Matematika, Mengajar, dan Bersyukur (Feature Human Interest)


Bangun, mengajar, pulang, istirahat. Seperti itulah kegiatannya setiap hari. Tidak jauh berbeda dengan rutinitas siswa yang diajarnya, pria kelahiran Temba, 28 Agustus 1986 ini memulai aktivitasnya pada pukul tujuh pagi dengan berangkat ke sekolah untuk sebuah tugas mulia demi masa depan anak-anak bangsa. Seusai mengajar di SMA Negeri 15 Medan, tempat ia mengajar secara tetap, tidaklah langsung kembali ke rumah. Tugas mulia tersebut dilanjutkan kembali pada pukul dua siang hingga malam menyapa, yakni pukul sembilan. Kalau rutinitas tersebut dilakukan pada hari Senin sampai Sabtu, maka pada hari Minggu, Pak Turian, sebagaimana ia biasa disapa oleh siswa dan rekan guru di sekolah, hanya beristirahat seharian dan beribadah ke gereja pada sore hari. Pada saat hari libur pun, ia hanya berdiam diri di rumah. Terkadang juga pergi ke luar dan berjalan-jalan bersama teman jika ada yang mengajak. Mungkin bagi sebagian pembaca, rutinitas tersebut sangatlah datar dan tidak bervariasi. Namun, Pak Turian terlihat santai saja dalam melewatinya dan tak tampak bosan ketika menceritakannya. Ia hanya mengutamakan tugas mulia sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, demi keberhasilan generasi muda sebagai pelajar yang berkualitas di masa yang akan datang dengan mengerahkan segala kemampuannya.
Sebagai seorang guru, Pak Turian Hasugian, begitu nama lengkapnya, sudah mulai mengasah kemampuan mengajarnya sejak menjadi mahasiswa, yaitu pada semester tiga. Tak tanggung-tanggung, kala itu ia sudah mengabdikan diri sebagai pengajar mata pelajaran matematika di sebuah bimbingan belajar. Perjuangannya untuk mencerdaskan anak bangsa tidak hanya berhenti sampai situ. Ia melebarkan sayap juga dengan mengajar privat saat semester lima dengan tetap menjadi seorang pengajar bimbingan belajar. Ia juga tak terlalu aktif pada kegiatan organisasi dan kepanitiaan di kampus saat menjadi mahasiswa. Satu organisasi yang pernah diikutinya ialah KMK UNIMED ketika menapaki masa semester dua, hanya itu saja. Tidak banyak yang bisa dilakukan secara intens saat itu karena kesibukan utamanya mengajar di bimbingan belajar. Tetapi ada hal baru yang boleh ia dapati saat itu, yakni pengenalan lebih cepat dan dekat pada senior dan junior. Satu hal yang boleh dikatakan positif dan bermanfaat untuk ke depannya.
Sebagai anak ke tujuh dari delapan bersaudara pula, Pak Turian mengatakan bahwa ia tidak memiliki motivasi khusus untuk menjadi seorang guru, sekalipun ia tetap menekuni pekerjaan ini sejak Januari 2010 hingga sekarang. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ia tak pernah berpikiran menjadi seorang guru. Mungkin karena sudah jodoh, candanya. Menurutnya, di zaman dulu, pekerjaan yang paling mudah untuk dicapai adalah menjadi guru. Memang, pada pilihan pertama seleksi perguruan tinggi, ia memilih kedokteran dan yang ke dua ialah guru. Karena tidak lulus di pilihan pertama, maka jadilah ia berkuliah pada jenjang strata I di jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan lulus pada tahun 2009.
Pak Turian tidak terlalu mahir dan mudah dalam mempelajari bahasa Inggris, sehingga dengan kemampuan mengajar dan pengetahuannya yang cukup luas, ia terhalang untuk mencoba beasiswa ke luar negeri. Akhirnya, pada tahun 2011, kembali ia berkuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mengambil jurusan Matematika Murni dan lulus pada tahun 2013.
Matematika adalah salah satu pelajaran yang ditakuti oleh siswa. Tidak begitu adanya dengan Pak Turian yang memang menyukai mata pelajaran mengerikan ini. Daripada fisika dan kimia yang juga terdapat hitung-menghitungnya, ia tetap memilih matematika oleh karena pelajaran ini adalah inti dari eksak itu sendiri, sedangkan fisika dan kimia adalah ilmu terapan dari eksak. Kecintaannya pada matematika telah terpatri sejak dulu. Banyak siswa dan rekan guru menganggap ia pintar, tapi ia sendiri mengakui bahwa sebenarnya tidak seperti yang dibayangkan mereka. Kisahnya, dahulu saat masih menjadi siswa di bangku sekolah, Pak Turian selalu mendapatkan jawaban dari soal sulit yang diberikan oleh gurunya. Lebih menakjubkannya lagi, ia boleh menerima kelebihan itu bukan karena sering berlatih seperti kebanyakan yang dilakukan oleh orang-orang cerdas di sekitar kita. Pak Turian adalah pribadi yang tidak menyukai hal monoton, maka matematika adalah sasarannya untuk memacu diri karena ada tantangan tersendiri di dalamnya.
Lalu, mengapa lebih memilih menjadi guru matematika daripada fisika dan kimia, yang kita tahu di dalam kedua mata pelajaran itu pun ada tantangan dalam bentuk hitung-menghitung juga? Alasannya sederhana saja. Seperti manusia biasa yang memilih peluang besar, begitu pun Pak Turian. Dulu, memang peluang pekerjaan menjadi guru matematika memang lebih banyak daripada fisika dan kimia, ditambah lagi karena ia sendiri juga menyukai pelajaran matematika. Jawaban sama terucap ketika ditanya mengapa lebih memilih bagian pendidikan daripada non-pendidikan (matematika murni). Melihat dari persaingan di dunia kerja, lulusan matematika murni saat itu lebih ketat. Selain itu, matematika murni juga terlalu general, menyebabkan kita harus mempelajari lagi pembagiannya, seperti komputasi, statistika, dan sebagainya.
"Bagusan jadi pendidikan, jadi guru. Sudah, selesai," ucapnya, yang kemudian menambahi bahwa orang tuanya pun pada dasarnya memang menginginkan menjadi guru.
Semasa ia mengajar, Pak Turian selalu berkesempatan menjadi pendidik untuk siswa jenjang SMA. Bukan secara kebetulan, tetapi ia merasa bahwa mengajar siswa SMA itu lebih enak karena kepribadiannya yang tidak sabaran, dibandingkan jika ia diberi kesempatan untuk mengajar siswa SD dan SMP, akan lebih susah karena siswa SMA umumnya sudah lebih dewasa dan sudah mengerti rasa malu jika dinasihati atau dimarahi. Selain itu pula, pada saat ia lulus seleksi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada November 2010 lalu, Pak Turian memang mendapatkan penempatan di SMA dan tidak memungkinkan lagi untuk mengambil untuk menjadi guru di SMP atau SD.
Pak Turian pernah mengajar di tiga jenjang SMA. Kelas 10, kelas 11, dan kelas 12. Menurutnya, paling menyenangkan mengajar di kelas 12. Karena sudah berada pada tingkat akhir, jadwal libur lebih banyak dan itu merupakan kesenangan tersendiri bagi semua guru. Selain itu, terdapat beberapa keuntungan jikalau mengambil waktu untuk mengajar siswa tingkat akhir. Para siswa lebih mudah dimotivasi karena sebagian besar sudah berfokus untuk meraih Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Kembali lagi pada kepribadiannya yang kurang sabar, kelas 10 merupakan anak-anak peralihan dari SMP dan memungkinkan mereka masih membawa kebiasaanya saat masih duduk di bangku SMP. Mereka akan lebih banyak tidak serius saat belajar dan akan memicu emosi yang sedikit susah untuk dikontrol. Pada siswa kelas 11, Pak Turian menganggap bahwa mereka sedang berada pada posisi tengah, di mana siswanya pun tidak bisa serius sepenuhnya karena merasa di zona nyaman.
Seorang guru pasti memiliki cara mengajar masing-masing. Menurut Pak Turian, tidak ada metode khusus yang harus digunakan seorang guru secara mutlak untuk menyampaikan pengajarannya. Tak ada yang sangat benar, tak ada pula yang terlalu salah. Satu hal yang menjadi poin penting baginya, ketika pengajaran seorang guru dapat diterima dengan baik oleh siswa, saat itulah metodenya berhasil. Berarti, tidak ada cara absolut untuk membuat itu berhasil karena setiap dari kita manusia memiliki kepribadian, kemampuan, juga cara berpikir kreatif yang berbeda-beda.
"Gaya saya mengajar tidak selalu harus diterapkan guru lain, gaya guru lain juga tidak selalu harus saya terapkan," tekannya.
Saat mengajar, Pak Turian merasa masih banyak kekurangan dalam metodenya. Banyak yang mengatakan ia kejam secara verbal, seperti dari kata-kata atau sindiran yang menyakitkan, walaupun banyak juga yang tidak terlalu mementingkan dan mengambil pusing soal itu. Banyak juga yang mengatakan bahwa ia terlalu disiplin saat proses belajar-mengajar. Tetapi, pada kenyataannya, ia menerima umpan balik yang tidak mengecewakan karena metode mengajar tersebut. Sembari tertawa, Pak Turian senang ketika para siswa yang dulunya ia ajarkan banyak merindukan cara mengajar yang sedikit 'kejam' tersebut, meskipun pada masanya banyak dari mereka yang merasa takut.
Tentunya pula, pada masa dulu Pak Turian pernah menjadi seorang siswa yang memiliki guru sebagai pedoman ia belajar. Ia senang pada seorang guru yang tidak membosankan saat mengajar, seperti memiliki cara khusus dan unik untuk menyampaikan materi, ataupun humoris, dan lebih menyukai guru yang sedikit killer. Maksud killer di sini ialah saat di mana seorang guru kejam karena ia tahu tempat di mana ia melampiaskan kekejamannya, bukan kekejaman kosong yang dikeluarkan hanya semata-mata emosi tersendiri yang dibawa pada kepribadian dasarnya.
Selama sembilan tahun mengajar, Pak Turian baru menginjak dua sekolah saja, yaitu SMA Negeri 15 Medan tempat ia mengajar saat ini, dan SMA Cahaya Medan selama hanya setahun periode mengajar saja. Ia juga sudah pernah memasuki kedua kelas jurusan di SMA, baik IPA maupun IPS. Menurut pengalamannya, terdapat perbedaan perasaan dan perlakuan ketika mengajar di kedua jurusan tersebut. Ketika di kelas IPA, perlakuan mengajar boleh sedikit 'keras' secara verbal dan mengarah ke situasi yang lebih serius. Lain halnya saat memasuki kelas IPS, mereka akan mengarah pada situasi yang berkaitan dengan 'bermain sambil belajar' karena pada dasarnya siswa IPS tidak terbiasa pada rumus-rumus dan logika yang mereka anggap terlalu kaku. Ketika pun konsep 'bermain sambil belajar' itu terasa menyenangkan, tetap tidak berpengaruh jika diterapkan pada siswa IPA.
"Kalau lebih banyak main malah tidak masuk (ke otak)," ujarnya.
Jika tadi berbicara soal mengajar, maka sekarang tentang bagaimana mereka merespons pengajaran. Pak Turian bercerita bahwa umpan balik mereka ternyata sangat berbeda jauh. Saat bersama siswa IPA, sekalipun ia hanya memberikan sedikit materi dan penjelasan, akan banyak yang memberikan pertanyaan tentang satu hal kecil tersebut. Berbeda dengan siswa IPS, selama itu masih mereka pahami dasar-dasarnya, tidak akan ada yang bertanya dan jatuhnya hanya diam-diam dan mengangguk-angguk saja.
Soal memberi perhatian, Pak Turian lebih mengarahkan perhatiannya tidak sebagai guru ke siswa maupun ayah ke anak. Alasannya dapat diterima secara logika. Jika menerapkan seperti ayah ke anak, takut para siswa akan kebablasan, baik dari segi formal saat proses belajar mengajar maupun informal di luar proses belajar mengajar, terutama dari cara mereka menghormati gurunya. Jika menerapkan seperti guru ke siswa, akan menciptakan jarak yang terlalu jauh, mengingat ia pun tidak terlalu gila hormat. Pak Turian lebih memilih jalur tengah agar bisa mengondisikan pada kedua situasi tanpa harus condong ke salah satunya. Ia tetap ingin dihormati sebagai guru, layaknya seorang ayah, juga tetap ingin diharapkan sebagai sumber pengajaran formal di luar lingkungan keluarga inti.
Tidak afdol rasanya jika tidak membahas tentang suka-duka dalam menjalani suatu pekerjaan. Pak Turian dengan refleks menjawab bahwa banyak sekali suka yang dirasakan selama mengemban tugas sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Bisa mengenal banyak orang, dan terlihat lebih muda. Lebih dalam lagi, naluri seorang guru akan merasakan kepuasan tersendiri ketika bisa melihat siswanya sukses. Meskipun siswa itu lupa atau tidak mengenalinya, setidaknya, ia akan ingat bahwa dulu pernah mengajari siswa tersebut.
Omong-omong soal duka, mungkin sebagian besar dari kita sudah bisa menebak, dan pastinya, pernah melakukan hal-hal ini dulu saat menjadi siswa. Ya, contohnya, membicarakan dan merutuk guru di belakangnya.
"Ih, Bapak ini begini-begini," ungkapnya, menirukan gaya siswa berkata-kata. "Padahal di depan kita manis-manis," sambungnya.
Tak jarang, Pak Turian pun mengatur kembali cara mengajarnya agar tidak menimbulkan dendam dari pada siswa yang memiliki banyak sekali tipe kepribadian. Seorang guru juga harus mampu menyesuaikan cara mengajar kepada tiap siswa, tidak harus dipukul rata sama terhadap semuanya, untuk menghindari siswa menimbulkan pembicaraan yang tidak bagus tentang dirinya sebagai guru.
Duka selanjutnya datang dari orang tua siswa yang tak kalah sering menyalahkan guru. Biasanya, kasus ini terjadi ketika ada laporan bahwa seorang siswa mendapat perlakuan kekerasan (lewat memarahi, bukan fisik) dari dirinya. Kita sendiri sudah tahu bahwa guru adalah orang tua kita di sekolah. Pak Turian menegaskan bahwa ketika kita berbuat sedikit keras terhadap anak kita, berarti kita menghindari dia dari hal-hal yang tidak bagus, tak boleh membiarkannya terjerumus ke sana. Siswa dianggap seperti anak, karena itu boleh sedikit berlaku keras untuk membuatnya lebih disiplin.
"Aku aja tidak pernah memarahi," Kembali ia menirukan cara orang tua berbicara ketika berhadapan dengannya. "Padahal, menurut kita, dari semua yang telah dipelajari, ketika orang tua tidak pernah memarahi anaknya itulah orang tua yang tidak bagus (dalam memberi pelajaran)."
Tahun 2016, Pak Turian memutuskan untuk membuka usahanya sendiri, yaitu Bimbingan Belajar EduHome. Seperti halnya bimbingan belajar pada umumnya, di EduHome, para siswa dibimbing oleh para tutor berkualitas yang sudah melewati beberapa proses seleksi. EduHome juga membuka kelas untuk siswa-siswa tingkat akhir yang ingin lulus SMA favorit atau perguruan tinggi favorit. Terdapat pula sesi khusus untuk konsultasi dan jam bebas untuk berdisuksi mengenai soal-soal latihan bersama para tutor yang hadir saat itu.
"Bikin bimbel sebenarnya karena memang sudah bidang kita. Namanya juga usaha. Kita lihat peluang besar dan memandang ke sekolah. Jadi tidak muluk-muluk, dan tetap saja berharap siswa kita ada," jelasnya.
Dibandingkan les privat, Pak Turian lebih memilih untuk membuka usaha bimbingan belajar karena melihat efisiensi waktu dan keefektifan mengajar. Ketika privat, ia harus pergi ke rumah-rumah dan mendatangi siswanya satu per satu. Lain halnya dengan bimbingan belajar, siswa-siswa akan datang dengan sejumlah dari mereka untuk satu waktu. Jadi, pengajaran dapat dilakukan sekali saja untuk beberapa siswa dan diperbolehkan untuk berdisuksi ramai-ramai ataupun individu saja.
Sebagai tambahan, sebelum membuka usaha bimbingan belajar, Pak Turian juga sempat menjadi agen asuransi dan sudah berhenti walaupun namanya masih tercatat sebagai agen di sana. Tetapi, karena sudah telanjur berkutat di EduHome, ia memutuskan untuk fokus pada usahanya yang satu ini saja. Ia khawatir jika pun mengambil banyak hal menjadi sumber pendapatan, ia tak akan fokus dan berujung pada sebuah kegagalan.
Memandang sebagai kaum intelektual, Pak Turian juga pernah berpikiran untuk mengambil program strata III mengingat saat baru menjadi sarjana, ia tidak menargetkan menjadi guru tetapi menjadi dosen. Dirinya yang pernah mewakili Sumatera Utara dalam Olimpiade Guru Nasional tahun 2011 di Manado ini juga mengaku bahwa seiring berjalannya waktu, malah tidak memiliki ketertarikan lagi menjadi dosen, bahkan tidak suka. Sampai saat ini, niat untuk melanjut ke sana sudah agak berkurang. Ia merasa lulusan magister saja sudah cukup. Namun, seandainya niat itu tumbuh lagi kemungkinan akan diambil, tetapi sejauh ini masih belum ada. Ia juga menambahkan bahwa karena masih guru SMA, belum terlalu dibutuhkan untuk mengambil program S3 meskipun banyak orang yang bilang tidak masalah jika diambil saja. Sebab lain, katanya, para profesor belum bisa mengontrol bahasa yang digunakannya saat mengajar siswa SMA dan ditakutkan akan susah ditangkap oleh siswa yang diajarkannya.
"Ibaratnya mereka sudah di Z, kita masih di H. Sama seperti kita terbiasa mengajar SMA, tiba-tiba dikasih ke SD jadi nggak nyambung," tambahnya.
Berprofesi sebagai guru, tentunya Pak Turian menyatakan bahwa pendidikan adalah satu hal yang sangat penting dan mendasar bagi semua orang. Jika memakai rentang nilai 0-100, pendidikan berada di nilai 100 alias sangat penting. Baik sesuai atau tidak sesuai dengan jurusan di perkuliahan saat bekerja nanti, tetap saja dalam menempuh pendidikan banyak hal penting yang boleh kita pelajari. Pendidikan yang berkualitas akan membuat kita bisa memiliki pemikiran yang bisa menerima kritik dan saran dari orang-orang, pemikiran yang lebih maju ke depan, serta pemikiran yang lebih terbuka pada hal-hal baru dan inovatif. Kuliah tidak berarti harus pintar dan mengejar hal-hal akademis saja, tetapi belajar untuk mengembangkan pemikiran yang terbuka pada setiap hal dan semua orang.
Berbicara soal ilmu dan iman, Pak Turian yang beragama Katolik ini menganggap bahwa keduanya harus sejalan serta tak dapat dipisahkan. Ia beberapa kali menemukan orang-orang yang pintar, tetapi secara ibadah serta kedekatannya dengan Sang Pencipta yang kurang membuatnya seperti atheis. Ia menegaskan bahwa ilmu dan iman harus sama-sama 100%—bukan fifty-fifty, karena akan ada bagian yang kosong jika setengah-setengah seperti itu.
Dahulukan yang utama. Demikian prinsip hidup Pak Turian, mengingat kita pasti memiliki banyak pilihan dalam menjalani hidup. Kita bisa saja menganggap semuanya penting dan semuanya adalah nomor satu, namun tetap harus membuat skala prioritas. Selain itu, ukuran sukses menurutnya ialah bahagia. Untuk saat ini, Pak Turian merasa ia masih berada di posisi 60 dari skala 0-100. Banyak hal yang belum bisa tercapai dalam 40 tersebut, salah satunya adalah menikah. Selain itu, masih banyak yang harus dibenahi dalam usaha bimbingan belajar yang dibukanya, karena pada kenyataannya, membuka usaha itu tidak semudah yang telah dipikirkan di awal. Ketika masih banyak pikiran untuk pembenahan itu, otomatis tingkat kebahagiaan berkurang.


Pada akhirnya, Pak Turian berpesan agar kita menjalani hidup dengan apa adanya dan tetap berfokus ke depan. Mengenai perkuliahan, ia menegaskan agar tidak kuliah-pulang saja. Carilah kesibukan lain seperti organisasi atau kepanitiaan yang sesuai dengan minat, atau sambil bekerja—dengan catatan, tetap menjadikan kampus dan perkuliahan menjadi fokus utama, jangan sampai mengganggu proses belajar itu sendiri. Ia membagikan pengalaman bahwa pada saat menyusun skripsi dulu, seharusnya dan sebaiknya, kita harus meninggalkan berbagai kesibukan dan fokus pada penyelesaian tugas akhir. Sebelum meninggalkan kampus sebagai alumni, kita harus mempersiapkan diri kita akan ‘terbang’ ke mana. Jangan sampai setelah tamat dan berhura-hura dengan wisuda baru memikirkan mau ke mana dan akhirnya kebingungan.
"Banyak orang yang mengejar satu cita-cita, tapi tidak semua orang bisa mendapatkan itu. Bisa saja ada yang dapat, tetapi dengan berbagai lika-liku yang dihadapi. Ada yang cepat, ada yang lama," nasihatnya.
Intinya, jalanilah hidup dengan apa adanya, tetap mensyukuri apa yang telah terjadi, dan jangan sesali apa yang telah diputuskan sebelumnya. Karena dirinya sendiri dulu pernah merasakan bagaimana kondisi saat terjatuh dan sedang di bawah. Ia lawan dengan tetap berjalan dan harus optimis. Boleh optimis tetapi tidak terlalu ambisius sampai melupakan risiko yang akan dihadapi. Kalaupun sudah terjadi, sebaiknya kita belajar dari kegagalan yang telah kita telan. Seiring berjalannya waktu, kita akan menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan dan tidak mudah menyerah dalam mencari solusi untuk permasalahan yang menimpa kita.

Comments

POPULAR POSTS

About Me!

Space Journey~