Teman Sejati? Ada, Walau Sepihak.
![]() |
Pixabay.com/Engin_Akyurt |
Halow!
Pernah, tidak, merasa kalau beberapa orang itu berharga di mata kalian? Punya tempat khusus di hati, tapi bukan saudara kandung atau saudara sepupu yang masih sedarah? Tidak selalu ada saat suka maupun duka, tapi tetap tidak bisa menolak kalau memang rasa sayang itu ada?
Pernah, tidak, bertemu atau bahkan punya orang-orang yang seperti itu?
Yang selalu menjadi moodbooster. Yang selalu dicari setiap harinya. Yang selalu menjadi penyemangat untuk menjalani hari-hari. Yang dijadikan motivasi untuk hidup. Yang membuat keseharian akan sepi jika salah satu dari orang-orang itu tidak hadir.
Yang... di mana ketika orang-orang ini meminta tolong, selalu berharap diri ini bisa menolongnya, tanpa berpikir panjang atau bahkan refleks; Di mana ketika diri ini tidak bisa menolongnya malah kecewa sendiri, sehingga orang lain yang melakukannya, dan malah menimbulkan kecemburuan.
'Kenapa, sih, aku tidak bisa/tahu melakukannya?!', kesal seperti itu ketika pada akhirnya tidak bisa membantu.
Pernah, tidak, bertemu dengan orang-orang seperti itu?
Yang selalu ingin memberi perhatian lebih padanya, baik dari segi tenaga, waktu, pikiran, bahkan materi. Yang selalu bahagia ketika melihatnya tersenyun. Yang selalu ingin semuanya boleh berhasil dengan kemampuannya sendiri. Yang selalu ingin berusaha keras untuk boleh menjadi tempat bersandar... walau akhirnya kelelahan sendiri.
Rindu, setiap hari. Sayang, setiap saat. Doa, setiap waktu. Memikirkan, tak terhitung lagi sudah berapa kali. Mengenang, sampai hampir setiap apa yang terjadi di hari-hari selalu ada keterkaitan tentangnya.
Sayang.
Bagaimana mendefinisikan rasa itu padanya?
Kekasih? Kakak? Orang tua?
Entahlah. Tak terdefinisi, sebenarnya.
Karena... Mungkin cuma sepihak. Maksudnya, hanya dari diri ini saja. Masih probabilitas, memang. Tapi, diri ini juga sudah tahu mereka tahu. Hanya saja, umpan balik yang diberikan tidak terlalu gamblang, dan malah tidak terdeteksi, wkwkwk. Berharap, masih. Untuk meminta, mungkin belum sampai ke situ. Lewat obrolan daring setiap hari saja sudah cukup sebenarnya. Yah, terus berharap untuk lebih dari situ, sih.
Tapi, ya... Sudah terpisah jarak juga, 'kan. Mau tidak mau, harus dilepas. Berikut perasaannya. Eits, tapi ternyata tak mampu. Terus terkekang di hati dan pikiran. Tak mau lepas, padahal yang diobjekkan sudah (sepertinya) sedikit melepaskan. Hmmm~
Bagaimana, ya? Tidak semudah itu melepas kenangan indah. Ya, indah sekali, sih, apa yang dirasakan oleh diri ini. Sampai ke dalam-dalamnya, sedetail-detailnya punya makna tersendiri yang terkadang tidak bisa dilukiskan secara verbal dan nonverbal.
Tahu, tidak? Mengenai umpan balik itu saja, tidak selalu berbentuk positif. Tapi itulah poinnya. Negatif, tidak selalu berdampak buruk. Positif, tidak selalu berdampak baik, malah seringnya buruk, sih, melihat-lihat yang terjadi di kehidupan remaja zaman ini. Itulah poinnya, yang selalu ditunggu-tunggu. Semakin negatif, semakin menarik. Dari situ bisa terlihat, bahwa mereka pun berpikir untuk menciptakan umpan balik berbentuk negatif. Karena juga, positif biasanya akibat dari refleks. Masih bagus refleks, bagaimana kalau didasarkan pada 'biasanya orang melakukan ini'? Hm, tidak dari hati mereka jadinya kalau seperti itu, ya~
Kalau definisi rasa... Awalnya mungkin seorang kakak. Tapi makin dalam menuju orang tua; Ibu.
Wkwk, tidak Ibu sepenuhnya, sih. Kalau Kakak... Dia lebih ke saling membantu dan banyak memerintah ke adik-adiknya. Kalau Ibu... sungguhan hati seorang Ibu yang suka ingat ketika setengah mampus mengeluarkan bocah-bocah itu dari rahimnya. Berusaha untuk menjaga, melindungi, membahagiakan, meringankan beban, menjadi tempat bersandar, sampai lupa sudah terlalu lama mengoperasikan semua rangkanya hingga tulang punggung meronta-ronta juga minta sandaran.
Minta kembali... Pernah, sih, beberapa kali. Itu juga dengan hati yang segan-segan dan pikiran yang bercabang-cabang; Takut membuang waktunya dan mengusik kesibukan yang lain. Jadi, ketika pun boleh diterima, akan sangat senang dan berterima kasih sedalam-dalamnya.
Di saat lain, merasa terutang untuk membalas budi. Pasti akan selalu diusahakan untuk membantu. Pasti, hehe.
Teman Sejati.
Sebenarnya, tidak bisa langsung mengklaim kalau belum mengalami kesejatian yang sebenarnya. Karena itu...
Sepihak.
Sejati itu... sebenarnya hanya harapan dari diri ini seorang. Membuatnya menjadi sejati, karena memang baru kali ini boleh dipertemukan dengan orang-orang yang begitu bisa menciptakan jatuh hati yang tulus padanya. Sekalipun diri ini tahu, sangat tahu, bahwa belum tentu di dalam hati mereka bisa sama persis seperti rasa diri ini, tetap tak sanggup untuk menghilangkan rasa. Sepihak, seperti itu rasanya.
Bertepuk sebelah tangan? Tidak juga, sih... Karena kesibukan yang sudah berbeda, prioritas juga beda. Rasa boleh sama, tetap disimpan, dan boleh dilampiaskan lewat apapun. Tapi, hak setiap orang tak bisa dipaksakan. Rasa itu bisa ditumpahkan dalam berbagai bentuk.
"Semangat, ya!"
Seperti itu, sih, bentuk umumnya. Karena tidak sama lagi, dan isi otak juga sudah berbeda-beda cabangnya. Apa mau dikata. Hanya satu kata itu yang boleh sering terucap sebagai bentuk pelampiasan rasa. Lagipula, diri ini merasa ada teman-teman baru di sana yang mungkin mirip dengan diri ini, hehehe. Semoga bisa dimanfaatkan dengan, baik, ya.
Eh, tidak beraturan begini tulisannya~
Maaf, kalau sudah mengenai anak-anak, apa yang terpikir, itu yang tertulis. Huhuhu, kangeeennn.
24 April 2019 minus 420 sekon
Comments
Post a Comment