Lari-Lari Berfaedah (Naruto Fanfiction)
![]() |
pixabay.com/PIX1861 |
[drabble] Wuuush, aku langsung berlari dengan langkah seribu, mengejar dia. Di luar sangat terik, dirinya pun tak tampak. Aku lanjut berlari, tak peduli saat dilihat dengan ekspresi bingung oleh orang-orang. / Happy Birthday, Hinata-Hime~
Rated: K+ - Romance - Naruto U.,
Hinata H. - Words: 948 - id: 12774994
.
Lari-Lari Berfaedah
Naruto © Masashi Kishimoto
Kisah
ini terjadi saat upacara kelulusan angkatan kami. Saat itu, kelasku sedang
melakukan foto bersama seusai upacara. Dari atas panggung tempat kami berfoto,
aku melihatnya. Dia sedang merapikan bangku-bangku yang kami duduki tadi. Sudah
hampir selesai, tapi kelasku masih saja sibuk menentukan pose berfoto yang pas.
Mataku terus mencuri pandang padanya, berjaga-jaga kalau dia akan keluar dari
ruangan ini.
Ah,
dia duduk! Aduh, mataku harus melihat ke kamera, nih. Eh, eh, dia sudah
beranjak lagi. Tangannya ditarik oleh seorang teman untuk keluar. Hei, hei,
tunggu! Huh, cepatlah menentukan posisi dan memotret!
Klik!
"Yooo,
sudah selesai!"
Wuuush,
aku langsung berlari dengan langkah seribu, mengejar dia. Di luar sangat terik,
dirinya pun tak tampak. Aku lanjut berlari, tak peduli saat dilihat dengan
ekspresi bingung oleh orang-orang.
Drap! Drap!
Drap! Drap!
Naik
ke lantai dua, dan dia tidak ada. Kelasnya di lantai tiga. Dia berjalan
sekencang itu? Tidak mungkin. Kalau saja berjalan kencang, setidaknya masih
terlihat berjalan di tangga atau di lorong lantai dua ini. Huft, masuk ke kelas
saja, deh.
Nafasku
tersengal-sengal. "Huaaa, aku ditinggaaal." Padahal sudah
berlari-lari, kok tidak terkejar, ya? Sepertinya sia-sia adegan seperti di
film-film tadi kulakukan.
Aku
mendaratkan dagu di meja paling depan. Papan tulis telah bercoret-coret cantik
dengan tulisan semacam 'selamat atas kelulusannya!'. Ah, ini hari terakhir
melihatnya di sekolah. Terakhir memperhatikannya dari lantai dua menuju arah
jam dua di lantai tiga. Terakhir berjumpa dan berbicara secara langsung,
seharusnya. Argh, dia ke mana, sih? Langsung masuk ke kelas? Tidak ada orang
yang mau ia beri selamat khusus untuk angkatan kami? Hah?
Kosong sekali, ya, kelas ini. Apakah aku akan merindukan saat-saat kami bersama di sini? Berjuang bersama? Berjuang saling mencontek? Berjuang tidak membuat guru marah? Berjuang demi ujian akhir yang benar-benar serius? Berjuang berkomunikasi dengan dia? Sedih juga, ya. Hahaha.
Kosong sekali, ya, kelas ini. Apakah aku akan merindukan saat-saat kami bersama di sini? Berjuang bersama? Berjuang saling mencontek? Berjuang tidak membuat guru marah? Berjuang demi ujian akhir yang benar-benar serius? Berjuang berkomunikasi dengan dia? Sedih juga, ya. Hahaha.
Bagaimana
keadaan di luar, ya? Apakah banyak yang memberikan kancing ke duanya? Apakah
teman-teman sekelasku banyak menerima bunga? Apakah mereka berfoto dengan
guru-guru favorit mereka? Aku ingin melihatnya dari atas sini, selayaknya saat
aku masih menjadi adik kelas tahun lalu, dan aku ingin melihatnya juga sebagai
bagian dari mereka saat ini.
Tap tap
Tap tap
Aku
menggeser pintu kelas dan ...
Wuuush
...
Deg!
"Eh?!" seruku, spontan. Barusan dia lewat, tepat di hadapanku, tak sampai semeter. Dia tak melihatku? Memang, tadi ada adik kelas yang juga berlari di antara kami, entah sedang mengejar apa. Tapi, tapi, tidakkah ekor matanya menangkap ragaku di samping kirinya?
Aku berdiri menatap punggungnya yang semakin mengecil. Haruskah kurelakan dia pergi begitu saja? Haruskah perasaan ini melayang sia-sia? Astaga, belum tentu kami akan berkomunikasi sekali-sekali setelah aku menapak keluar dari sekolah ini. Jangan langsung hilang, dong. Kita baru kenal setahun, 'kan?
Deg!
"Eh?!" seruku, spontan. Barusan dia lewat, tepat di hadapanku, tak sampai semeter. Dia tak melihatku? Memang, tadi ada adik kelas yang juga berlari di antara kami, entah sedang mengejar apa. Tapi, tapi, tidakkah ekor matanya menangkap ragaku di samping kirinya?
Aku berdiri menatap punggungnya yang semakin mengecil. Haruskah kurelakan dia pergi begitu saja? Haruskah perasaan ini melayang sia-sia? Astaga, belum tentu kami akan berkomunikasi sekali-sekali setelah aku menapak keluar dari sekolah ini. Jangan langsung hilang, dong. Kita baru kenal setahun, 'kan?
"HINATAAA!"
Sekali lagi, spontan. Jantungku berdegup tak karuan. Durasi antara gendang
telinga Hinata menangkap suaraku sampai ia menoleh ke arahku diisi dengan
ingatan bersamanya. Meminjamkan pensil saat dia tes masuk, mengajarinya suatu
materi secara empat mata walau hanya sekali saja sampai detik ini,
meminjamkannya buku catatan untuk jadi panduan, menemaninya membeli buku, mengantarnya
pulang--Ah, semua berputar di kepala dengan begitu manis.
Senyumku
mengembang saat pandangannya tepat mengarah padaku. Kakiku tak tahan untuk
melangkah menuju dia. Ia menunggu dengan senyum malaikatnya. Hatiku hangat
sekali menatapnya. Kedua temannya tertangkap olehku meninggalkan Hinata yang
masih tersenyum polos begitu. "Hai," sapaku, masih dengan jantung
berdegup. "Kukira aku ditinggal olehmu." laporku singkat, padat, dan
jelas.
"Hah?"
"Setelah dari ruang olahraga, kamu ke mana?"
"Setelah dari ruang olahraga, kamu ke mana?"
"Toilet."
"Hahaaa," tawaku tanggung. Jelas tanggung. Berlebihan sekali perkiraanku tadi. Setelah mendengar kenyataannya, sungguh garing. Naruto, kau berlebihan, sumpah. Yah, berharap pada Hinata mungkin mustahil, tapi aku akan mencobanya. Semoga dia juga punya perasaan yang sama. "Kamu..." Aku melepas kancing ke dua seragamku dan mengulurkan benda itu padanya. "Mau menerima perasaanku?"
"Hahaaa," tawaku tanggung. Jelas tanggung. Berlebihan sekali perkiraanku tadi. Setelah mendengar kenyataannya, sungguh garing. Naruto, kau berlebihan, sumpah. Yah, berharap pada Hinata mungkin mustahil, tapi aku akan mencobanya. Semoga dia juga punya perasaan yang sama. "Kamu..." Aku melepas kancing ke dua seragamku dan mengulurkan benda itu padanya. "Mau menerima perasaanku?"
Ah,
begini. Jadi, daripada membuatku menunggu sampai Hinata menyampaikan
perasaannya terlebih dahulu, lebih baik aku mulai duluan saja. Aku tidak ingin
ada yang mengambil Hinata sebelum aku mengungkapkan perasaanku duluan. Aku
harus tahu jawabannya dulu, baru ia boleh bersama yang lain. Egois? Daripada
itu, lebih mengarah ke penasaran, sih. Haha.
"Ano..."
"Eh, eh, kenapa matamu berair?" panikku, menangkap genangan air di pelupuk matanya. "Aku-aku tidak membuatmu bersedih, 'kan? Maaf kalau selama ini perbuatanku membuatmu kesal!" Aduh, aku melakukan apa, sih? Bodoh, Naruto! Bodoooh!! "Ya, ampun, aku tidak punya tisu, nih. Maaf, ya, maaf!" Aku membungkuk-bungkuk takut di hadapannya. Takut, apakah ini bentuk penolakan? Aku, sih, berharap, dia bersedih karena tidak akan bertemu denganku lagi setelah ini, hihi. Dasar, Naruto bodoh dan licik.
"Ano..."
"Eh, eh, kenapa matamu berair?" panikku, menangkap genangan air di pelupuk matanya. "Aku-aku tidak membuatmu bersedih, 'kan? Maaf kalau selama ini perbuatanku membuatmu kesal!" Aduh, aku melakukan apa, sih? Bodoh, Naruto! Bodoooh!! "Ya, ampun, aku tidak punya tisu, nih. Maaf, ya, maaf!" Aku membungkuk-bungkuk takut di hadapannya. Takut, apakah ini bentuk penolakan? Aku, sih, berharap, dia bersedih karena tidak akan bertemu denganku lagi setelah ini, hihi. Dasar, Naruto bodoh dan licik.
"Maaf..."
Suara Hinata bergetar. Saat aku tegak lagi karena kata maafnya, dia sudah
membungkuk juga. "Aku... juga punya perasaan yang sama..." Hm, hm,
hm, tahan teriakanmu, Naruto, tahan! "Aku sedih sekali karena tidak akan
bertemu dengan Naruto-kun lagi di sini... Masih lama lagi sampai kita bisa
beraktivitas bersama di luar sekolah." Hah, hah, astaga, jantungku, akan
meledak, saking senangnya.
Aku
mengangkat pundaknya agar tegak kembali. Kujulurkan mata kancing seragamku
padanya. Ia meraihnya dan menggenggamnya erat di dadanya. Air matanya terus
mengalir. Dengan kurang ajarnya, aku malah senang melihat itu. Dia benar-benar
bersedih karena kehilanganku dari kegiatan sehari-harinya di sekolah. Aku...
lega. Perasaan ini terbalas.
Masalahnya,
bagaimana cara menghapus air terjun di pipinya itu? Apa aku punya sapu tangan,
ya? Duh, duh, Hinata, tolong tahan isak tangismu. Itu membuat air matamu
mengalir lebih kencang. Selagi aku merogoh-rogoh kantung seragamku, dan...
"Waaah, adaaa!" teriakku sumringah. Kuusapkan perlahan kain lembut ini
di pipi Hinata. Bahagia sekali bisa menyalurkan perasaan sayang langsung,
memang. Kuberikan juga sapu tangan itu untuknya sebagai kenang-kenangan.
Yang terpenting, lari-lari tadi berfaedah juga, ya. Kalau tidak berlari, mungkin Hinata sudah benar-benar masuk ke kelasnya.
Yang terpenting, lari-lari tadi berfaedah juga, ya. Kalau tidak berlari, mungkin Hinata sudah benar-benar masuk ke kelasnya.
Selesai
Fic kilat tiga puluh menit! Tulus ketemu polos, jadilah! XDD
Otanjoubi omedetou buat Hinata-Hime.
Untuk Gibus, temen saya, dan untuk kembar Okumura, Rin dan Yukio~~
Maaf jelek banget, tapi hidup
NaruHinaaa!!
Comments
Post a Comment