanggup … membawanya … Kutunggu … saja …”
Klik!
Duh, Naruto. Teganya membuat seorang cewek menunggu
sendirian di lingkungan sekolah. Hinata membaca dengan kepala yang
mengangguk-angguk—bukan memahami, tapi kecolongan rasa kantuk dan bosan yang
memaksa matanya untuk terpejam. “Hoaaahm…” Dari kelopak bawahnya keluar cairan
sehabis menguap. Ia benar-benar ingin tidur sekarang.
“Hei, tendang ke sini!”
“Konohamaru-kun!”
Hinata membuka matanya lebar-lebar. Ia memandang notes dan
lapangan basket bergantian. “Hm!” Ia meletakkan notesnya di bangku kayu dan
beranjak menuju asal suara.
Di sana ada tiga bocah SD yang bermain sepak bola. Dua bocah
laki-laki, dan satunya perempuan. Hinata berkacak pinggang dan berkata, “Supaya
adil, boleh aku ikut bermain?” Tubuhnya yang lebih jangkung membuat ketiga
bocah tadi mendongak hampir 180 derajat. “Ayolah,” bujuknya. “Aku harus
menunggu temanku sendirian. Aku bosan dan mengantuk. Tapi aku nggak mau tidur
di sini.” ceritanya.
Ketiga bocah itu melingkar dan berunding. Terdengar
bisikan-bisikan kecil yang imut. Hinata tersenyum menyaksikannya.
“Namaku Hinata Hyuuga. Bisa kita mulai?”
Seorang bocah bersyal biru muda panjang berdiri di depan
kedua temannya. Ia terlihat seperti pemimpin. Sesudah member kode dengan
mengangkat tangan kanannya, raut serius mereka berubah menjadi senyum ceria.
Tak salah lagi, Hinata diterima. Ia berterima kasih pada mereka dan segera bermain.
Duk! Duk!
“Moegi-chan!”
Duk!
“GOL!!”
“Hahaha!”
Wuuush …
“Hinata-neechan, rokmu!”
“Ups.” Hinata refleks menahan roknya sebelum tersibak,
apalagi terangkat. Tiupan angin selesai, ia menatap curiga pada kedua bocah
laki-laki itu. “Konohamaru-kun, Udon-kun, kalian tidak melihat apapun, ‘kan?”
Bocah ingusan yang mengenakan kacamata super bulat buru-buru
menyergah, “Y-ya nggak, lah!”
“Jangan bohong, Udon!” timpal bocah perempuan, Moegi,
menjitak kepala Udon.
“Ng-nggak bohong!” sanggah Udon sambil meringis kesakitan
dan mengusap ubun-ubunnya. “Konohamaru, tuh!”
Konohamaru sontak membantah, “Kami jujur, kok! Belum sempat
terbang karena Moegi sudah mencegah Hinata-neechan duluan!”
Hinata melerai mereka dan menepuk puncak kepala mereka satu
per satu. “Sudahlah,” ucapnya. “Kalian main lagi saja, ya. Aku mau membaca
lagi.” pamitnya, langsung disetujui oleh mereka. Ia turut kembali ke bangku
kayu, duduk, dan membuka ponsel. ‘Wah, sudah hampir jam enam…?’ Ia
terbelalak, lalu membuka notes, mengangkatnya sejajar hidung. ‘Kalau hari
ini bukan 10 Oktober, mungkin aku sudah pulang dari siang…’ Bola matanya
berputar memikirkan durasi panjang akan penantian dari kembalinya Naruto yang
mencari bahan seleksi masuk klub fotografi bersama ketiga temannya.
“Rajin banget, ya!”
Hm, suara itu. Akhirnya, penantianmu akan berakhir, Hinata!
Pastikan bahwa suara itu berasal dari sosoknya.
Hinata menggeser posisi notesnya, dan memang benar, yang
ditunggu sejak lebih dari tiga jam lalu telah hadir di hadapannya. Sontak ia
berdiri dan tersenyum canggung. “Hehehe…” tawanya, menggaruk belakang kepala
yang tidak gatal. “Okaeri, Naruto-kun!”
Naruto tersenyum. Ia mengangkat tangan kanan Hinata—Bukan,
bukan. Hanya ingin melihat isi notes itu, apa yang dibaca oleh gadis itu dalam
situasi seperti ini. “Hm, masih saja, ya, Hinata,” Ia mengembalikan tangan
Hinata—yang bergetar hebat—ke posisi semula. “Kuliah di Inggris saja nanti!”
sarannya, tak jauh beda dari komentar-komentar sebelumnya.
Hinata mengangguk mantap sekali. “Yang terpenting di negara
Eropa. Di Inggris juga nggak masalah.” Jawaban yang tak jauh beda juga dari
yang ia lontarkan sebelumnya.
Sehabis mengacungkan ibu jari, Naruto mengajak Hinata
pulang. “Di-diantar, nih?” tanya Hinata ragu, namun langsung diiyakan oleh
Naruto. “Tasku… berat, lho. Naruto-kun sanggup mengayuh sepedanya?”
Naruto tak mempermasalahkannya dan hanya menyuruh Hinata
untuk duduk manis di boncengan. Ini justru membuat sang Hyuuga jadi gugup. Baru
pertama kali ia diantar oleh teman laki-laki, dan perdananya langsung oleh
Naruto. Ajaib, menyenangkan, gugup, salah tingkah, deg-degan… Seperti
tanda-tanda kalau Hinata memiliki rasa yang lebih pada laki-laki berambut spiky
itu.
Seeerrr …
Di persimpangan kompleks rumah Hinata, Naruto mohon maaf. Ia
takut bertemu dengan Neji, sepupu Hinata yang tinggal serumah dengannya, anggota
Rookie 12 juga. Walaupun seusia dengan mereka berdua, Hinata memanggilnya kakak
karena lahir di bulan yang berbeda.
“Nggak masalah, kok,” Hinata menyilangkan tangan di balik
punggung. “Siscom-nya memang sudah akut. Tapi, terima kasih sudah
mengantarku, ya, Naruto-kun,” Ia membungkuk selama sedetik. “Aku senang, karena
bisa mendapatkan ‘pelayanan singkat’ dari Naruto-kun di hari yang istimewa
ini.”
Naruto yang hanya senyum dan menampakkan cengirannya
tiba-tiba bingung. “Istimewa? Maksudnya … Ah!” Ia menepuk dahi. “Aku baru
ingat! Sial! Kenapa jadi seperti di film-film?” Dahinya diurut dengan tangan
kanan, tanda menyesal.
Hinata menggumam singkat. Ia menyodorkan sesuatu dengan
kedua tangannya. “Tebak, berapa lama aku menyelesaikannya!”
Uluran tangan berlapis kulit tan milik Naruto meraih sebuah
benda mungil nan lembut dari telapak tangan putih mulus milik Hinata. Ia
menerimanya dengan ekspresi menahan teriak. “Sungguh,” Ditatapnya lekat-lekat
kantung handycam dari bahan sutera itu, dengan menggantungkan tali
pendek di ujung telunjuknya. “Ini… keren sekali. Keren, Hinata! Kereeen!!”
pekiknya kagum. “Terima kasih, ya. Ini hadiah yang indah!” Kali ini Naruto yang
membungkuk selama sedetik dan tak lupa melontarkan cengiran khasnya.
Gadis di hadapan putra Uzumaki itu pun tak henti-hentinya
tersenyum bak bidadari. Tentu saja hatinya hangat dan senang melihat Naruto
menerima hadiahnya dengan bahagia dan kagum. Ia tertawa-tawa kecil setelah
mengangguk, karena Naruto bercerocos pelan “Ini keren, ini keren, astaga!
Sayang sekali kalau dipakai! Takut rusak—Nggak! Akan kujaga ini! Aku nggak akan
membiarkan hadiah Hinata ini rusak! Uh, kereeen!”
“Naruto-kun, coba tebak, berapa lama aku menyelesaikannya?”
ulang Hinata.
“Setahun?”
Hinata menggeleng. “Itu terlalu lama.”
“Dua bulan?”
Lagi, gadis itu menggeleng.
“Tiga minggu? Sewindu?”
“No, no,” potong Hinata sedikit terkekeh. “Biasanya,
kalau seseorang ingin memamerkan karyanya, pasti karya itu dibuat sangat cepat
atau sangat lama.” jelasnya memberikan kode.
“Seminggu?” tebak Naruto lagi.
Huah, ia menerima sebuah gelengan lagi.
“Sebulan!”
“Tidak.”
“Aku menyerah.”
Hinata bersandar pada sebuah tiang lampu penerang jalan.
Kendaraan mulai memadat dan riuh-rendah karena deru mesin serta klakson yang
bersahutan. Beberapa juga mulai menyalakan lampu kendaraan mereka, karena
langit mulai membiru gelap, pertanda malam hari akan tiba. Sedangkan Naruto, ia
menyandarkan sepedanya pada sebuah tembok dan menopang punggung pada alat
transportasi kayuh itu.
“Dua hari.” jawab Hinata akhirnya.
Mulut dan iris safir jernih Naruto terbuka lebar. “Sugee!”
serunya terkagum lagi. Ia menggenggam ‘kantung’ handycam itu dan
menatapnya. “Sampai ada wajahku juga, lho!” timpalnya, mengusap-usap jahitan
bentuk wajahnya dengan dua jari.
“Hehe…”
Plop!
Lampu penerang jalan di atas kepala Hinata menyala. Naruto
tersentak dibuatnya, begitu juga Hinata.
“Ah, iya! Ini sudah malam!” Naruto menggiring sepedanya.
“Aku antar sampai depan rumahmu, ya!” tawarnya memberanikan diri. Lebih baik
dia ‘diserang’ habis-habisan oleh Neji daripada harus membiarkan Hinata
berjalan sendirian di bawah langit yang mulai kelam.
“Eh? Apa tidak apa-apa?” Hinata yang tidak enak hati berlari
kecil untuk menyamakan langkah dengan Naruto. “Naruto-kun baik sekali…”
“Hinata juga baik, kok. Kamu mau menungguku sampai sore.
Bahkan mengingatkanku pada hari istimewa ini.”
Pipi Hinata bersemu. Jantungnya berdegup sedikit tak karuan.
Tapi ia tidak gugup, malah senang dan berbunga-bunga. Hatinya semakin hangat.
Langkah kakinya terasa ringan dan trotoar yang ditapaki olehnya dan Naruto
seakan seperti jalan menuju surga.
“Ha-hampir lupa,” sela Hinata memecah keheningan. “Otanjoubi
omedetou ne, Naruto-kun. Wish you all the best!”
“Arigatou, Hinata-chan!”
Hinata terlonjak. “Naruto-kun pakai sufiks ‘-chan’!”
“Itu karena kamu baik.” Lidah Naruto terjulur setelah
mengucapkannya.
“Naruto-kun juga.”
“Hinata juga.”
“Naruto-kun juga.”
“Hinata juga, lho!”
“Naruto-ku—”
“Cukup, Hinata!”
Hening.
Tiga.
Dua.
Satu.
Keduanya tertawa. Mereka teringat pada episode kartun anak
berjudul Spongebob Squarepants, di mana si spons laut dan sahabat bintang
lautnya, Patrick, bersahut-sahutan mengatakan “selama-lama-lama-lamanya” dan
dihentikan oleh si kuning Spongebob.
Tep.
Langkah mereka terhenti di sebuah rumah yang cukup sederhana
dalam ukuran, namun tanpak mewah dalam tampilannya. Bangunan itu dipagar bedi
setinggi dua meter sebagai pintu masuk menuju halamannya yang beralaskan rumput
dan taman penuh tanaman dan bunga indah.
Naruto mengangguk, member arahan agar Hinata masuk. “Terima
kasih atas hadiah dan waktunya,” ujarnya lembut dan tulus. “Aku suka Hinata,
kuharap Hinata juga begitu.”
Kembali pada sifat aslinya, dengan menggenggam erat satu
besi pada pagar rumahnya, wajahnya bersemu sekali lagi. Andai si Hyuuga itu
tahu, jantung Naruto juga sebenarnya berdegup lumayan kencang menunggu jawaban
Hinata.
Deg deg … Deg deg …
“Terima kasih. Aku juga menyukai Naruto-kun, kok.”
Owari
Fuh, biasa banget, ya, ceritanya -_- Oke, maaf kalau nggak
terlalu spesial banget. Apalagi bahasanya nggak terlalu indah-indah banget.
Iya, jelek maksudnya. Saya perlu latihan lagi.
And as usual, HAPPY BIRTHDAY, NARUTO-NIISAN alias abang dua
dimensi sayah~ Miris juga sama kabar kalo Naruto mati di Boruto, hiksu, belum
bisa baca… T_T Pokoknya langgeng terus bareng Hime-sama dan BoruHima, deh X’D
P.S (ga terlalu penting): Fisika kelas 12 susah ga, sih? Kok
saya gagal paham terus, ya? Apa karena pengaruh cara guru mengajar?
P.S.S: Maaf banget udah telat 13 hari, set dah, hampir dua
minggu, gegara sekolah dan bimbel TAT
Comments
Post a Comment