Matematika, Mengajar, dan Bersyukur (Feature Human Interest)
Sebagai seorang
guru, Pak Turian Hasugian, begitu nama lengkapnya, sudah mulai mengasah
kemampuan mengajarnya sejak menjadi mahasiswa, yaitu pada semester tiga. Tak
tanggung-tanggung, kala itu ia sudah mengabdikan diri sebagai pengajar mata
pelajaran matematika di sebuah bimbingan belajar. Perjuangannya untuk
mencerdaskan anak bangsa tidak hanya berhenti sampai situ. Ia melebarkan sayap
juga dengan mengajar privat saat semester lima dengan tetap menjadi seorang
pengajar bimbingan belajar. Ia juga tak terlalu aktif pada kegiatan organisasi
dan kepanitiaan di kampus saat menjadi mahasiswa. Satu organisasi yang pernah
diikutinya ialah KMK UNIMED ketika menapaki masa semester dua, hanya itu saja.
Tidak banyak yang bisa dilakukan secara intens saat itu karena kesibukan
utamanya mengajar di bimbingan belajar. Tetapi ada hal baru yang boleh ia
dapati saat itu, yakni pengenalan lebih cepat dan dekat pada senior dan junior.
Satu hal yang boleh dikatakan positif dan bermanfaat untuk ke depannya.
Sebagai anak ke
tujuh dari delapan bersaudara pula, Pak Turian mengatakan bahwa ia tidak
memiliki motivasi khusus untuk menjadi seorang guru, sekalipun ia tetap
menekuni pekerjaan ini sejak Januari 2010 hingga sekarang. Sejak duduk di
bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), ia tak pernah
berpikiran menjadi seorang guru. Mungkin karena sudah jodoh, candanya.
Menurutnya, di zaman dulu, pekerjaan yang paling mudah untuk dicapai adalah
menjadi guru. Memang, pada pilihan pertama seleksi perguruan tinggi, ia memilih
kedokteran dan yang ke dua ialah guru. Karena tidak lulus di pilihan pertama,
maka jadilah ia berkuliah pada jenjang strata I di jurusan Pendidikan
Matematika Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan lulus pada tahun 2009.
Pak Turian
tidak terlalu mahir dan mudah dalam mempelajari bahasa Inggris, sehingga dengan
kemampuan mengajar dan pengetahuannya yang cukup luas, ia terhalang untuk
mencoba beasiswa ke luar negeri. Akhirnya, pada tahun 2011, kembali ia
berkuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mengambil jurusan
Matematika Murni dan lulus pada tahun 2013.
Matematika
adalah salah satu pelajaran yang ditakuti oleh siswa. Tidak begitu adanya
dengan Pak Turian yang memang menyukai mata pelajaran mengerikan ini. Daripada
fisika dan kimia yang juga terdapat hitung-menghitungnya, ia tetap memilih
matematika oleh karena pelajaran ini adalah inti dari eksak itu sendiri,
sedangkan fisika dan kimia adalah ilmu terapan dari eksak. Kecintaannya pada
matematika telah terpatri sejak dulu. Banyak siswa dan rekan guru menganggap ia
pintar, tapi ia sendiri mengakui bahwa sebenarnya tidak seperti yang
dibayangkan mereka. Kisahnya, dahulu saat masih menjadi siswa di bangku
sekolah, Pak Turian selalu mendapatkan jawaban dari soal sulit yang diberikan
oleh gurunya. Lebih menakjubkannya lagi, ia boleh menerima kelebihan itu bukan
karena sering berlatih seperti kebanyakan yang dilakukan oleh orang-orang
cerdas di sekitar kita. Pak Turian adalah pribadi yang tidak menyukai hal
monoton, maka matematika adalah sasarannya untuk memacu diri karena ada
tantangan tersendiri di dalamnya.
Lalu, mengapa
lebih memilih menjadi guru matematika daripada fisika dan kimia, yang kita tahu
di dalam kedua mata pelajaran itu pun ada tantangan dalam bentuk
hitung-menghitung juga? Alasannya sederhana saja. Seperti manusia biasa yang
memilih peluang besar, begitu pun Pak Turian. Dulu, memang peluang pekerjaan
menjadi guru matematika memang lebih banyak daripada fisika dan kimia, ditambah
lagi karena ia sendiri juga menyukai pelajaran matematika. Jawaban sama terucap
ketika ditanya mengapa lebih memilih bagian pendidikan daripada non-pendidikan
(matematika murni). Melihat dari persaingan di dunia kerja, lulusan matematika
murni saat itu lebih ketat. Selain itu, matematika murni juga terlalu general,
menyebabkan kita harus mempelajari lagi pembagiannya, seperti komputasi,
statistika, dan sebagainya.
"Bagusan jadi pendidikan, jadi guru. Sudah,
selesai," ucapnya, yang kemudian menambahi bahwa orang tuanya pun
pada dasarnya memang menginginkan menjadi guru.
Semasa ia
mengajar, Pak Turian selalu berkesempatan menjadi pendidik untuk siswa jenjang
SMA. Bukan secara kebetulan, tetapi ia merasa bahwa mengajar siswa SMA itu
lebih enak karena kepribadiannya yang tidak sabaran, dibandingkan jika ia
diberi kesempatan untuk mengajar siswa SD dan SMP, akan lebih susah karena
siswa SMA umumnya sudah lebih dewasa dan sudah mengerti rasa malu jika
dinasihati atau dimarahi. Selain itu pula, pada saat ia lulus seleksi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) pada November 2010 lalu, Pak Turian memang mendapatkan
penempatan di SMA dan tidak memungkinkan lagi untuk mengambil untuk menjadi
guru di SMP atau SD.
Pak Turian
pernah mengajar di tiga jenjang SMA. Kelas 10, kelas 11, dan kelas 12.
Menurutnya, paling menyenangkan mengajar di kelas 12. Karena sudah berada pada
tingkat akhir, jadwal libur lebih banyak dan itu merupakan kesenangan
tersendiri bagi semua guru. Selain itu, terdapat beberapa keuntungan jikalau
mengambil waktu untuk mengajar siswa tingkat akhir. Para siswa lebih mudah
dimotivasi karena sebagian besar sudah berfokus untuk meraih Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) ataupun Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Kembali lagi pada
kepribadiannya yang kurang sabar, kelas 10 merupakan anak-anak peralihan dari
SMP dan memungkinkan mereka masih membawa kebiasaanya saat masih duduk di
bangku SMP. Mereka akan lebih banyak tidak serius saat belajar dan akan memicu
emosi yang sedikit susah untuk dikontrol. Pada siswa kelas 11, Pak Turian
menganggap bahwa mereka sedang berada pada posisi tengah, di mana siswanya pun
tidak bisa serius sepenuhnya karena merasa di zona nyaman.
Seorang guru
pasti memiliki cara mengajar masing-masing. Menurut Pak Turian, tidak ada
metode khusus yang harus digunakan seorang guru secara mutlak untuk
menyampaikan pengajarannya. Tak ada yang sangat benar, tak ada pula yang
terlalu salah. Satu hal yang menjadi poin penting baginya, ketika pengajaran
seorang guru dapat diterima dengan baik oleh siswa, saat itulah metodenya
berhasil. Berarti, tidak ada cara absolut untuk membuat itu berhasil karena
setiap dari kita manusia memiliki kepribadian, kemampuan, juga cara berpikir
kreatif yang berbeda-beda.
"Gaya saya mengajar tidak selalu harus diterapkan
guru lain, gaya guru lain juga tidak selalu harus saya terapkan," tekannya.
Saat mengajar,
Pak Turian merasa masih banyak kekurangan dalam metodenya. Banyak yang
mengatakan ia kejam secara verbal, seperti dari kata-kata atau sindiran yang
menyakitkan, walaupun banyak juga yang tidak terlalu mementingkan dan mengambil
pusing soal itu. Banyak juga yang mengatakan bahwa ia terlalu disiplin saat
proses belajar-mengajar. Tetapi, pada kenyataannya, ia menerima umpan balik
yang tidak mengecewakan karena metode mengajar tersebut. Sembari tertawa, Pak
Turian senang ketika para siswa yang dulunya ia ajarkan banyak merindukan cara
mengajar yang sedikit 'kejam' tersebut, meskipun pada masanya banyak dari
mereka yang merasa takut.
Tentunya pula,
pada masa dulu Pak Turian pernah menjadi seorang siswa yang memiliki guru
sebagai pedoman ia belajar. Ia senang pada seorang guru yang tidak membosankan
saat mengajar, seperti memiliki cara khusus dan unik untuk menyampaikan materi,
ataupun humoris, dan lebih menyukai guru yang sedikit killer. Maksud killer di
sini ialah saat di mana seorang guru kejam karena ia tahu tempat di mana ia
melampiaskan kekejamannya, bukan kekejaman kosong yang dikeluarkan hanya
semata-mata emosi tersendiri yang dibawa pada kepribadian dasarnya.
Selama sembilan
tahun mengajar, Pak Turian baru menginjak dua sekolah saja, yaitu SMA Negeri 15
Medan tempat ia mengajar saat ini, dan SMA Cahaya Medan selama hanya setahun
periode mengajar saja. Ia juga sudah pernah memasuki kedua kelas jurusan di
SMA, baik IPA maupun IPS. Menurut pengalamannya, terdapat perbedaan perasaan
dan perlakuan ketika mengajar di kedua jurusan tersebut. Ketika di kelas IPA,
perlakuan mengajar boleh sedikit 'keras' secara verbal dan mengarah ke situasi
yang lebih serius. Lain halnya saat memasuki kelas IPS, mereka akan mengarah
pada situasi yang berkaitan dengan 'bermain sambil belajar' karena pada
dasarnya siswa IPS tidak terbiasa pada rumus-rumus dan logika yang mereka
anggap terlalu kaku. Ketika pun konsep 'bermain sambil belajar' itu terasa
menyenangkan, tetap tidak berpengaruh jika diterapkan pada siswa IPA.
"Kalau lebih banyak main malah tidak masuk (ke
otak)," ujarnya.
Jika tadi
berbicara soal mengajar, maka sekarang tentang bagaimana mereka merespons
pengajaran. Pak Turian bercerita bahwa umpan balik mereka ternyata sangat
berbeda jauh. Saat bersama siswa IPA, sekalipun ia hanya memberikan sedikit
materi dan penjelasan, akan banyak yang memberikan pertanyaan tentang satu hal
kecil tersebut. Berbeda dengan siswa IPS, selama itu masih mereka pahami
dasar-dasarnya, tidak akan ada yang bertanya dan jatuhnya hanya diam-diam dan
mengangguk-angguk saja.
Soal memberi
perhatian, Pak Turian lebih mengarahkan perhatiannya tidak sebagai guru ke
siswa maupun ayah ke anak. Alasannya dapat diterima secara logika. Jika
menerapkan seperti ayah ke anak, takut para siswa akan kebablasan, baik dari
segi formal saat proses belajar mengajar maupun informal di luar proses belajar
mengajar, terutama dari cara mereka menghormati gurunya. Jika menerapkan
seperti guru ke siswa, akan menciptakan jarak yang terlalu jauh, mengingat ia
pun tidak terlalu gila hormat. Pak Turian lebih memilih jalur tengah agar bisa
mengondisikan pada kedua situasi tanpa harus condong ke salah satunya. Ia tetap
ingin dihormati sebagai guru, layaknya seorang ayah, juga tetap ingin
diharapkan sebagai sumber pengajaran formal di luar lingkungan keluarga inti.
Tidak afdol
rasanya jika tidak membahas tentang suka-duka dalam menjalani suatu pekerjaan.
Pak Turian dengan refleks menjawab bahwa banyak sekali suka yang dirasakan
selama mengemban tugas sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Bisa mengenal
banyak orang, dan terlihat lebih muda. Lebih dalam lagi, naluri seorang guru
akan merasakan kepuasan tersendiri ketika bisa melihat siswanya sukses.
Meskipun siswa itu lupa atau tidak mengenalinya, setidaknya, ia akan ingat
bahwa dulu pernah mengajari siswa tersebut.
Omong-omong
soal duka, mungkin sebagian besar dari kita sudah bisa menebak, dan pastinya,
pernah melakukan hal-hal ini dulu saat menjadi siswa. Ya, contohnya,
membicarakan dan merutuk guru di belakangnya.
"Ih, Bapak ini begini-begini," ungkapnya,
menirukan gaya siswa berkata-kata. "Padahal
di depan kita manis-manis," sambungnya.
Tak jarang, Pak
Turian pun mengatur kembali cara mengajarnya agar tidak menimbulkan dendam dari
pada siswa yang memiliki banyak sekali tipe kepribadian. Seorang guru juga
harus mampu menyesuaikan cara mengajar kepada tiap siswa, tidak harus dipukul
rata sama terhadap semuanya, untuk menghindari siswa menimbulkan pembicaraan
yang tidak bagus tentang dirinya sebagai guru.
Duka
selanjutnya datang dari orang tua siswa yang tak kalah sering menyalahkan guru.
Biasanya, kasus ini terjadi ketika ada laporan bahwa seorang siswa mendapat
perlakuan kekerasan (lewat memarahi, bukan fisik) dari dirinya. Kita sendiri
sudah tahu bahwa guru adalah orang tua kita di sekolah. Pak Turian menegaskan
bahwa ketika kita berbuat sedikit keras terhadap anak kita, berarti kita
menghindari dia dari hal-hal yang tidak bagus, tak boleh membiarkannya
terjerumus ke sana. Siswa dianggap seperti anak, karena itu boleh sedikit
berlaku keras untuk membuatnya lebih disiplin.
"Aku aja tidak pernah memarahi," Kembali ia
menirukan cara orang tua berbicara ketika berhadapan dengannya. "Padahal, menurut kita, dari semua yang
telah dipelajari, ketika orang tua tidak pernah memarahi anaknya itulah orang
tua yang tidak bagus (dalam memberi pelajaran)."
Tahun 2016, Pak
Turian memutuskan untuk membuka usahanya sendiri, yaitu Bimbingan Belajar
EduHome. Seperti halnya bimbingan belajar pada umumnya, di EduHome, para siswa
dibimbing oleh para tutor berkualitas yang sudah melewati beberapa proses
seleksi. EduHome juga membuka kelas untuk siswa-siswa tingkat akhir yang ingin
lulus SMA favorit atau perguruan tinggi favorit. Terdapat pula sesi khusus
untuk konsultasi dan jam bebas untuk berdisuksi mengenai soal-soal latihan
bersama para tutor yang hadir saat itu.
"Bikin bimbel sebenarnya karena memang sudah
bidang kita. Namanya juga usaha. Kita lihat peluang besar dan memandang ke
sekolah. Jadi tidak muluk-muluk, dan tetap saja berharap siswa kita ada," jelasnya.
Dibandingkan
les privat, Pak Turian lebih memilih untuk membuka usaha bimbingan belajar
karena melihat efisiensi waktu dan keefektifan mengajar. Ketika privat, ia
harus pergi ke rumah-rumah dan mendatangi siswanya satu per satu. Lain halnya
dengan bimbingan belajar, siswa-siswa akan datang dengan sejumlah dari mereka
untuk satu waktu. Jadi, pengajaran dapat dilakukan sekali saja untuk beberapa
siswa dan diperbolehkan untuk berdisuksi ramai-ramai ataupun individu saja.
Sebagai
tambahan, sebelum membuka usaha bimbingan belajar, Pak Turian juga sempat
menjadi agen asuransi dan sudah berhenti walaupun namanya masih tercatat
sebagai agen di sana. Tetapi, karena sudah telanjur berkutat di EduHome, ia
memutuskan untuk fokus pada usahanya yang satu ini saja. Ia khawatir jika pun
mengambil banyak hal menjadi sumber pendapatan, ia tak akan fokus dan berujung
pada sebuah kegagalan.
Memandang
sebagai kaum intelektual, Pak Turian juga pernah berpikiran untuk mengambil
program strata III mengingat saat baru menjadi sarjana, ia tidak menargetkan
menjadi guru tetapi menjadi dosen. Dirinya yang pernah mewakili Sumatera Utara
dalam Olimpiade Guru Nasional tahun 2011 di Manado ini juga mengaku bahwa
seiring berjalannya waktu, malah tidak memiliki ketertarikan lagi menjadi
dosen, bahkan tidak suka. Sampai saat ini, niat untuk melanjut ke sana sudah
agak berkurang. Ia merasa lulusan magister saja sudah cukup. Namun, seandainya niat
itu tumbuh lagi kemungkinan akan diambil, tetapi sejauh ini masih belum ada. Ia
juga menambahkan bahwa karena masih guru SMA, belum terlalu dibutuhkan untuk
mengambil program S3 meskipun banyak orang yang bilang tidak masalah jika
diambil saja. Sebab lain, katanya, para profesor belum bisa mengontrol bahasa
yang digunakannya saat mengajar siswa SMA dan ditakutkan akan susah ditangkap
oleh siswa yang diajarkannya.
"Ibaratnya mereka sudah di Z, kita masih di H.
Sama seperti kita terbiasa mengajar SMA, tiba-tiba dikasih ke SD jadi nggak
nyambung," tambahnya.
Berprofesi
sebagai guru, tentunya Pak Turian menyatakan bahwa pendidikan adalah satu hal
yang sangat penting dan mendasar bagi semua orang. Jika memakai rentang nilai
0-100, pendidikan berada di nilai 100 alias sangat penting. Baik sesuai atau
tidak sesuai dengan jurusan di perkuliahan saat bekerja nanti, tetap saja dalam
menempuh pendidikan banyak hal penting yang boleh kita pelajari. Pendidikan
yang berkualitas akan membuat kita bisa memiliki pemikiran yang bisa menerima
kritik dan saran dari orang-orang, pemikiran yang lebih maju ke depan, serta
pemikiran yang lebih terbuka pada hal-hal baru dan inovatif. Kuliah tidak
berarti harus pintar dan mengejar hal-hal akademis saja, tetapi belajar untuk
mengembangkan pemikiran yang terbuka pada setiap hal dan semua orang.
Berbicara soal
ilmu dan iman, Pak Turian yang beragama Katolik ini menganggap bahwa keduanya
harus sejalan serta tak dapat dipisahkan. Ia beberapa kali menemukan
orang-orang yang pintar, tetapi secara ibadah serta kedekatannya dengan Sang
Pencipta yang kurang membuatnya seperti atheis. Ia menegaskan bahwa ilmu dan
iman harus sama-sama 100%—bukan fifty-fifty,
karena akan ada bagian yang kosong jika setengah-setengah seperti itu.
Dahulukan yang
utama. Demikian prinsip hidup Pak Turian, mengingat kita pasti memiliki banyak
pilihan dalam menjalani hidup. Kita bisa saja menganggap semuanya penting dan
semuanya adalah nomor satu, namun tetap harus membuat skala prioritas. Selain
itu, ukuran sukses menurutnya ialah bahagia. Untuk saat ini, Pak Turian merasa
ia masih berada di posisi 60 dari skala 0-100. Banyak hal yang belum bisa
tercapai dalam 40 tersebut, salah satunya adalah menikah. Selain itu, masih
banyak yang harus dibenahi dalam usaha bimbingan belajar yang dibukanya, karena
pada kenyataannya, membuka usaha itu tidak semudah yang telah dipikirkan di
awal. Ketika masih banyak pikiran untuk pembenahan itu, otomatis tingkat
kebahagiaan berkurang.
"Banyak orang yang mengejar satu cita-cita, tapi
tidak semua orang bisa mendapatkan itu. Bisa saja ada yang dapat, tetapi dengan
berbagai lika-liku yang dihadapi. Ada yang cepat, ada yang lama," nasihatnya.
Intinya, jalanilah hidup dengan apa adanya, tetap mensyukuri apa yang telah terjadi, dan jangan sesali apa yang telah diputuskan sebelumnya. Karena dirinya sendiri dulu pernah merasakan bagaimana kondisi saat terjatuh dan sedang di bawah. Ia lawan dengan tetap berjalan dan harus optimis. Boleh optimis tetapi tidak terlalu ambisius sampai melupakan risiko yang akan dihadapi. Kalaupun sudah terjadi, sebaiknya kita belajar dari kegagalan yang telah kita telan. Seiring berjalannya waktu, kita akan menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan dan tidak mudah menyerah dalam mencari solusi untuk permasalahan yang menimpa kita.
Intinya, jalanilah hidup dengan apa adanya, tetap mensyukuri apa yang telah terjadi, dan jangan sesali apa yang telah diputuskan sebelumnya. Karena dirinya sendiri dulu pernah merasakan bagaimana kondisi saat terjatuh dan sedang di bawah. Ia lawan dengan tetap berjalan dan harus optimis. Boleh optimis tetapi tidak terlalu ambisius sampai melupakan risiko yang akan dihadapi. Kalaupun sudah terjadi, sebaiknya kita belajar dari kegagalan yang telah kita telan. Seiring berjalannya waktu, kita akan menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan dan tidak mudah menyerah dalam mencari solusi untuk permasalahan yang menimpa kita.
Comments
Post a Comment