Jedai untuk Naruto (Naruto Fanfiction)
Ini, 'kan, hari ulang tahun Hinata. Kenapa judulnya 'untuk Naruto? - Berawal dari jedai, berakhir dengan forehead-kiss. Aww, manis sekali hadiah ulang tahun dari Naruto untuk Hinata kali ini./Yeyey, birthday fic untuk Hime-chan!
Rated: K+ - Indonesian - Romance - Naruto U., Hinata H. - Words: 1,534 - Status: Complete - id: 11693780
DISCLAIMER | Naruto (C) Masashi Kishimoto
...
Jedai untuk Naruto
Jedai? Jepit badai?
Jepit rambut dengan model serupa yang sering dipakai kaum hawa belakangan ini?
Sebenarnya semua
jepit rambut sama saja. Tapi, yang bentuknya agak gendut dan tidak memanjang
itu sedang populer di kalangan cewek. Hinata ingin memberikannya pada Naruto,
seorang cowok anak basket yang disukainya sejak lama.
...Tunggu! Untuk
apa Hinata memberikan jedai pada Naruto? Dalam rangka apa? Lagipula, Naruto
bukan seorang cewek, 'kan?
"P-poni
Naruto-kun terlihat mengganggu setiap kali dia bermain..." jawab Hinata
malu-malu saat ditanya Sakura, satu-satunya orang yang diberitahunya soal ini.
"J-jadi... kupikir akan lebih baik j-jika dia menjepitnya pakai
jedai."
Sakura
mengernyitkan dahi mendengar jawaban Hinata tersebut. Kalau dipikir-pikir,
alasan itu masuk akal. Karena itu, ia ingin melihat seberapa mengganggunya poni
Naruto yang runcing-runcing itu di mata Hinata, sampai-sampai anak ini ingin
memberi jedai.
Sepulang sekolah,
Sakura berniat mengajak Hinata untuk melihat Naruto dan timnya latihan di
lapangan. Ia mencari-cari Hinata di kelasnya tepat setelah lonceng pulang
sekolah, namun cewek Hyuuga itu tak ada di kelasnya. Mungkin sudah pulang,
pikir Sakura. Ia pun pergi sendiri ke pinggir lapangan.
"Sakura-san!"
Hinata melambai dari sisi lapangan satunya, di dekat kumpulan ransel
cowok-cowok yang sedang latihan itu.
Sakura balas
melambai dan berlari menuju posisi Hinata. "Kukira kau sudah pulang."
Ia menghela nafas lega.
Hinata tersenyum.
"Sakura-san masih penasaran, ya?" tebaknya dengan tawa kecil.
Sakura mengangguk
cepat.
Suara decitan
karena gesekan antara lantai dan sepatu Naruto dkk sudah terdengar sejak tadi.
Iris jamrud Sakura mengarah pada mereka yang saling beradu untuk memasukkan
bola oranye ke dalam ring. Peluh mereka mulai bercucuran, mulai dari dahi,
hidung, pipi, leher, sampai tangan-tangan mereka yang (mungkin) kekar—karena
bagian ototnya masih tertutup oleh seragam sekolah.
Sakura segera auto-focus ke Naruto, terkhusus pada
daerah sekitar wajahnya. Tring! Naruto memang terlihat risih dengan poni
runcing-runcingnya. Bibirnya selalu meniup ke atas untuk menyingkirkan rumput
kuning terbalik yang menutupi seluruh dahinya. Terkadang, setelah siapapun
mencetak angka, Naruto menyapu dan menahan poninya di atas kepala. Hal itu
membuat ia sering ketinggalan merebut bola atau gagal menangkap operan.
Sakura kesal
sendiri melihatnya. Ia menoleh pada Hinata, namun si pemalu itu berbicara
duluan, "Dulu Naruto-kun punya bandana—a-atau ikat kepala karet apa
namanya itu, tapi sudah hilang," jelasnya. "Entah kenapa kupikir
jedai lebih baik." Hinata mengangkat bahu.
Sakura mengangguk
paham. "Ehm, Hinata, kenapa kau sudah ada di sini lebih cepat
dariku?" Ia mulai curiga ada apa-apa soal perasaan Hinata ke Naruto.
Hinata sendiri
malah blushing. "A-a-aku...
Aku..."
"Kenapa?"
Sakura menatap Hinata lekat-lekat. Jelas ia memaksa Hinata untuk memberi
jawaban yang sebenar-benarnya.
"A-aku...
d-disuruh Naruto-kun untuk menunggunya... s-sampai pulang..."
Hah? Apa? Demi apa
Naruto menyuruh seorang cewek berkorban menungguinya pulang? Laki-laki macam
apa itu? Kenapa juga Hinata mau menuruti permintaan bodoh itu?
Jawaban yang
sedikit mencurigakan memang. "Kau... menyukai Naruto?" tanya Sakura
memastikan.
Sss... Hinata blushing lagi.
Nah, Sakura sudah
tahu jawabannya! "Ahahaha, oke oke, tidak perlu dijawab sekarang,"
ujarnya menenangkan. "Semangat menunggunya, ya!" Sakura menepuk-nepuk
pundak Hinata. Ia ingin pulang duluan karena rasa penasarannya telah
terhapuskan. "Semangat juga memberi jedainya! Aku pulang duluan, ya!
Daaah!" Sakura berlari pulang sambil melambai.
...
Sekolah sudah sepi.
Hinata menunggu Naruto di dekat gerbang. Saat bocah berambut duren itu lewat di
depan Hinata, ia hanya melihatnya lalu lanjut mendorong sepedanya tanpa menyapa
Hinata.
"A-ah, tidak
disapa sama sekali." gumam Hinata pelan sambil menunduk. Ia membalikkan
tubuh ke arah lapangan.
"Apa?"
Hinata tersentak.
"E-eh, b-bukan apa-apa, Naruto-kun!" Ia mengeluarkan tawa paksa untuk
menutupi salah tingkahnya.
"Oh,
iya," Naruto memutar balik sepedanya, mendekati Hinata yang bersembunyi di
tembok bagian dalam. "Jedainya sudah ada?"
Bahu Hinata
terangkat lagi karena kaget. Ia menghadap ke Naruto, tapi tak berani melihatnya.
"S-sudah!" Cepat-cepat dirogohnya isi ransel ungu yang semula ada di
punggungnya itu. "I-ini, Naruto-kun!" katanya sambil mengulurkan
tangan dan tetap menunduk.
Naruto menyandarkan
sepedanya di tembok. "Hinata! Jepitkan itu di poniku, dong!"
"...H-hah?"
Hinata mengangkat kepalanya, terbelalak. Sinar mentari sore yang serupa warna
jedai dari Hinata menyilaukan mata Hinata. Ia menutup manik tak berpupil itu
dengan punggung tangan kirinya. "
Naruto mengangguk
seraya menunjukkan poninya. Ia bergeser sedikit untuk menghalangi cahaya yang
membuat Hinata merasa silau—jelas, karena Naruto lebih jangkung daripada gadis
manis di depannya itu.
Hinata menurunkan
tangannya kembali. Tangan kanannya memainkan jedai yang sedari tadi masih
dipegangnya. "K-kau serius, Naruto-kun?" tanyanya yang tentunya tidak
yakin dengan permintaan Naruto (yang lagi-lagi) mengejutkan itu. Laki-laki
memang sering frontal, tak tanggung-tanggung. Terkadang ini membuat lawan jenis
sering tak bisa menebak isi hati dari para lelaki, ya!
"He-em!"
"T-tapi..."
"Ayolah!"
paksanya dengan wajah memelas. Memelas! Ada apa dengan Naruto? "Sekali
saja!" tekannya kemudian mengatupkan kedua telapak tangan, seperti
memohon. Hei, ada yang salah denganmu, Naruto!
Hinata memejamkan
mata, lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Rona merah di pipi memang tak bisa
dielakkan lagi. Namun, mau tak mau harus melakukannya.
Kembali Hinata
membuka matanya dan bersiap untuk 'melayani' orang yang bahkan bukan
siapa-siapanya—Yah, hanya seorang teman, 'kan, sekalipun Hinata mengaguminya
sejak dulu, sekalipun Naruto sering meminta Hinata untuk menunggunya hingga
selesai latihan basket?
Hinata tersenyum
canggung, Naruto balas dengan cengiran tak berdosanya. Cowok Uzumaki itu
menekuk lututnya sedikit agar tingginya sama dengan Hinata—atau setidaknya
Hinata bisa menjangkau dahinya. Ia juga turut memejamkan mata untuk menghindari
salah fokus. Ada yang bisa menebak?
'Berjuang, Hinata! Kau pasti bisa! Jangan sampai
tanganmu bergetar, lalu salah jepit! Memalukan, tahu!'
Dengan semangat
juang supaya tangannya tak bergetar, Hinata perlahan mengumpulkan seluruh poni
yang melintang di dahi Naruto di tangan kirinya. Setelah itu, semua
disatukannya di atas kepala Naruto tepat di bagian tengahnya, dan terakhir ia
jepit dengan jedai.
Hinata mundur
perlahan. Sebenarnya, bulir-bulir keringat grogi sudah membasahi dahi dan
lehernya, tapi untung saja poni menutupi dahinya. Ia menunggu reaksi Naruto
dengan takut.
Naruto yang sudah
berdiri normal memegang-megang hasil kerja Hinata. "Hm, kalau seperti ini,
main basket bisa lebih tenang. Terima kasih, ya, Hinata!"
Gadis Hyuuga itu
membungkuk. "S-sama-sama, Naruto-kun!"
"Oh,
iya," Naruto menjentikkan jari. "Karena kau sudah memberiku jedai,
aku mau balas memberi sesuatu." ucapnya misterius.
Hinata menegakkan
tubuhnya kembali. 'Kira-kira, Naruto-kun
akan mengatakan hal yang mengejutkan lagi atau apa?' batinnya dengan wajah
tegang, tepat seperti anak buah yang sedang menanti keputusan dari bos
besarnya.
"Coba tutup
matamu."
Hinata terkejut lagi
untuk ke sekian kalinya.
Naruto tertawa.
"Bukan, bukan. Aku tidak mau berbuat macam-macam, kok!" tegasnya.
Tubuh Hinata mulai
memanas. Jantungnya berdegup lebih kencang. Otot-ototnya kaku. Pikirannya
kacau. Tangannya mulai bergetar lagi, tapi ia paksakan untuk menuruti apa kata
Naruto barusan.
Gelap. Namun,
Hinata bisa melihat betapa tak terkendali sistem kerja otaknya saat ini. Takut,
grogi, nyaman, malu, senang. Semuanya bercampur jadi satu. Ia menunggu apa aksi
Naruto berikutnya.
Set
Naruto mengangkat
poni Hinata. Di dahi mulus itu telah menempel ratusan bulir keringat. Tangan
Naruto menyeka semua air asin itu cepat sampai dahi Hinata kering seperti
biasa. Warna kepiting rebus memenuhi wajah Hinata, tapi Naruto tak
menghiraukannya. Ia malah tersenyum puas. Ia menurunkan poni Hinata, memegang
atas kepalanya, lalu...
Naruto mendekatkan
wajahnya dengan wajah Hinata dan mencium pelan dahi sang gadis. "Selamat
ulang tahun, ya," bisiknya kemudian. "Kau sudah bisa buka mata, kok!
Hehe..."
Tamatlah sudah
Hinata. Dirinya jatuh terduduk di tanah dengan wajah super merah.
Naruto buru-buru
jongkok karena panik. "K-kau tak apa-apa, Hinata?! Apa perlu kuantar
pulang—Ah, bodoh! Memang harus diantar pulang, Naruto bodoh!" Ia menepuk
dahinya sendiri.
"T-tidak usah,
Naruto-kun!" cegah Hinata. "A-aku pulang sendiri saja. N-nanti
bisa... P-pokoknya aku bisa pulang sendiri, kok!" Ia bangkit berdiri dan
merapikan roknya. "N-Nah, aku tidak apa-apa, 'kan? T-erima kasih
ucapannya, ya!"
Naruto menggeleng.
"Sudahlah, aku antar saja, ya. Hitung-hitung, aku memberi kebaikan saja
sebagai hadiahku untukmu." Ia melempar cengiran lagi.
"Bertemu
denganmu saja aku sudah bahagia, kok," sahut Hinata jujur, kali ini
memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya. "Aku bisa melihatmu
senang, itu juga merupakan kebahagiaan untukku. Naruto-kun yang selalu
mempercayakanku untuk menolongmu juga membuatku senang," Hinata menunduk
sebentar, lalu mendongak lagi. "Tahu, tidak, rasanya diberi kepercayaan
oleh orang yang kita kagumi? Bahagia, 'kan? Seperti itulah aku."
"Hee...?"
"N-Naruto-kun...
Aku bahagia di dekatmu... Terima kasih hadiah ulang tahunnya!" Senyum
Hinata mengembang bak malaikat. Angin semilir meliuk-liukkan rambut
lavendernya.
"Yosh!"
Naruto mengepalkan tangannya. "Aku diterima, bahkan sebelum
menanyakannya!" Ia meraih sepedanya dan menaikinya. "Sebagai tanda
terima kasih, ayolah pulang saja bersamaku, ya! Please!" Kakinya sudah
bersiap mengayuh.
Hinata tersenyum
lembut. Perasaan bahagia yang hangat menyusup ke dalam hatinya. Semuanya
terjadi begitu saja. Keberanian yang muncul tiba-tiba menghantarkannya pada
kebahagiaan bersama orang yang dikaguminya sejak lama. Hm, selamat, ya, Hinata!
Kaki langsing
Hinata melangkah mendekati boncengan sepeda Naruto. Pelan-pelan ia naik dan
duduk. Rasa deg-degan masih ada, namun bukan seperti yang dulu lagi; berharap.
Mungkin degupan semangat karena kebahagiaan yang melingkupi kedua insan itu.
"Siap?"
"Hm!"
Wuuush!
Dengan ini, Naruto
takkan sibuk lagi memperbaiki poninya yang mengganggu mata karena tiupan angin
saat mengayuh pedal sepedanya. Jedai dari Hinata telah menghapus gangguan itu.
Maka, sekarang Naruto pasti bisa mengantar Hinata tanpa hambatan sedikit pun.
Selamat berbahagia, ya, kalian!
Owaru
Bahasanya anak-anak
banget, ya? Cuma dua scene pula. Maaf. Padahal udah lima tahun jadi author,
tapi bahasanya begini-begini aja. Maaf, semuanya! OTZ
OTAN-OMEEE,
HINATA-HIMEEE! Semoga langgeng terus sama Naruto—etjieee udah canon kapalkuuuu!
XD Thx for MK-sensei! Thx for NHLs yang udah dukung NH dari awal menduga-duga
dan menunggu kepastian sampai canon! Kita akhirnya melewati masa-masa sulit dan
berujung kebahagiaan juga kayak ending fic ini, ya! 8'D
Okeee, segitu aja.
Jaa ne~
Comments
Post a Comment