Mental Sekeras Baja

Pixabay.com/Olichel

Bagaimana rasanya tinggal serumah dengan seorang berpenyakit jiwa?

Menakutkan? Atau malah menantang? Melatih mental?

...Bagaimana jika orang itu adalah pamanmu—kakak laki-laki dari ayahmu—sendiri?

Umurnya sudah 60an tahun. Dia adalah orang yang berpenyakitan sejak kecil. Dia tak punya istri dan saudara-saudara ayahmu yang lain tak mau merawatnya. Maka, dia menjadi anggota keluargamu di rumah yang sama. Kau telah hidup bersamanya sejak lahir. Masa kecil sampai setahun sebelum sweet seventeen. Dia di'titip'kan ke ayah dan ibumu, sebab saudara ayahmu yang lain—yang lebih mapan—beralasan tak sempat mengurusnya. Mereka bilang, anak-anak orangtuamu masih kecil, maka yang terjadi adalah seperti itu.

Apakah masih tetap menakutkan? Kasihan? Merasa dirimu terkutuk? Atau malah membencinya?

...Bagaimana jika penyakitnya itu kambuh?

Memang seperti penyakit bawaan lain, sewaktu-waktu dia akan kambuh. Di saat kambuh, dia akan mengamuk, berteriak, mengoceh tidak jelas sambil marah-marah—seakan-akan dia seperti bisa melihat hal gaib, bahkan menghentakkan sesuatu ke barang-barang yang ada di dekatnya; Menumbuk lemari, membanting pintu, melempar kursi. Ah, tak lupa dengan kata-kata kasar, kebun binatang, serta kalimat tak senonoh lainnya.

...Bagaimana jika kau sendirian di rumah, tiba-tiba penyakitnya kambuh?

Di saat sedang asyik menggumamkan suatu lagu kesukaanmu sambil mengerjakan tugas, tiba-tiba ia berteriak dengan keras sekali. Kau terkejut. Spontan, jantungmu berdegup kencang karena teriakannya berisi kalimat mendiamkan seseorang. Padahal, saat itu di rumahmu hanya ada dia dan dirimu saja.

Teriakannya semakin menjadi-jadi. Suaranya keras sekali. Seakan-akan, semua roh-roh gentayangan mengganggu rumahmu, jadi dia menyuruh semuanya diam. Kau sendirian di rumah; Orangtuamu masih bekerja, adikmu atau saudaramu masih keluyuran entah ke mana. Kau menghadapinya sendiri. Kau masih ketakutan dalam diam sekalipun sudah menghubungi orangtuamu untuk pulang.

Memanggil orangtuamu secara paksa? Menghubunginya berkali-kali agar pulang dengan kecepatan penuh?

...Bagaimana jika penyakitnya kambuh secara klimaks?

Suara teriakan seorang ibu saat anak satu-satunya dibunuh tepat di depan matanya—kira-kira volumenya sebesar itu. Masih wajar kalau seperti itu kejadiannya. Lain hal dengan teriakan "DIAAAM!" yang ditujukan pada dinding atau langit-langit rumah. Kau tak mengerti dengan itu. Jantungmu berdegup kencang karena dia mengamuk, melempar barang-barang, memukul lemari, dan volume suaranya seperti caci maki seorang ibu yang anak polosnya terjerumus ke narkoba.

Semua kata-kata kasar, kebun binatang, dan kalimat tak senonoh kembali terdengar. Kau takut kejadian lama itu akan terulang; Kau bertanya 'kenapa' padanya, lalu dia balas membentak dengan keras terhadapmu. Bukannya apa-apa, kau menangis saat itu hanya karena terkejut. Jadi, kau hanya bisa diam, tak berani menatapnya, dan diam-diam menjadi galau memikirkan pikiran tetangga-tetangga tentang kalian, terkhusus dia.

Dua saudara ayahmu datang ke rumah untuk meredam emosinya yang masih misterius. Kau yakin, ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba mengamuk seperti itu, tapi kau tak tahu kenapa. Sebelumnya kau sudah tahu kalau dia kambuh tiba-tiba, pasti dikarenakan ada keinginannya yang tak terpenuhi, ataupun ada sedikit tekanan yang mengganggunya.

Tapi, bagaimana dengan ini? Apa yang membuatnya sangat mengamuk? Keadaan sekitar? Atau... Ah, iya. Ternyata memang itu.

Entah mengapa kau sangat yakin dengan itu. Keadaan sekitar lah yang membuatnya mengamuk. Bagaimana tidak, teras rumahmu yang terbuka tanpa gerbang disinggahi oleh anak-anak kecil tetangga. Mereka bermain, membuat keributan, dan berteriak-teriak sampai menangis tidak jelas karena alasan kanak-kanak. Kau sempat terganggu dan emosi dengan itu tempo hari, namun sudah terbiasa dan trauma dengan kelelahan saat mendiamkan mereka. Tapi tidak dengan dia. Kau tambah kesal dengan anak-anak yang kauanggap bodoh itu akan membuat dia mengamuk. Kau tak ambil pusing jika mereka bermasalah padamu, tapi tidak jika mereka bermasalah pada dia.

Keadaan sekitar. Anak-anak bodoh itu. Mereka lah yang bersalah. Kau mengutuk orangtua mereka. Kau kesal, tak tahu harus berbuat apa pada mereka. Sindiran level anak SD pun tak mempan di telinga mereka. Kau tahu bahwa orangtua mereka (mungkin) tak bersalah. Hanya karena mereka melakukan kegiatan tak berguna itu di terasmu—mereka menganggap terasmu seperti tempat bermain mereka—, kau menyalahkan orangtua mereka. Mungkin masih bisa diwajarkan jika siang hari. Tapi, malam hari—malam hari pun mereka membuat keributan bodoh itu. Sekarang yang bersalah siapa? Mereka? Orangtua mereka? Keduanya? Atau Tuhan mereka?

Kesal? Sedih? Senang? Merasa diri terkutuk? Merasa kuat?

...Bagaimana mentalmu saat menghadapi kata-kata kasarnya?

Asumsikan kau adalah seorang dengan pendidikan yang bagus. Kau termasuk orang yang taat aturan tanpa harus diingatkan. Semua orangtua pasti melarang anaknya untuk mengucapkan itu, tak terkecuali dirimu. Faktanya, tanpa disuruh pun, kau tidak akan mengikuti kata-kata kasar itu karena memang tidak dibiasakan olehmu dan keluargamu, sekalipun sedang dalam keadaan emosi. Jadi, sekalipun dia mengucapkan itu berulang-ulang saat kambuh, kau tak akan pernah bisa menirunya. Ala bisa karena biasa. Mungkin kau hanya mengucapkannya di dalam hati, jadi kau hanya bisa menggeram saat emosi.

Tapi, bagaimana jika teman-teman laki-lakimu di sekolah juga terbiasa mengucapkan kata-kata kasar itu?

Kau akan tetap tenang menghadapinya, karena memang dirimu tidak terbiasa. Mungkin kau hanya akan membalas dengan kalimat berisi kekesalan lain yang lebih lazim, bukan yang kasar.

...Mungkinkah kehadiran seorang berpenyakit jiwa dengan 'hobi' mendadak mengamuk secara misterius sampai mengganggu tetangga di rumahmu akan membentuk mental sekeras baja di dalam dirimu?

Koyuki Uzumaki © 12 Oktober 2015

Comments

POPULAR POSTS

About Me!

Space Journey~