Mental Sekeras Baja
Menakutkan?
Atau malah menantang? Melatih mental?
...Bagaimana jika orang
itu adalah pamanmu—kakak laki-laki dari ayahmu—sendiri?
Umurnya
sudah 60an tahun. Dia adalah orang yang berpenyakitan sejak kecil. Dia tak
punya istri dan saudara-saudara ayahmu yang lain tak mau merawatnya. Maka, dia
menjadi anggota keluargamu di rumah yang sama. Kau telah hidup bersamanya sejak
lahir. Masa kecil sampai setahun sebelum sweet
seventeen. Dia di'titip'kan ke ayah dan ibumu, sebab saudara ayahmu yang
lain—yang lebih mapan—beralasan tak sempat mengurusnya. Mereka bilang,
anak-anak orangtuamu masih kecil, maka yang terjadi adalah seperti itu.
Apakah
masih tetap menakutkan? Kasihan? Merasa dirimu terkutuk? Atau malah
membencinya?
...Bagaimana jika
penyakitnya itu kambuh?
Memang
seperti penyakit bawaan lain, sewaktu-waktu dia akan kambuh. Di saat kambuh,
dia akan mengamuk, berteriak, mengoceh tidak jelas sambil marah-marah—seakan-akan
dia seperti bisa melihat hal gaib, bahkan menghentakkan sesuatu ke
barang-barang yang ada di dekatnya; Menumbuk lemari, membanting pintu, melempar
kursi. Ah, tak lupa dengan kata-kata kasar, kebun binatang, serta kalimat tak
senonoh lainnya.
...Bagaimana jika kau
sendirian di rumah, tiba-tiba penyakitnya kambuh?
Di
saat sedang asyik menggumamkan suatu lagu kesukaanmu sambil mengerjakan tugas,
tiba-tiba ia berteriak dengan keras sekali. Kau terkejut. Spontan, jantungmu
berdegup kencang karena teriakannya berisi kalimat mendiamkan seseorang.
Padahal, saat itu di rumahmu hanya ada dia dan dirimu saja.
Teriakannya
semakin menjadi-jadi. Suaranya keras sekali. Seakan-akan, semua roh-roh gentayangan
mengganggu rumahmu, jadi dia menyuruh semuanya diam. Kau sendirian di rumah;
Orangtuamu masih bekerja, adikmu atau saudaramu masih keluyuran entah ke mana.
Kau menghadapinya sendiri. Kau masih ketakutan dalam diam sekalipun sudah
menghubungi orangtuamu untuk pulang.
Memanggil
orangtuamu secara paksa? Menghubunginya berkali-kali agar pulang dengan
kecepatan penuh?
...Bagaimana jika
penyakitnya kambuh secara klimaks?
Suara
teriakan seorang ibu saat anak satu-satunya dibunuh tepat di depan matanya—kira-kira
volumenya sebesar itu. Masih wajar kalau seperti itu kejadiannya. Lain hal
dengan teriakan "DIAAAM!" yang ditujukan pada dinding atau
langit-langit rumah. Kau tak mengerti dengan itu. Jantungmu berdegup kencang
karena dia mengamuk, melempar barang-barang, memukul lemari, dan volume suaranya
seperti caci maki seorang ibu yang anak polosnya terjerumus ke narkoba.
Semua
kata-kata kasar, kebun binatang, dan kalimat tak senonoh kembali terdengar. Kau
takut kejadian lama itu akan terulang; Kau bertanya 'kenapa' padanya, lalu dia
balas membentak dengan keras terhadapmu. Bukannya apa-apa, kau menangis saat
itu hanya karena terkejut. Jadi, kau hanya bisa diam, tak berani menatapnya,
dan diam-diam menjadi galau memikirkan pikiran tetangga-tetangga tentang
kalian, terkhusus dia.
Dua
saudara ayahmu datang ke rumah untuk meredam emosinya yang masih misterius. Kau
yakin, ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba mengamuk seperti itu, tapi kau tak
tahu kenapa. Sebelumnya kau sudah tahu kalau dia kambuh tiba-tiba, pasti
dikarenakan ada keinginannya yang tak terpenuhi, ataupun ada sedikit tekanan
yang mengganggunya.
Tapi, bagaimana dengan
ini? Apa yang membuatnya sangat mengamuk? Keadaan sekitar? Atau... Ah, iya.
Ternyata memang itu.
Entah
mengapa kau sangat yakin dengan itu. Keadaan sekitar lah yang membuatnya
mengamuk. Bagaimana tidak, teras rumahmu yang terbuka tanpa gerbang disinggahi
oleh anak-anak kecil tetangga. Mereka bermain, membuat keributan, dan
berteriak-teriak sampai menangis tidak jelas karena alasan kanak-kanak. Kau
sempat terganggu dan emosi dengan itu tempo hari, namun sudah terbiasa dan
trauma dengan kelelahan saat mendiamkan mereka. Tapi tidak dengan dia. Kau
tambah kesal dengan anak-anak yang kauanggap bodoh itu akan membuat dia
mengamuk. Kau tak ambil pusing jika mereka bermasalah padamu, tapi tidak jika
mereka bermasalah pada dia.
Keadaan
sekitar. Anak-anak bodoh itu. Mereka lah yang bersalah. Kau mengutuk orangtua
mereka. Kau kesal, tak tahu harus berbuat apa pada mereka. Sindiran level anak
SD pun tak mempan di telinga mereka. Kau tahu bahwa orangtua mereka (mungkin)
tak bersalah. Hanya karena mereka melakukan kegiatan tak berguna itu di terasmu—mereka
menganggap terasmu seperti tempat bermain mereka—, kau menyalahkan orangtua
mereka. Mungkin masih bisa diwajarkan jika siang hari. Tapi, malam hari—malam
hari pun mereka membuat keributan bodoh itu. Sekarang yang bersalah siapa?
Mereka? Orangtua mereka? Keduanya? Atau Tuhan mereka?
Kesal?
Sedih? Senang? Merasa diri terkutuk? Merasa kuat?
...Bagaimana mentalmu saat
menghadapi kata-kata kasarnya?
Asumsikan
kau adalah seorang dengan pendidikan yang bagus. Kau termasuk orang yang taat
aturan tanpa harus diingatkan. Semua orangtua pasti melarang anaknya untuk
mengucapkan itu, tak terkecuali dirimu. Faktanya, tanpa disuruh pun, kau tidak
akan mengikuti kata-kata kasar itu karena memang tidak dibiasakan olehmu dan
keluargamu, sekalipun sedang dalam keadaan emosi. Jadi, sekalipun dia
mengucapkan itu berulang-ulang saat kambuh, kau tak akan pernah bisa menirunya.
Ala bisa karena biasa. Mungkin kau
hanya mengucapkannya di dalam hati, jadi kau hanya bisa menggeram saat emosi.
Tapi, bagaimana jika
teman-teman laki-lakimu di sekolah juga terbiasa mengucapkan kata-kata kasar
itu?
Kau
akan tetap tenang menghadapinya, karena memang dirimu tidak terbiasa. Mungkin
kau hanya akan membalas dengan kalimat berisi kekesalan lain yang lebih lazim,
bukan yang kasar.
...Mungkinkah
kehadiran seorang berpenyakit jiwa dengan 'hobi' mendadak mengamuk secara
misterius sampai mengganggu tetangga di rumahmu akan membentuk mental
sekeras baja di dalam dirimu?
Koyuki Uzumaki © 12 Oktober 2015
Comments
Post a Comment